Menghidupkan Kembali Memori Indah Seoul 1988
Tanggal 1 Oktober 1988 menjadi hari yang sulit dilupakan Nurfitriyana Saiman (55). Tepat di Hari Kesaktian Pancasila itu, ia dan dua rekannya-Lilies Handayani dan Kusuma Wardhani-memberikan kado spesial bagi republik ini. Berkat panah "Trio Srikandi", Merah Putih pun berkibar di pentas Olimpiade untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Bayangan memori ketika meraih medali perak di Olimpiade Seoul 1988 itu kembali hidup dalam perbincangan dengan Nurfitriyana di Pusat Olimpiade Indonesia di Cibubur, Jakarta Timur, pertengahan Maret 2017. Anggota Trio Srikandi panahan itu telah gantung busur panah sejak 12 tahun silam dan sempat menekuni karier sebagai pegawai Bank DKI.
Kerinduan dan kecintaan alumnus STIE Perbanas itu pada panahan membuatnya kembali menekuni olahraga akurasi tersebut sejak dua tahun lalu. Sejak awal 2015, mantan atlet asal DKI Jakarta itu ditunjuk sebagai pelatih pelatnas tim panahan RI. Salah satu misi terbesarnya, mengembalikan kejayaan panahan Indonesia seperti di Seoul 1988.
Seiring meningkatnya popularitas panahan-olahraga yang sempat digeluti Presiden Joko Widodo-akhir-akhir ini, Nurfitriyana dan dua legenda panahan putri lainnya mendadak jadi selebritas. Itu terjadi sejak perjalanan hidupnya serta dua srikandi panahan diangkat ke film layar lebar, 3 Srikandi, garapan rumah produksi Multivision Plus pada 2016.
Tidak banyak atlet Indonesia yang menjadi inspirasi dan kisahnya dipanggungkan di instrumen budaya populer itu. "Saya tidak pernah menyangka (perjalanan) hidup saya seperti ini," ujar wanita yang biasa disapa Yana itu mengenang lika-liku hidupnya sebagai olimpian.
Seoul 1988 merupakan Olimpiade pertama Yana sepanjang kariernya. Bermodal 2 emas dan 2 perak di SEA Games Jakarta 1987, ia mengikuti seleksi tim nasional panahan yang dipusatkan di Sukabumi, Jawa Barat. Di sana, ia terpilih sebagai satu dari tiga pemanah nasional wanita yang dipersiapkan untuk Olimpiade Seoul.
Dipoles "Robin Hood"
Itulah awal terbentuknya Trio Srikandi panahan. Almarhum Donald Pandiangan, pemanah putra legendaris yang dijuluki "Robin Hood" Indonesia, di luar dugaan keluar dari "pengasingan" dan bersedia menjadi pelatih Trio Srikandi. Di situlah, Yana merasakan perihnya digojlok sebagai pemanah.
Tak banyak yang tahu, di balik popularitasnya saat ini serta senyum bahagianya di Seoul 31 tahun silam, Yana pernah berkali-kali dibuat menderita oleh panahan. Ia bahkan nyaris meninggalkan panahan, olahraga yang membuatnya berpaling dari senam di awal masa mudanya. "Tahun 1992 saya sempat merasa gak lagi sanggup. Saya sempat kabur (dari pelatnas panahan di Ancol, Jakarta), lalu pulang ke rumah," tutur Yana yang sempat menekuni senam.
Pada masa itu, Yana-satu-satunya anggota Trio Srikandi yang kembali dipanggil ikut pelatnas panahan untuk Olimpiade Barcelona 1992-berkonflik dengan Pandiangan. "Saya lelah mendengar suara (teriakannya). Almarhum sangatlah keras, bahkan terhadap yunior saya yang baru masuk saat itu, Purnama Pandiangan dan Rusena Gelanteh. Saya akhirnya kembali (ke pelatnas) setelah dipertemukan Ibu Mirna (dokter fisiologi KONI). Saat didamaikan dengan Bang Pandi (Pandiangan), saya menangis," kenangnya.
Abaikan ledakan bom
Pandiangan, mantan atlet panahan putra Indonesia, memang dikenal sebagai sosok yang kaku, keras, dan disiplin. Ia sering mengkritik, nyaris tak pernah memuji. "Jika mendengar suara mobilnya (tiba) saja, kami semua sudah gemetar. Jika kami tidak berkonsentrasi (saat latihan), ia marah besar. \'Sekalipun ada bom (meledak), kalian tidak usah tengok-tengok. Biar mati sekalian\'," kata Yana menirukan kalimat Pandiangan saat melatih.
