Trans-Sulawesi di Konawe Utara Belum Pulih akibat Banjir, Beban Warga Berlipat Ganda
Selama sepekan, jalur Trans-Sulawesi di Konawe Utara, Sultra, masih lumpuh. Jalur distribusi dan transportasi terhambat.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Jalur Trans-Sulawesi di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, masih lumpuh akibat terendam banjir lebih dari sepekan terakhir. Warga dan pengendara harus mengeluarkan biaya hingga jutaan rupiah untuk menyeberang dengan rakit darurat di jalur yang menghubungkan dua provinsi tersebut. Pemerintah dituntut menyelesaikan akar persoalan banjir yang terus terjadi di wilayah ini.
Hingga Jumat (10/5/2024) sore, banjir dengan ketinggian hingga 2 meter masih merendam akses Trans-Sulawesi di wilayah Desa Sambandete, Oheo, Konawe Utara. Jalur yang menjadi akses satu-satunya antara Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah itu terputus sekitar 700 meter. Di bagian tengah jalur, sedikitnya ada tiga kendaraan yang terjebak dan terendam banjir.
Di masing-masing sisi jalan, ratusan kendaraan, baik kendaraan pribadi, mobil tangki bahan bakar, maupun angkutan barang, antre hingga berhari-hari menunggu air surut. Sementara itu, warga menaiki rakit untuk melintasi jalur yang berarus deras di beberapa titik tersebut. Warga berbagai usia, orang tua hingga anak-anak, bergabung dengan berbagai kendaraan dan barang di atas rakit meski di bawah guyuran hujan.
Acim (29), sopir pengangkut beras dari Konawe ke Morowali, mengungkapkan, ia telah tiba sejak Jumat pagi. Antrean panjang kendaraan lebih dari 500 meter membuatnya baru bisa berada di tempat penyeberangan darurat tersebut setelah siang.
”Kami bongkar dulu berasnya di sini karena truk tidak bisa pakai rakit. Di sebelah sana ada truk yang menunggu. Mau tidak mau harus kerja begini karena tidak bisa dipaksa jalan. Hari ini kami bawa 10 ton beras,” kata Acim.
Selama sepekan terakhir, Acim telah dua kali bolak-bolak di tempat ini untuk membawa beras. Kondisi ini membuat biaya operasional bertambah. Dibutuhkan biaya hingga Rp 1 juta untuk menyewa rakit pengangkut barang. Hal ini pun membuat harga jual beras harus dinaikkan dari sebelumnya. Meski begitu, ia tidak tahu persis berapa kenaikan harga akibat dampak banjir selama sepekan terakhir ini.
Pracoyo (47), sopir pengangkut barang lainnya, menuturkan, biaya operasionalnya meningkat dua kali lipat dari sebelumnya. Jika kondisi jalan normal, ia mengeluarkan Rp 1,2 juta di perjalanan Kendari-Morowali. Saat ini, biaya pulang pergi mencapai kisaran Rp 2,5 juta akibat banjir.
Tidak hanya biaya, waktu tempuh juga bertambah lama. Sebab, kendaraan harus antre panjang hingga bisa mencapai titik banjir. Tiba sejak Kamis sore, ia baru bisa menyeberang pada Jumat tengah hari.
Kondisi banjir di wilayah ini memang terlihat deras dan tinggi. Rakit yang dibuat dan dioperasikan warga membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk menaikkan kendaraan hingga tiba di seberang.
Sejumlah warga juga mengeluhkan biaya rakit yang begitu tinggi. Untuk kendaraan minibus bisa mencapai Rp 800.000 sekali menyeberang. Sementara untuk satu sepeda motor berkisar Rp 100.000 dan warga Rp 30.000 per orang.
