Teriakan Berisik Berisi dari Balikpapan
Musisi di Kota Balikpapan mengabadikan situasi tempat tinggalnya melalui musik dengan lirik kritis.
Kita pernah melukis cinta di langit
Tetapi asap pabrik naik ke atas
lalu menghapusnya
Orang kota, termasuk para seniman, menunjukkan kepedulian dan keberpihakan pada lingkungan sekitarnya dengan beragam cara. Di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, puisi karya Samsir Marangga di atas menjadi pembuka lagu grup musik Monkey Mangkir berjudul ”Hantam”. Setelah larik puisi, mereka memadukan kibor dan distorsi mengiringi lirik-lirik kritis, menggambarkan berbagai ketimpangan dan masalah di sekitar Balikpapan.
La Dores (30), gitaris dan vokalis Monkey Mangkir, bercerita, penggalan puisi tersebut merupakan respons bandnya terhadap sebuah peristiwa tragis di sebuah kampung di Kaltim: seorang buruh pabrik sawit meninggal di tempat kerjanya.
Lihat juga: Hantam
Buruh tersebut hidup dengan pasangannya dan belum punya keturunan. Dores bercerita, grup musiknya melihat ada cita-cita dan cinta buruh pabrik yang kandas akibat eksploitasi perusahaan sawit.
Setelah puisi dan musik mengalun, lirik-lirik yang menggambarkan ironi kondisi lingkungan di Kaltim dinyanyikan. Mereka menyoroti debu tambang batubara yang mengganggu pernapasan warga; banjir penuh lumpur saat hujan turun; hingga menyitir problem pengangguran.
Kami semakin makmur / makan debu dan lumpur // Di tanah kami yang subur / kami menganggur
Dores mengatakan, lirik-lirik itu secara sadar mereka tulis untuk mendokumentasikan lingkungan tempat tinggal mereka. Hujan, misalnya, oleh sejumlah orang kerap diasosiasikan dengan sesuatu yang romantis dan keindahan.
”Tapi hujan di Samarinda, misalnya, tidak indah karena banjir. Motivasi kami menulis lirik begitu cuma mau jujur,” katanya beberapa waktu lalu.
Bagi Monkey Mangkir, musik adalah alat komunikasi sekaligus dokumentasi tempat tinggal mereka. Itu bisa menjadi medium menyuarakan keresahan dan persoalan yang mereka jumpai supaya didengar semakin banyak orang.
Hal itu, kata Dores, lahir dari diskusi dan bacaan yang menginspirasi mereka. Puisi-puisi politik Pablo Neruda, misalnya, mengena dan dekat dengan personel Monkey Mangkir. Dari dalam negeri, mereka menyebut karya penyair Saut Situmorang sebagai salah satu bacaan rujukan.
Karya-karya itu, kata Dores, amat terasa kejujuran dalam berkaryanya. Untuk itu, lewat medium musik, mereka mengambil semangat berkarya itu tanpa harus menutup-nutupi situasi sosial, ekonomi, dan politik di sekitar mereka.
Format puisi dan lagu itu mereka gunakan pula di lagu lain, yakni ”Hutan Limbung”. Mereka menyoroti bagaimana eksploitasi sumber daya alam di Kaltim yang memberi beban hidup bagi warga di sekitarnya.
Semua itu sangat terlihat dalam lirik: Hutan ditebang, tanah dilubang, kami terbuang di lubang tambang.
Genset hingga kebakaran
Semangat mendokumentasikan peristiwa tempat tinggal melalui karya juga dilakukan oleh band cadas Balikpapan, Infact. Dalam lagu ”Tangis dan Bara”, mereka membuat riff gitar dan ritme drum yang terinspirasi bunyi mesin genset.
Adi Kresna Yusanta (46), gitaris Infact, mengatakan bahwa saat lagu itu dibuat, sekitar tahun 2000-an awal, listrik di Balikpapan belum menyala 24 jam.
Baca juga: Record Store Day Kaltim, Menikmati Musik dari Rilisan Fisik
Oleh karena itu, genset hampir ada di setiap rumah warga saat listrik padam. Bahkan, saat itu ada celoteh ”Balikpapan Kota Seribu Genset”.
