Kisah Kuburan Hilang dan Rindu Tak Berujung di Kebun Sawit Kalteng
Konflik sawit menimbulkan konflik warga dan perusahaan selama puluhan tahun di Kalteng. Sulit diurai dan diselesaikan.
Sudah puluhan tahun sebagian warga di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, tersandera konflik sawit. Tak berujung, mereka lelah kehilangan banyak hal, mulai dari sulitnya mencari kuburan leluhur, rindu damai yang hilang, hingga merasakan dinginnya penjara.
Dedi Susanto (32), warga Desa Penyang, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, adalah salah satu pemilik kisah kelam itu. Lebih dari setengah umurnya, atau 20 tahun terakhir, hidupnya dalam pusaran konflik warga dengan perusahaan sawit di desanya.
Bukan perkara mudah bagi Dedi mengumpulkan ingatan-ingatan kelam. Sorot matanya mendadak tajam ketika ia mulai merangkai kisah pada Rabu (8/5/2024). Penyang sekitar 250 kilometer dari Palangka Raya, ibu kota Kalteng.
Perih. Namun, ia mencoba mengungkapkan agar cerita itu tak hilang. Saking seriusnya, ia meminta dua anaknya masuk ke rumah sebelum dia benar-benar bicara bara di kebun sawit.
Dari beragam kisah, ia memulainya lewat pengalaman pada 2003. Saat itu, untuk pertama kalinya perusahaan masuk Desa Penyang. Dedi yang belum lulus SD tidak tahu apa perusahaan itu. Namun, ia ingat ayahnya, almarhum Sargianto, murka.
Sargianto mengatakan, perusahaan datang tanpa sosialisasi. Mereka lalu membabat hutan, sekitar 5 kilometer dari rumahnya di pinggir jalan Trans-Kalimantan, untuk dijadikan kebun sawit.
Baca juga: Konflik Lahan hingga Penjarahan Sawit di Kalteng Terus Bawa Derita
Bukan hanya perkara hutan yang hilang, Sargianto keberatan karena di sekitarnya ada kuburan orangtuanya dan kerabat yang lebih tua.
Dengan mata kepalanya sendiri, Dedi lihat hutan lebat hilang dengan cepat. Alat berat dengan mudah menggusur dan menghancurkan kawasan seluas sekitar 4 hektar. Akar-akarnya tercerabut dari tanah. Daerah yang diyakini sebagai kuburan keluarga sudah sulit dikenali.
”Sampai sekarang kuburan itu sulit kami temukan karena sudah tertutup sawit,” kata Dedi.
Tanpa solusi
Kuburan orang Dayak tak seperti kuburan pada umumnya. Tak ada batu nisan atau gundukan tanah atau semen. Penandanya adalah kayu. Kuburan milik nenek moyang Sargianto, misalnya, ditandai dengan sapundu, tiang kayu ulin (Eusideroxylon zwageri).
Kayu itu diukir serupa dengan citra orang yang meninggal. Beberapa sapundu diukir bentuk orang. Sebagian lainnya berupa binatang. Jika orang yang meninggal itu dikenal sebagai penakluk ular, biasanya dihiasi ukiran ular.
Tidak hanya sapundu yang hilang, sanding atau tempat menyimpan tulang juga tak lagi terlihat. Semua rata dengan tanah.
”Kami yakin di situ lokasinya karena kami melihat sisa-sisa pecahan-pecahan kaca dan kayu dari kuburan kakek kami,” kata Dedi.
Melihat itu, Sargianto kian sulit menahan emosi. Dia bahkan nyaris menarik mandau dan hendak melampiaskannya kepada pekerja perusahaan. Beruntung, itu tidak terjadi. Sargianto sadar, pekerja itu hanya suruhan. Pegawai itu harus taat pada majikannya.
Akan tetapi, Sargianto tidak menyerah begitu saja. Dia lantas memilih jalan lebih beradab.
Sargianto, misalnya, mendatangi semua pejabat desa hingga kecamatan melaporkan kejadian itu. Ia juga menuntut perusahaan dan meminta mereka mengikuti sidang adat.
Tandanya mereka belum merasakan kesejahteraan seperti yang dijanjikan kebijakan investasi di Kalteng. Kalau manfaatnya dirasakan sama mereka, tidak mungkin fenomena itu terjadi.
Akan tetapi, jalan yang ditempuh Sargianto tidak mulus. Perusahaan mangkir dalam sidang adat.
Perusahaan sempat berusaha mencari solusi dengan mengajak keluarga Sargianto ke lokasi dan menunjukkan sisa-sisa kuburan leluhur mereka. Namun, nasib sembilan kuburan leluhur tak pernah diketahui.