Berbeda dengan atlet kini yang dimanjakan fasilitas mumpuni, salah satunya alat angkat beban untuk kebugaran, di era 1980-an hingga 1990-an, Yana dan kawan-kawan ditempa dengan peralatan seadanya. Untuk menggenjot fisik dan stamina, misalnya, Yana dipaksa menimba air puluhan kali sehari. "Kami diharuskan mengisi tong besar di depan penginapan. Air yang sudah penuh dibuang, lalu kembali diisi. Kedua lengan kami dipenuhi ember," kenang Yana.
Meski dirasa menyakitkan, tempaan fisik dan mental Pandiangan berbuah manis. Trio Srikandi mengejutkan di Seoul 1988. Mereka mengimbangi Korea Selatan, tim tuan rumah yang dikenal sebagai "raja dan ratu" panahan dunia. Puncaknya, di final, Yana dkk mengalahkan tim juara dunia, Amerika Serikat. Perak diraih setelah mereka melampaui skor tim AS, 72-67, dalam babak aduan (tie breaker). Ketenangan mental jadi kunci keberhasilan Trio Srikandi melewati babak itu.
Tanpa iming-iming hadiah atau bonus, Yana dkk membawa pulang medali pertama Indonesia dalam 36 tahun keikutsertaan di Olimpiade sejak Helsinki 1952. Di Seoul, Yana bahkan sempat menembus semifinal nomor tanding individu putri. Ia masuk peringkat ke-9, posisi tertinggi yang pernah diraih pemanah putri Indonesia di Olimpiade dan belum bisa dilewati hingga kini.
"Keberhasilan para srikandi mempersembahkan medali pertama Olimpiade bagi Ibu Pertiwi memberikan kebanggaan khusus bagi seluruh bangsa Indonesia. Inilah era baru Indonesia di Olimpiade," bunyi ulasan harian Kompas, 2 Oktober 1988, menyambut momen bersejarah itu.
Yana, peraih penghargaan atlet terbaik versi tabloid Bola di 1988 dan 1998, salah satu tokoh panahan Indonesia yang merasa sangat sedih dan terpukul ketika Pandiangan meninggal pada 2008. Perempuan yang akan pensiun dari Bank DKI itu kini mencurahkan hidup di olahraga yang pernah mengangkat namanya itu. Sehari-hari, ia kini melatih para atlet recurve nasional Indonesia di Cibubur.
Namun, gaya melatihnya sangat berbeda dengan mantan pelatihnya itu. Di pelatnas, ia menempatkan diri sebagai mentor yang tidak menutup diri untuk mendengar curahan hati anak-anak asuhnya. Ia memperlakukan atlet-atlet panahan seperti Titiek Kusumawardani dan Diananda Choirunisa seolah anak-anak kandungnya sendiri.
Saat latihan pertengahan Maret, misalnya, ia sempat menyisihkan sebungkus buah pir untuk atlet panahan yang tengah berlatih sore hari. Yana juga sangat memperhatikan pola diet para atlet. Ia tidak segan mengoreksi variasi menu dan gizi yang disediakan juru masak di Wisma Soegondo Djojopoespito, tempat tim nasional panahan menginap.
"Zaman telah berubah. Metode latihan (keras) seperti zaman saya dulu tidak lagi bisa dilakukan saat ini. Anak-anak yang masuk pelatnas saat ini sebetulnya dasar kemampuan mereka sudah hebat. Mereka pun sudah punya motivasi masing-masing. Kami, tim pelatih, tinggal memoles mereka. Saya, misalnya, lebih banyak sharing (berbagi informasi) kepada mereka," ujar Yana yang telah mengoleksi 11 medali emas SEA Games.
Meski demikian, Yana mengingatkan, tantangan atlet panahan Indonesia saat ini jauh lebih berat dibandingkan di zamannya. Itu mengingat kekuatan antarnegara, khususnya di Asia Tenggara, tidak jauh berbeda. "Di zaman saya, Indonesia di Asia Tenggara itu sudah seperti Korsel di dunia. Di SEA Games, pesaing kami hanya Malaysia dan Filipina. Kini untuk meraih emas SEA Games butuh perjuangan sangat keras. Negara-negara seperti Vietnam dan Thailand juga terus berkembang," ujarnya.
Pengalaman malang melintangnya di SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade kini digunakan untuk mengasah atlet-atlet recurve Indonesia. Ia bermimpi membawa anak-anak asuhnya berprestasi di Asian Games Jakarta-Palembang 2018 serta Olimpiade Tokyo 2020. "Saya yakin (panahan Indonesia) bisa beprestasi asalkan kita semua punya satu misi. Ini pekerjaan keroyokan (bersama-sama). Kita perlu fokus di tugas masing-masing," katanya mengingatkan.