Putar Siasat Tangani Sampah di Yogyakarta
Kota Yogyakarta menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan sampah pascapenutupan TPA Piyungan.
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memasuki babak baru pengelolaan sampah setelah ditutupnya Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Regional Piyungan per 1 Mei 2024. Dari tiga daerah yang terdampak, Kota Yogyakarta merupakan yang paling rentan. Mampukah pemerintah kota mengatasi masalah itu?
Rencana penutupan TPA yang berlokasi di Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, itu telah digaungkan Pemerintah Daerah DIY sejak pertengahan tahun lalu. Pasalnya, lahan penampungan sampah seluas 10 hektar di TPA yang telah beroperasi 28 tahun itu sudah penuh.
Sejak September 2023, TPA yang menjadi andalan Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul tersebut praktis hanya beroperasi terbatas di lahan zona transisi seluas 2,5 hektar. Namun, lahan transisi itu pun kini telah penuh sehingga harus ditutup total per 1 Mei 2024.
Karena itu, Pemda DIY sejak pertengahan tahun lalu mendorong desentralisasi pengelolaan sampah. Artinya, tiga kabupaten/kota yang selama ini bergantung pada TPA Piyungan harus menangani sampahnya secara mandiri. Ketiganya pun menyatakan kesiapan melakukan desentralisasi pengelolaan sampah dengan peta jalan masing-masing.
Namun, Kota Yogyakarta menghadapi tantangan yang lebih kompleks dibandingkan dua saudaranya tersebut. Luas kota itu hanya 33 kilometer persegi atau 1 persen dari luas Provinsi DIY. Adapun Sleman luasnya 575 km persegi dan Bantul mencapai 507 km persegi atau 15-17 kali lipat luas Kota Yogyakarta.
Sempitnya wilayah memunculkan problema dalam membangun fasilitas pengolahan sampah di Kota Yogyakarta. Sebagai ibu kota provinsi dan pusat perekonomian, hampir tak ada lagi lahan kosong di kota tersebut.
Baca juga: TPA Piyungan Tutup Permanen, Tiga Daerah di DIY Tak Bisa Lagi Kirim Sampah
Persoalan kian pelik karena Kota Yogyakarta adalah daerah dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi di DIY, bahkan termasuk salah satu yang tinggi di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2023, populasi Kota Yogyakarta sebanyak 375.000 jiwa sehingga tingkat kepadatan penduduknya mencapai 11.400 jiwa per kilometer persegi.
Dengan kondisi tersebut, Pemkot Yogyakarta membagi pengolahan sampah pada tiga fasilitas tempat pengolahan sampah terpadu (TPST). Ketiganya merupakan pengembangan dari TPS 3R (reduce, reuse, recycle) yang sudah ada sebelumnya. Hal ini menjadi solusi kendala lahan meski luasannya terbatas.
Penolakan Piyungan
Penjabat Wali Kota Yogyakarta Singgih Raharjo pada Kamis (2/5/2024) menyebut, dari ketiganya, TPST Nitikan yang berkapasitas olah 60-75 ton sampah per hari adalah yang terbesar. TPST itu sudah beroperasi mengolah sampah menjadi bahan bakar industri semen berupa refuse derived fuel (RDF) dan pupuk kompos.
Adapun dua TPST lainnya dengan model sama masih dalam penyelesaian, yakni TPST Kranon yang bisa mengolah 40-45 ton sampah per hari dan TPST Karangmiri dengan kapasitas 25-30 ton per hari. TPST Kranon ditargetkan beroperasi minggu pertama Mei dan TPST Karangmiri pada akhir Mei.
Singgih mengatakan, saat ini pemkot harus mengelola 200 ton sampah setiap hari. Artinya, jika ketiga TPST itu bisa beroperasi dengan kapasitas maksimal, sampah yang bisa ditangani baru sebanyak 150 ton per hari.
Kami coba lakukan komunikasi lebih intensif lagi dengan penjelasan lebih detail kepada warga.
