Pandu budaya bekerja tanpa gaji. Mendokumentasikan hingga mengajarkan keberagaman budaya yang mulai ditinggalkan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
Beragam kekayaan budaya masyarakat Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, yang perlahan tenggelam kini mulai dinarasikan kembali oleh sejumlah anak muda. Mereka yang disebut pandu budaya itu mendokumentasikan hingga mengajarkan kepada peserta didik di sekolah untuk mengenal identitas budayanya.
Pelaku pandu budaya tersebut antara lain Ferdinandus Kopong Huler (32), Antonius Lamablawa (32), dan Maria Natalia Ana Yusti (32). Saat ditemui di Kupang pada Minggu (5/5/2024), mereka didampingi Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Flores Timur Silvester Petara Hurit.
Mereka baru saja pulang menghadiri upacara Hari Pendidikan Nasional yang digelar Kemendikbudristek di Jakarta pada Kamis (2/5/2024). Pandu budaya dari empat kabupaten/kota di Indonesia, termasuk Flores Timur, diundang secara khusus dalam acara tersebut.
Kopong yang berasal dari Desa Sulengwaseng, Kecamatan Solor Selatan, Pulau Solor, menuturkan, selama dua tahun terakhir ia aktif menghadiri berbagai ritual adat yang dilakukan masyarakat adat di beberapa desa di Solor. Ia mendokumentasikan ritual itu secara audio dan visual.
”Seperti di Desa Wuriblolong, ada syukuran panen yang di dalamnya ada doa adat, tarian, adat, dan cerita saling berbagi makanan. Masyarakat masih menjaga tradisi kendati yang bisa melakukannya hanya orang tua. Yang menjadi pertanyaan, apakah generasi muda paham akan hal itu,” katanya.
Semua dokumen itu kini disimpan Kopong. Ia berencana suatu saat akan dipublikasikan melalui akun media sosial yang khusus mengupas tentang isu kebudayaan. Dari situ, generasi muda setempat bisa belajar dan merawatnya. Di sisi lain, publikasi juga bertujuan untuk memperkenalkan budaya Solor kepada dunia.
Itu kekayaan komunal masyarakat Flores Timur yang hapir tidak kita temukan lagi. Kami ingin hidupkan kembali.
Seperti Kopong, Antonius juga lebih banyak fokus pada pendokumentasian. Ia kini sudah mengajak banyak anak muda dari Pulau Adonara untuk terlibat dalam temu kenal budaya. Mereka akan memperluas cakupan wilayah yang digarap. Isu yang direkam lebih luas, seperti wisata budaya dan pangan lokal.
Dia mengakui, banyak anak muda yang apatis terhadap kekayaan budaya lokal. Mereka cenderung menyepelekan dan menganggapnya sebagai sebuah keterbelakangan dan ketertinggalan. ”Tapi, saya yakin, dokumen ini akan dicari pada masa-masa yang akan datang,” ujarnya.
Natalia yang berprofesi sebagai guru di SMA Katolik Fransiskus Assisi Larantuka mendorong para murid untuk mengenal budaya mereka masing-masing. Ia kebetulan mengasuh mata pelajaran prakarya dan kewirausahaan sehingga materi berbasis lokal bisa dimasukkan ke dalam kegiatan pembelajaran.
Salah satu metode yang dilakukan adalah ia menugasi para siswa datang ke tetua adat di kampung untuk melakukan wawancara dan pendalaman. Selesai itu, mereka mempresentasikan di dalam kelas. Dengan mengalami langsung proses itu, pengetahuan yang diperoleh siswa dengan mudah menancap dalam diri mereka.
Selain penggalian sejarah, Natalia juga mengajak muridnya membuat kerajinan tradisonal, seperti piring dari tanah liat dan sendok serta gelas dari tempurung kelapa. ”Itu kekayaan komunal masyarakat Flores Timur yang hampir tidak kita temukan lagi. Kami ingin hidupkan kembali,” ucapnya.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Flores Timur Silvester Petara Hurit mengapresiasi upaya anak muda yang merawat atau menggali dan menghidupkan kembali budaya yang sudah ditinggalkan. Budaya dimaksud seperti ritus, sastra lisan, teknologi tradisional, pangan lokal, nyanyian adat, penghormatan kepada alam, dan banyak lagi.
Untuk tahun ini, pandu budaya diharapkan lebih fokus pada isu pangan lokal. Masyarakat tradisional didorong untuk mengonsumsi pangan lokal yang ada di lingkungan sekitar. Dengan begitu, ketergantungan pada beras yang saat ini harganya sangat tinggi akibat kelangkaan dapat dikurangi. Di Flores Timur, harga beras pernah mencapai Rp 17.000 per kilogram.
Menurut Silvester, menjadi pelaku pandu budaya memang tidak mudah. Mereka berhadapan dengan generasi masa kini yang cenderung apatis dan sulit diajak kembali mengenal nilai budaya sendiri. Akan ada penolakan sehingga butuh keteguhan hati. ”Apalagi kerja dalam pandu budaya ini tanpa digaji,” katanya.
Giat pelaku pandu budaya di Flores Timur telah berlangsung dua tahun terakhir. Mereka merekam, menarasikan, dan mengingatkan betapa beragamnya kekayaan budaya di daerah itu.