Pemprov Kepri Minta Aparat Malaysia Tak Kriminalisasi Nelayan
Pemprov Kepulauan Riau meminta aparat Malaysia tidak mengkriminalisasi nelayan Indonesia yang melaut di perbatasan.
Oleh
PANDU WIYOGA
·2 menit baca
BATAM, KOMPAS — Dalam satu bulan terakhir, 22 nelayan asal Kabupaten Natuna dan Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, ditangkap aparat Malaysia di perairan perbatasan kedua negara. Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau meminta nelayan tradisional yang melaut di perairan sengketa tidak dikriminalisasi.
Kepala Badan Pengelola Perbatasan Daerah Kepri Doli Boniara, Rabu (1/5/2024), menyatakan, Pemprov Kepri amat prihatin dengan peristiwa yang menimpa para nelayan di perbatasan. Usulan dari daerah terkait masalah itu telah diserahkan kepada Badan Pengelola Perbatasan Nasional.
”Salah satu pokok pikiran yang kami sampaikan adalah nelayan tidak boleh diperlakukan seperti seorang kriminal. Mereka hanya menangkap ikan sampai perbatasan demi menyambung hidup,” kata Doli.
Sebelumnya, beredar video di media sosial yang menunjukkan delapan warga Natuna dirantai aparat Malaysia. Para nelayan itu dituding melanggar perbatasan karena menangkap ikan di perairan perbatasan Natuna dan Serawak, Malaysia, pada 16 April 2024.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri mengatakan, delapan nelayan itu ditangkap di koordinat sekitar 4 Lintang Utara dan 110 Bujur Timur. Lokasi itu adalah wilayah abu-abu karena ada tumpang tindih klaim zona ekonomi eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Malaysia.
Konsulat Jenderal RI di Kuching, Malaysia, mencatat, sepanjang 2024, ada 14 nelayan Natuna yang ditangkap penjaga pantai atau Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) di perairan Serawak. Selain peristiwa 16 April, APMM juga menangkap dua nelayan pada 9 Februari dan empat orang pada 9 Maret.
Para nelayan yang ditangkap aparat Malaysia tersebut terancam penjara 3-6 bulan dan denda antara Rp 1 miliar dan Rp 3 miliar. Selain itu, perahu dan alat tangkap mereka juga bakal disita.
Doli menyebut, penangkapan nelayan tradisional oleh aparat Malaysia juga rawan terjadi di perairan perbatasan Bintan dan Johor, Malaysia. Yang terbaru, 14 nelayan Bintan ditangkap di perairan Karang Singa yang masih menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia pada 25 April.
Menurut Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Bintan Syukur Hariyanto, setiap tahun ada nelayan tradisional yang ditangkap aparat Malaysia di perairan Karang Singa. Hal itu membuat sebagian nelayan takut melaut di utara Pulau Bintan.
”Pendapatan nelayan itu dari kerja harian. Kalau mereka ditahan berbulan-bulan, lalu perahu dan alat tangkapnya disita, siapa yang akan menafkahi keluarganya,” ucap Syukur.
Nelayan tidak boleh diperlakukan seperti seorang kriminal. Mereka hanya menangkap ikan sampai perbatasan demi menyambung hidup.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (CMSH) Abdul Halim menilai penegakan hukum di perairan sengketa seharusnya mengacu pada nota kesepahaman (MOU) tentang pedoman umum perlakuan terhadap nelayan oleh Badan Hukum Maritim yang telah disepakati Indonesia dan Malaysia di Bali pada 27 Januari 2011 (Kompas, 27/4/2024).
Berdasarkan MOU tersebut, APMM dan Badan Keamanan Laut RI hanya boleh melakukan pengusiran terhadap nelayan yang dianggap melanggar tapal batas. Penangkapan baru boleh dilakukan jika ditemukan ada pelanggaran pidana lain, misalnya penyelundupan narkoba atau perdagangan manusia.