Melalui lagu itu, secara langsung atau tidak, mereka mengabadikan memori sebuah kota. Setidaknya, melalui ritme dan riff gitar, mereka menggambarkan kebisingan genset yang pernah bersautan di Balikpapan, sebuah kota yang krisis listrik di sebuah provinsi yang batubaranya dikeruk untuk pembangkit listrik.
Lihat juga: Tangis dan Bara
Kendati listrik di Balikpapan saat ini sudah jauh lebih baik, lagu itu bisa menjadi semacam dokumentasi mandiri sebuah tempat yang dilakukan dengan cara unik oleh musisi di Balikpapan.
”Untuk liriknya, Infact terinspirasi dari peristiwa kebakaran besar di Pasar Kebun Sayur Balikpapan, sekitar tahun 2008,” kata Adi.
Mereka memotret adegan-adegan dan suasana batin korban kebakaran dalam lirik yang dilantangkan dengan teriakan suara serak: Jerit tangis dan marah/Membakar mengusik jiwa//Hancur lebur merata/Inilah malapetaka.
Musik dan lirik itu, jika dimaknai dalam kondisi Balikpapan hari ini, seperti pengingat: kebakaran besar pernah terjadi di sini; belajar darinya supaya tak terulang lagi.
Imbas kebijakan
Kekesalan-kekesalan lain hadir melalui lirik band grunge Balikpapan, Superego. Dalam lagu ”Membeli Udara”, mereka merespons kebijakan pemerintah yang bikin gerah dan dirasakan warga sampai ke daerah-daerah.
Rendy Asra (42), penulis lirik sekaligus drummer Superego, mengatakan, lirik lagu ”Membeli Udara” merespons kenaikan berbagai harga bahan pokok dan penting.
Selain itu, dari pengamatannya, semakin hari saat ini warga dihadapkan dengan berbagai kapitalisasi oleh negara. Imbasnya, untuk mendapat berbagai kebutuhan dasar, warga terpaksa membeli.
Yang berbahaya adalah kalau lirik lagu tentang kritik sosial itu masih relevan. Artinya tidak ada perubahan
Keresahan itu terlihat dalam lirik: Bebalkan otak / lambankan gerak // Terjajah hingga/ terpaksa membeli udara
”Jangan-jangan nanti udara juga diperjualbelikan. Udara ini cuma istilah. Itu bisa jadi harga diri, rumah tinggal, atau yang lain,” kata Rendy.
Mengacu hal tersebut, saat ini, sejumlah wilayah di Balikpapan sedang dilanda krisis air karena volume bendungan menurun akibat El Nino. Akibatnya, aliran air PDAM ke rumah warga tidak 24 jam.
Sejumlah warga bahkan harus membeli air tandon Rp 100.000-Rp 150.000 per tandon. Seperti gambaran pada lagu ”Membeli Udara”, warga terpaksa membeli air dengan harga lebih tinggi untuk mendapatkan kebutuhan dasar.
Menghidupi musik
Uniknya, para musisi di Balikpapan itu tidak hidup dari musik. Mereka adalah profesional di berbagai bidang. Dores adalah peneliti di lembaga nonpemerintah, Adi adalah pekerja di bidang properti, dan Rendy adalah pekerja di bidang barang habis pakai.
Personel lain di band mereka pun punya profesi masing-masing. Kendati tak hidup dari musik, mereka menghidupi musik di Balikpapan melalui nada, ritme, dan teriakan berisi.
Suara serak, teriakan, kebisingan, dan distorsi yang mereka rekam adalah suara-suara dari bawah yang memberi perspektif lain tentang tempat tinggalnya. Mereka mewartakan kegelisahan-kegelisahan yang tak terliput.
Baca juga: Pacuel, dari Hati Naik ke Telinga
Mereka memberi kritik yang dinyanyikan oleh sejumlah pendengar musiknya dan berharap memantik perubahan. ”Yang berbahaya adalah kalau lirik lagu tentang kritik sosial itu masih relevan. Artinya tidak ada perubahan,” ujar Rendy tertawa.
Lewat musik, kritik yang alpa tersampaikan terus diapungkan ke udara di Balikpapan. Berharap semuanya menjadi harmoni untuk masa depan kota yang lebih baik.