Konflik Meruncing di Kalimantan Tengah, Penjarah Sawit Ditangkap dan Aparat Diserang
Konflik perusahaan dengan masyarakat meruncing dengan maraknya penjarahan sawit. Warga ditangkap, aparat diserang.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKA RAYA, KOMPAS — Konflik perusahaan perkebunan sawit dengan masyarakat di Kalimantan Tengah kian meruncing dan tak kunjung terselesaikan. Terakhir konflik memanas ketika diikuti maraknya aksi penjarahan buah sawit perusahaan. Respons aparat dengan menangkap warga yang terlibat penjarahan makin memicu situasi tidak kondusif. Salah satunya ialah terjadi serangan di Kepolisian Sektor Kotawaringin Barat oleh warga yang tak terima kerabatnya ditangkap.
Sebelumnya, Kepolisian Daerah Kalteng bersama Kepolisian Resor Kotawaringin Timur menangkap tujuh pelaku yang diduga menjarah buah sawit di wilayah tersebut pada pertengahan April lalu. Lalu, polisi menangkap 16 pencuri sawit lagi pada Rabu (1/5/2024).
Selang tiga hari setelah penangkapan terakhir, tepatnya Sabtu (4/5/2024), polisi kembali menangkap 13 orang yang diduga pelaku penjarahan buah sawit milik perusahaan. Mereka ditangkap saat sedang berkumpul di perbatasan antara wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Seruyan.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalteng Komisaris Besar Erlan Munaji menjelaskan, dari 13 orang yang ditangkap itu, 10 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka berinisial UM, SN, NR, IG, PL, DN, BR, AR, SK, dan DN.
Rincian dari 10 orang itu, delapan pria dan dua perempuan. Ke-10 orang tersebut kini ditahan di Markas Komando Korps Brigade Mobil Batalyon B Pelopor Satuan Brimob Polda Kalteng di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur.
Tiga orang yang juga ditangkap, lanjut Erlan, masih diperiksa di Polres Kotawaringin Barat dan masih berstatus saksi. ”Sepuluh orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka itu merupakan warga Seruyan,” katanya saat dihubungi, Minggu (5/5/2024).
Erlan menjelaskan, pihaknya melakukan tes urine terhadap 10 tersangka itu. Hasilnya, lima pelaku positif menggunakan narkoba.
Saat diperiksa, para pelaku mengaku mengonsumsi narkoba sebelum mencuri. ”Keterangan berasal dari tersangka pencurian yang menggunakan narkoba. Ia memakai narkoba supaya menambah stamina dalam melaksanakan aktivitas itu di lapangan,” ujarnya.
Erlan menambahkan, ke-10 tersangka itu dikenai Pasal 363 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Pencurian. Mereka diancam hukuman tujuh tahun penjara.
Penyerangan
Kepala Polres Kotawaringin Barat Ajun Komisaris Besar Yusfandi Usman menjelaskan, pascapenangkapan itu, kantor Polsek Pangkalan Banteng di Kabupaten Kotawaringin Barat diserang empat pemuda yang juga dalam keadaan mabuk.
Empat orang itu menggunakan mobil pikap berjalan dari arah Sampit menuju ke Pangkalan Bun. Di dekat kantor Polsek Pangkalan Banteng, mereka tiba-tiba berbelok masuk ke kantor dan menabrak salah satu personel polisi yang sedang bertugas.
Empat orang tersebut kemudian berhenti di depan gapura kantor polsek, lalu turun dari mobil dan mengeluarkan senjata tajam. Mereka mengejar salah satu personel, tapi tidak berhasil menangkapnya. Personel yang lain keluar dan menangkap mereka.
”Saya bisa pastikan (serangan) ini semua ada hubungannya dengan penangkapan pencuri sawit. Mereka tidak terima kerabat mereka ditangkap,” kata Yusfandi.
Mereka bukan pencuri yang mengendap-endap dalam aksinya. Semua dilakukan terang-terangan karena ini aksi protes, bukan sekadar kebutuhan ekonomi.
Aksi protes
Penjarahan buah sawit milik perusahaan itu sudah kesekian kalinya dilakukan warga di Kalteng. Kompas mencatat, aksi serupa sudah terjadi sejak tahun lalu dan mulai ramai kembali tahun ini.
Melihat hal tersebut, Direktur Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi mengungkapkan, aksi panen massal di kebun milik perusahaan itu merupakan bentuk protes masyarakat terhadap perusahaan. Mereka memiliki berbagai alasan untuk melakukan itu, mulai dari perampasan lahan hingga tuntutan kebun plasma yang dijanjikan.
Di Kabupaten Seruyan, khususnya di Kotawaringin Barat ataupun Kotawaringin Timur, menurut Habibi, konflik serupa sudah terjadi sejak perusahaan datang ke desa-desa mereka puluhan tahun lalu. Namun, pemerintah dan aparat kepolisian hanya melihat peristiwa itu sebagai tindakan kriminal semata.
”Saat perusahaan datang diberi izin oleh pemerintah, ada lahan masyarakat yang hilang. Lahan itu merupakan ruang hidup mereka untuk berusaha,” ujar Habibi.
Selain itu, lanjut Habibi, perusahaan datang dengan janji kesejahteraan yang hingga kini tak dirasakan masyarakat. Dalam kasus di Kotawaringin Timur, masyarakat juga tidak merasakan dana sosial yang menjadi kewajiban perusahaan, seperti dana corporate social responsibility (CSR).
”Mereka bukan pencuri yang mengendap-endap dalam aksinya. Semua dilakukan terang-terangan karena ini aksi protes, bukan sekadar kebutuhan ekonomi,” kata Habibi.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalteng Rizky Djaya mengungkapkan, aksi penjarahan sudah tidak sesuai dengan regulasi ataupun budaya di Kalimantan Tengah. Menurut Rizky, perlu ada tindakan tegas untuk mengatasi masalah itu.
”Sebaiknya aparat penegak hukum di seluruh kabupaten bertindak tegas karena tidak ada aturan, baik dari sisi agama maupun budaya, atau hukum lainnya yang membenarkan aksi penjarahan. Kita ini hidup di negara hukum, masyarakat perlu patuhi itu,” katanya.