”Beberapa hari lalu bahkan bisa mencapai Rp 1 juta sekali menyeberang. Setelahnya ada pertemuan dan disepakati mobil paling mahal Rp 500.000. Tetapi, hari ini berbeda lagi, kembali ke Rp 700.000,” kata Usrin (45), warga Konawe Utara. Ia harus mengeluarkan anggaran berlipat ganda untuk kembali ke kediamannya setelah menghadiri pernikahan anaknya di Kabupaten Bombana.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah mengatur dan memberi perhatian penuh terhadap persoalan ini. Sebab, banjir membuat masyarakat menderita dan sulit untuk beraktivitas. Di luar dari itu, ia menginginkan agar banjir tidak terus berulang di wilayah ini.
Kepala Kepolisian Sektor (Polsek) Asera Ajun Komisaris I Kadek Agus Budiyanto mengatakan, sejak banjir terjadi, petugas berusaha membantu dan mengatur warga yang ingin menyeberang. Pengendara diharapkan tidak memaksakan menyeberang karena banjir sedang tinggi.
Selama banjir, ia melanjutkan, masyarakat sekitar lalu membuat rakit untuk membantu penyeberangan. ”Kami mengimbau agar harga penyeberangan tidak terlalu tinggi. Selain itu, sabar dan tidak memaksakan diri untuk menyeberang jika arus terlalu tinggi,” ucapnya.
Banjir telah merendam wilayah Konawe Utara selama lebih dari sepekan terakhir. Selain wilayah Oheo, lima kecamatan lainnya juga terdampak. Kecamatan tersebut adalah Andowia, Asera, Langgikima, Landawe, dan Wiwirano. Satu wilayah di Molawe terdampak puting beliung.
Data BPBD Konawe Utara, hingga Kamis (9/5/2024), selain jalur Trans-Sulawesi, banjir juga menyebabkan 983 jiwa terdampak. Sebagian di antaranya mengungsi ke rumah keluarga terdekat.
Bupati Konawe Utara Ruksamin mengatakan, banjir yang terjadi selama sepekan terakhir merendam rumah warga dan membuat akses Trans-Sulawesi belum bisa dilalui hingga saat ini. Jalur nasional tersebut dikerjakan oleh pemerintah setelah banjir besar yang terjadi pada 2019. Namun, pekerjaan memang tidak selesai dan belum dilanjutkan.
”Saat ini kami upayakan tidak ada korban jiwa dan harta. Berbagai upaya telah dilakukan sebelumnya. Namun, yang belum tersentuh untuk penanganannya adalah kolam retensi untuk pengendali banjir. Kedua adalah pengerukan sedimen. Lambatnya air turun adalah akibat sedimentasi (di sungai), bahkan terjadi pendangkalan sehingga debit air cepat naik ke jalan,” tutur Ruksamin.
Data BPBD Konawe Utara, hingga Kamis (9/5/2024), selain jalur Trans-Sulawesi, banjir juga menyebabkan 983 jiwa terdampak. Sebagian di antaranya mengungsi ke rumah keluarga terdekat.
Banjir bandang pernah merendam wilayah Konawe Utara pada pertengahan 2019. Saat itu, sejumlah kecamatan di wilayah ini diterjang banjir bercampur lumpur. Banjir bandang saat itu menyapu Desa Tapuwatu dan menghilangkan ratusan rumah warga. Desa ini adalah satu dari 50 desa/kelurahan yang terdampak banjir pada 2019.
Bukit-bukit sekitar daerah ini juga merupakan salah satu sentra pertambangan nikel. Wilayah Konawe Utara memang daerah kaya nikel dengan jumlah izin pertambangan nikel terbanyak di Sultra, bahkan di Indonesia.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Walhi Sultra Andi Rahman mengatakan, banjir yang terjadi berulang kali meski curah hujan tidak tinggi merupakan pertanda kerusakan ekologi wilayah Konawe Utara. Pembukaan lahan masif untuk pertambangan dan perkebunan skala besar telah membuat daerah resapan berkurang drastis dan menyebabkan sedimentasi di sungai.
Kondisi ini, ucap Andi, terjadi akibat abainya pemerintah terhadap situasi yang terjadi. Banjir berulang terjadi lebih cepat dari sebelumnya. Hal ini akibat kerusakan lingkungan terjadi terus-menerus tanpa adanya perbaikan berarti.