Untuk itu, dia menjelaskan, pemkot juga bekerja sama dengan pihak swasta yang dapat mengelola sampah hingga 60 ton per hari. Selain itu, sambil menunggu penyelesaian TPST Kranon dan TPST Karangmiri, sampah juga akan ditampung di 14 depo yang dimiliki Pemkot Yogyakarta.
Di luar itu, pemkot juga berencana membangun satu TPST lagi di bekas lahan TPA Piyungan. Namun, rencana tersebut mendapat penolakan dari warga sekitar sehingga realisasinya tertunda.
”Kami coba lakukan komunikasi lebih intensif lagi dengan penjelasan lebih detail kepada warga. Sebetulnya TPST di Piyungan itu nanti kita tidak menambah sampah, tapi mengolah sampah sampai habis, bukan ditimbun seperti model TPA Piyungan dulu,” kata Singgih.
Penanganan hulu
Terkait rencana pembangunan TPST di Piyungan, Sekretaris Daerah DIY Beny Suharsono pada 29 April 2024 mengatakan, Gubernur DIY telah memberikan izin kepada Pemkot Yogyakarta untuk keperluan tersebut. Kini tinggal bagaimana Pemkot Yogyakarta berdialog dengan warga setempat untuk mendapatkan persetujuan.
Dia mengatakan, semua hal harus dibicarakan secara baik-baik dan terbuka, termasuk penjelasan soal hak dan kewajiban masing-masing. Selain di Piyungan, Beny menyebut, Pemda DIY juga siap memfasilitasi kerja sama pengelolaan sampah Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Kulon Progo.
Baca juga: Berpacu Menjinakkan Bom Waktu Sampah di DIY
Namun, selain pengelolaan di hilir, Kota Yogyakarta juga harus mengoptimalkan upaya pengurangan sampah di hulu. Apalagi, kota ini sudah memiliki modal besar, yakni 666 bank sampah yang tersebar di seluruh 45 kelurahan.
Dosen teknik lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Hijrah Purnama Putra, Sabtu (4/5/2024), mengungkapkan, pengelolaan sampah di hulu secara teori dapat menekan hingga 20 persen timbulan sampah. Hal itu berasal dari pemilahan sampah anorganik, seperti kertas, plastik, dan logam yang memiliki nilai ekonomi sehingga bisa dijual kembali.
Permasalahannya, kata Hijrah, Yogyakarta berada jauh dari pusat industri daur ulang di Semarang, Surabaya, dan Jakarta. Hal ini membuat sejumlah sampah anorganik di Yogyakarta menjadi tidak ekonomis lagi karena butuh ongkos transportasi besar untuk membawanya ke ketiga daerah itu.
Nilai sampah anorganik lainnya juga akan menjadi lebih rendah dibandingkan nilai sampah sejenis di kota-kota yang memiliki industri daur ulang. Ujungnya, insentif bagi masyarakat untuk memilah sampah di rumah tangga jadi berkurang.
Ini juga memberikan keuntungan ekonomi lebih besar bagi warga yang memilah dan mengumpulkan sampah tersebut.
Karena itu, menurut Hijrah, pemda harus mengambil peran dengan menjembatani kehadiran industri-industri daur ulang di DIY. Alternatif lain, pemda memfasilitasi kerja sama antara bank sampah dan industri daur ulang di ketiga kota tadi, misalnya, dengan memberikan subsidi biaya angkut.
Hal ini akan membuat lebih banyak jenis sampah anorganik yang bisa diserap sehingga mengurangi timbulan sampah di hulu. Di sisi lain, ini juga memberikan keuntungan ekonomi lebih besar bagi warga yang memilah dan mengumpulkan sampah tersebut.
Ya, segala daya dan siasat perlu diupayakan demi keberhasilan pengelolaan sampah di Kota Yogyakarta. Apalagi, pertaruhannya makin tinggi mengingat Yogyakarta juga merupakan wajah DIY di mata nasional.
Selain itu, daerah ini adalah magnet utama kunjungan wisatawan dari berbagai penjuru negeri dan mancanegara. Sulit membayangkan dampaknya jika kota tujuan pariwisata ini justru dipenuhi oleh sampah yang tak tertangani.
Baca juga: Darurat Pengelolaan Sampah di Indonesia