logo Kompas.id
OlahragaAntara Buku dan Bola Sepak
Iklan

Antara Buku dan Bola Sepak

Oleh
· 4 menit baca

Di dunia sepak bola, pendidikan dan karier profesional ibarat dua kutub yang berseberangan. Keduanya sulit dipadukan. Namun, sekelompok orang Indonesia mencoba untuk mendobrak stereotip itu. Mereka merantau ke negeri orang, bahkan sampai Eropa, demi ijazah ataupun karier sepak bola.Rully Habibie, keponakan mantan Presiden BJ Habibie, tidak terlalu kecewa putranya, Rafid Habibie, gagal masuk skuad timnas U-19 asuhan Indra Sjafri. "Lolos atau tidaknya ia ke timnas bukan hal utama. Hal yang terpenting, ia telah menunaikan kewajiban sebagai warga negara ini, dipanggil jika dibutuhkan negara," ujarnya di Jakarta, pekan lalu.Terlahir di lingkungan keluarga terpandang yang sangat mementingkan pendidikan, Rafid juga punya kewajiban tidak tertulis, yaitu sekolah setinggi mungkin. Diakui Rully, tuntutan yang menjadi kelaziman di keluarga besarnya itu tidaklah mudah diterapkan untuk Rafid, putranya yang sejak kecil sering kedapatan tertidur bersama bola sepak itu.Sejak kecil, Rafid bermimpi menjadi pesepak bola profesional. "Saya pun mengikuti kemauan anak. Ia boleh bermain sepak bola, tetapi pendidikan tetap tidak boleh ditinggal. Itu adalah harga mati. Tanpa ilmu dan visi, sepak bolanya tidak akan ke mana-mana," tutur Rully yang pernah berkarier di sepak bola sebagai CEO PSM Makassar.Untuk itu, sebagai jalan tengah, Rully menyekolahkan Rafid ke Italia, negeri yang kental dengan kultur sepak bola. Di sana, Rafid memburu ijazah SMA di Convitto Asisi, Perugia. Sekolahnya itu kebetulan bekerja sama dengan ISM Perugia, akademi sepak bola yang juga melatih Davide Materazzi, anak mantan bek timnas Italia, Marco Materazzi.Rully pun mengungkapkan alasannya menyekolahkan Rafid jauh hingga ke Italia. "Di Jakarta, jadwal sekolah terlalu padat. Selain itu, jalanan juga macet. Waktu pun habis hanya untuk perjalanan dari sekolahnya ke sekolah sepak bola (SSB). Di sana (Italia), kurikulum pendidikannya tidak terlalu berat. Ia bisa rutin berlatih seusai pulang sekolah. Jarak sekolah dari akademi juga dekat, hanya 30 menit dengan bus," ungkapnya.Rully pun berharap Rafid bisa menjadi "cendekiawan" sepak bola. "Sama seperti ilmuwan, sepak bola juga butuh ilmu fisika dan matematika. Dia jadi tahu bagaimana arah menendang bola yang tepat, kapan mengambil keputusan mengoper, dan sebagainya. Di sisi lain, dengan bekal ilmu tinggi, profesinya bisa lebih luas, misalnya menjadi pelatih," ujar Rully.Di sepak bola internasional, pemain profesional yang berpendidikan tinggi bukanlah hal aneh walaupun masih langka. Giorgio Chiellini, bek Juventus, misalnya, baru saja meraih ijazah strata 2 Jurusan Administrasi Bisnis di Universitas Turin. Juan Mata, gelandang Manchester United, bahkan mengantongi ijazah ganda, yaitu sarjana Ilmu Keolahragaan dan Keuangan, dari Universitas Jose Cela di Madrid, Spanyol. Ada pula Socrates, mantan pemain timnas Brasil era 1970-an hingga 1980-an, yang menyandang gelar dokter dari Faculdade de Medicina de Ribeirao Preto. "Saya tidak tahu kenapa suka sepak bola. Namun, sekolah juga tetap penting. Di sana (Perugia), saya juga belajar bahasa Italia. Siapa tahu itu penting bagi karier saya nantinya," ujar Rafid saat ditemui di Cijantung ketika mengikuti seleksi timnas U-19, beberapa waktu lalu.BeasiswaPemain lainnya, George Brown (18), kelahiran London, Inggris, yang juga mengikuti seleksi timnas U-19, memiliki bakat di sepak bola sekaligus potensi cemerlang di pendidikan formal. Seperti diungkapkan Indah Brown, ibunya, George meraih nilai menonjol di Ilmu Biologi. Pelajar di Brentwood School, Essex, Inggris, itu bahkan mendapatkan tawaran beasiswa dari Universitas Ohio, Amerika Serikat."Nilai Biologinya yang tertinggi kelima se-Inggris untuk anak-anak seusianya. Dua tahun lalu, ia meraih bronze award dari Royal Society of Biology (Perkumpulan Ilmuwan Biologi Inggris). Atas prestasi itu dan bakat sepak bolanya, ia ditawari beasiswa untuk studi di Universitas Ohio," ujar Indah di Jakarta.Perguruan-perguruan tinggi di AS kerap memberikan beasiswa, khususnya bagi atlet berprestasi. Kehadiran mereka diharapkan bisa mengangkat gengsi kampus lewat prestasi olahraga. "Kebetulan, di AS, kan, masih jarang atlet sepak bola. Selain sepak bola, ia (George) juga gemar bermain rugbi. Sebagai orangtua, saya hanya bisa mendukung, terserah dia mau menjadi ilmuwan ataupun atlet," tutur Indah.Rafid dan George membuka paradigma baru di kalangan pesepak bola Indonesia, yaitu pendidikan dan sepak bola ibarat dua sisi mata koin yang tidak terpisahkan. Meskipun tidak mudah, menyatukan buku dan bola sepak dalam satu alur tetap bisa dilakukan. (Yulvianus Harjono)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000