”Sampai sekarang tidak jelas. Sampai ayah saya meninggal tahun lalu, jangankan ganti rugi, kata maaf pun tidak ada,” ujar Dedi.
Berkepanjangan
Kisah kuburan hilang dan tak diketahui ujungnya hingga kini seperti menggambarkan konflik warga dengan perkebunan sawit di Kalteng yang urung rampung.
Inti dari konflik sulit diurai, apalagi diselesaikan. Hampir setiap tahun, selalu terdengar kisah sumbang yang sesungguhnya tak pantas terjadi di negara hukum ini.
Tahun 2020, misalnya, tiga warga asal Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, dan Desa Penyang, James Watt, Dilik, dan Hermanus, ditangkap polisi. Ketiganya mengklaim hanya menuntut haknya memanen buah sawit. Namun, aparat menganggap sebaliknya.
Semuanya dituduh mencuri sawit. Kasus ini mendapat kritikan banyak pihak. Proses hukum terus berjalan. Hermanus bahkan meninggal di dalam penjara sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Aksi serupa berlanjut di April hingga Mei 2024. Dalam sebulan terakhir, setidaknya terjadi empat penangkapan warga. Semuanya dituduh mencuri sawit milik perusahaan di tiga kabupaten di Kalteng, yakni Kotawaringin Timur, Seruyan, dan Kotawaringin Barat.
Setidaknya 46 ditangkap. Tiga masih diperiksa, tetapi 43 sudah ditetapkan jadi tersangka.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalteng Komisaris Besar Erlan Munaji menjelaskan, para tersangka dijerat Pasal 363 KUHP tentang Pencurian. Ancaman hukuman maksimal 5 tahun. Sebagian besar kasus sudah dilimpahkan ke kejaksaan negeri di setiap wilayah.
Baca juga: Perlu Evaluasi Perizinan untuk Meminimalkan Penjarahan Sawit di Kalteng
Bupati Kotawaringin Timur Halikinnor menilai, sengketa tanah sebenarnya sudah tidak ada. Menurut dia, perusahaan yang sudah bertahun-tahun beraktivitas di wilayahnya sudah clear dan clean. Persoalan klaim lahan itu muncul dari warga yang sebenarnya sudah menjual tanahnya ke orang lain.
Walakin, ia tak menampik masih banyak konflik di wilayahnya. Salah satu pemicunya adalah kewajiban perusahaan untuk menyiapkan kebun plasma.
”Ini yang kami dorong agar perusahaan menyiapkan kebun plasma. Kami bentuk tim khusus untuk selesaikan konflik sosial, khususnya di wilayah perkebunan sawit,” katanya.
Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Kalteng Rizky Djaya menjelaskan, selama ini terjadi kekeliruan pemahaman soal kebun plasma. Menurut dia, kebijakan soal kebun plasma hanya berlaku untuk perusahaan yang mendapatkan izin setelah aturan itu berlaku.
Selain itu, kewajiban kebun plasma juga tak selalu diberikan dalam bentuk lahan sawit untuk masyarakat. Beberapa perusahaan sudah melaksanakan kewajiban itu dengan memberikan sisa hasil usaha dalam bentuk uang bulanan kepada masyarakat.
Rizky juga menilai fenomena penjarahan yang marak terjadi ini dapat mengganggu iklim investasi. ”Penjarahan sudah tidak sesuai dengan regulasi, juga budaya kita di Kalteng. Sebaiknya aparat penegak hukum di semua kabupaten bertindak tegas,” katanya.
Belum sejahtera
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata mengungkapkan, apa yang terjadi pada Dedi dan warga lainnya merupakan gambaran jelas konflik panjang di Kalteng. Konflik yang dibiarkan bertahun-tahun lalu bisa meledak kapan saja.
Menurut Bayu, panen massal sudah dilakukan sejak dulu kala sebagai bentuk protes. ”Mereka bukan pencuri seperti yang dituduhkan,” kata Bayu.
Sayangnya gerakan panen massal itu, lanjut Bayu, dimanfaatkan orang dari kelompok yang bahkan tidak berkonflik dengan perusahaan. Gerakan itu menjadi masif, menjadi penjarahan. Bayu bahkan menilai itu sebagai fenomena.
”Tandanya mereka belum merasakan kesejahteraan seperti yang dijanjikan kebijakan investasi di Kalteng. Kalau manfaatnya dirasakan sama mereka, tidak mungkin fenomena itu terjadi,” kata Bayu.
Konflik di Kalteng menunjukkan jejak sawit tidak selalu sebening minyak goreng, salah satu produk di hilirnya. Ada harapan banyak orang untuk rindu hidup tenang dan sejahtera di kampung halamannya sendiri.