logo Kompas.id
OlahragaSosialisasi Doping Minim
Iklan

Sosialisasi Doping Minim

Oleh
· 4 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Atlet peraih medali Peparnas Jabar 2016, Adyos Astan, terancam sanksi doping gara-gara mengonsumsi obat sakit flu yang diresepkan dokter. Penggunaan obat resep dokter yang mengandung zat methylprednisolone itu seharusnya tidak terkategori doping jika Adyos mengetahui mekanisme permohonan Pembebasan Penggunaan Terapeutik. Sidang Dewan Disiplin Anti Doping di Jakarta, Jumat (17/2), mendengar keterangan Adyos terkait temuan zat methylprednisolone dalam sampel urine yang diperiksa National Dope Testing Laboratory (NDTL, laboratorium doping di India yang terakreditasi Badan Anti Doping Dunia/WADA). Adyos adalah atlet tenis meja kontingen Maluku yang meraih dua medali emas (nomor tunggal dan ganda) serta medali perunggu (nomor beregu) pada Peparnas 2016 lalu. Dalam sidang itu, Adyos menjelaskan dirinya menderita flu ketika tiba di Bandung, Jawa Barat, menjelang Peparnas pada Oktober tahun lalu. Ia lalu memakai salinan resep dokter miliknya untuk membeli obat, dan ternyata obat itu mengandung zat methylprednisolone.                "Saya memakai obat flu resep dokter itu sejak lama, tetapi tidak tahu jika obat itu tergolong doping. Ketika mengalami flu menjelang PON, saya memakai salinan resep dokter untuk membeli obat itu dan meminumnya," kata Adyos yang juga Ketua Komite Paralimpik Nasional (NPC) Provinsi Maluku. Sidang Dewan Disiplin menjelaskan kandungan zat doping dalam obat berdasarkan resep dokter bisa dikecualikan dari doping. "Pengecualian hanya diberikan jika sebelum Peparnas dimulai, Adyos mengajukan permohonan Pembebasan Penggunaan Terapeutik atau TUE. Karena Adyos tidak pernah memohon TUE, sanksi doping tak terhindarkan," kata anggota Dewan Disiplin Anti Doping, Hariyono.Sesuai Kode Anti Doping Dunia 2015 terjemahan Lembaga Anti Doping Indonesia (LADI), setiap atlet yang tidak berlaga dalam kompetisi internasional harus mengajukan permohonan TUE kepada LADI. Sementara atlet yang berlaga dalam kompetisi internasional harus mengajukan TUE kepada federasi internasional cabang olahraga masing-masing."Untuk pertandingan seperti PON dan Peparnas, atlet harus mengajukan permohonan TUE kepada Komisi TUE. Pengajuan harus dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum PON atau Peparnas dimulai. Jika permohonan TUE disetujui, ia bisa melanjutkan pemakaian obatnya. Temuan zat doping yang telah diajukan dalam permohonan TUE tidak termasuk pelanggaran doping," kata Hariyono yang merupakan dokter spesialis penyakit dalam. Atlet tidak paham TUEAdyos menyatakan tidak pernah menerima sosialisasi tentang doping dan tak tahu mekanisme permohonan TUE. "Saya yang Ketua NPC Maluku saja tidak tahu mekanisme TUE, apalagi para atlet paralimpik lainnya. Sosialisasi doping dan cara menghindari doping tidak pernah sampai kepada atlet, apalagi atlet paralimpik seperti kami. Semoga kasus saya menjadi pelajaran bagi atlet lain," kata Adyos seusai mengikuti sidang itu. Atlet binaraga PON 2016, I Ketut Gede Arnawa, seusai diperiksa Dewan Disiplin Anti Doping pada Jumat juga menyatakan tidak pernah menerima sosialisasi doping dan pencegahan doping. "Saya atlet binaraga sejak 2005, tak pernah menerima sosialisasi doping. Saya belajar soal gizi, suplemen, dan doping secara otodidak," kata Arnawa. Sampel urine Arnawa dinyatakan NDTL India mengandung Epitrenbolone (17-a-Tembolone). Namun, Arnawa membantah berniat doping. "Jika menghadapi kompetisi seperti PON, saya bisa mengonsumsi 12 jenis suplemen yang berbeda, bermacam-macam fungsinya, misalnya membakar lemak. Namun, saya yakin itu bukan doping," kata Arnawa.Banding ke MenteriKetua Dewan Disiplin Anti Doping Cahyo Adi menyatakan, selain enam atlet yang telah didengar keterangannya pada pekan ini, masih terdapat delapan atlet PON lain yang belum diperiksa Dewan Disiplin. "Pemeriksaan mereka menunggu hasil uji sampel B dari NDTL India," kata Cahyo.Ia menyatakan, putusan Dewan Disiplin akan berupa sanksi yang harus dijalankan organisasi induk setiap cabang. "Sanksi paling ringan teguran, yang terberat larangan bertanding. Jenis sanksi bergantung pada tingkat kesalahan tiap kasus. Yang jelas, jika sanksinya terkesan main-main, kita bisa semakin dinilai tidak memenuhi ketentuan WADA. Salah-salah bisa ada sanksi baru dari WADA," kata Cahyo. Menurut Cahyo, atlet yang dikenai sanksi berhak mengajukan banding kepada Menpora, "Ajukan permohonan kepada Menteri agar Menteri membentuk dewan banding," katanya. Sementara itu, WADA kemarin memutuskan untuk menghapus Indonesia dari daftar negara yang tidak patuh terhadap Kode Anti Doping Dunia (The World Anti Doping Code). Seperti dikutip dari situs WADA, keputusan itu diambil setelah LADI menyelesaikan persoalan terkait isu penggunaan laboratorium doping yang tidak terakreditasi WADA. Keputusan serupa diberikan bagi Azerbaijan. (ROW)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000