Adu Tendangan Penalti, Sistem ABBA Akan Lebih Adil
KONFEDERASI sepak bola Eropa, UEFA, memang selalu selangkah lebih maju ketimbang wilayah lainnya di bawah lingkungan FIFA.
Kali ini, konfederasi yang diketuai Michel Platini tersebut berencana mereformasi aturan adu tendangan penalti untuk menentukan pemenang. Secara umum, aturan baru yang diadopsi dari cara menghitung tie break dalam olahraga tenis tersebut, menurut rencana, akan menjadi aturan baku dalam turnamen-turnamen resmi di bawah bendera UEFA.
Sistem baru adu tendangan penalti tersebut, menurut laman BBC, sudah diadopsi dalam kejuaraan Eropa U-17 yang dimulai tengah pekan ini di Kroasia.
Langkah yang diambil UEFA ini sebenarnya sudah dipertimbangkan lama, di tengah kontroversi yang selalu datang manakala sebuah laga pada babak gugur harus ditentukan dengan tos-tosan, adu tendangan penalti. Banyak kalangan menilai, sistem ini jauh dari rasa keadilan sebagai sebuah permainan tim karena akhir laga hanya ditentukan oleh seorang eksekutor dan kiper.
Meski masih menimbulkan tanda tanya dari sisi keadilan, UEFA yakin, sistem yang akan berlaku di lingkungan mereka, jauh lebih adil dibandingkan dengan sistem adu penalti yang sekarang berlaku secara global.
Dalam sistem yang berlaku sekarang, wasit akan menentukan tim mana yang akan menjadi eksekutor atau penendang penalti pertama dengan mengundinya menggunakan koin. Sebagai contoh, tim A mendapat giliran pertama, kemudian tim B, kemudian tim A lagi, demikian seterusnya sampai ada pemenang.
Nah, sistem yang baru ini disebut ”ABBA” dengan aturan, setelah tim A mendapat giliran pertama (sesuai undian koin), eksekusi selanjutnya diambil oleh tim B sebanyak dua kali sebelum tim A melakukan eksekusi lagi sebanyak dua kali pula. Demikian seterusnya sehingga aturan gilirannya menjadi ABBA... ABBA… ABBA, dan seterusnya sampai ada pemenang. Sementara sistem yang lama adalah ABAB... ABAB… ABAB… dan seterusnya.
Keputusan yang dikeluarkan UEFA ini tak lepas dari peran dari IFAB, International Football Association Board, badan yang melahirkan aturan-aturan yang dipakai dalam sepak bola. Dalam penelitian IFAB terbukti, tim yang mengambil penalti lebih dahulu mendapatkan situasi menguntungkan yang tidak fair. Fakta menunjukan, sejak adu penalti diberlakukan, 60 persen tim yang mengambil penalti lebih dahulu, keluar sebagai pemenang.
”Hipotesisnya, pemain yang mengambil penalti pada giliran kedua mempunyai tekanan mental jauh lebih besar,” ujar UEFA.
Fakta yang diberikan UEFA memang tidak terbantahkan. Sejak diperkenalkan pada Piala Dunia 1978 dan baru terjadi pertama pada Piala Dunia 1982, tim-tim yang menang undian koin dan menjadi penendang pertama memang lebih punya kans menang lebih besar.
Di kancah Liga Champions Eropa, misalnya, Chelsea mengalami kesialan ini. Berhadapan dengan sesama tim Inggris, Manchester United, dalam final 2009, ”The Blues” tinggal membutuhkan satu gol untuk memastikan gelar pertamanya di ajang paling klub paling bergengsi ini. Pemain penentunya adalah John Terry pada posisi Chelsea 4-4 setelah sebelumnya bintang MU, Cristiano Ronaldo, gagal dalam eksekusi. Jika eksekusi Terry berhasil, Chelsea akan menjadi juara. Dengan tekanan mental yang sedemikian berat, Terry terpeleset pada detik terakhir menjelang bola ditendang dan gagal. Adu tendangan penalti kemudian dilanjutkan dengan sistem sudden death. Pemain sayap MU, Ryan Giggs, sukses, sebelum Nicolas Anelka gagal dan trofi ”Si Kuping Besar” diraih pasukan ”Setan Merah”. Anelka sekali lagi membuktikan, tekanan mental jauh lebih diterimanya ketimbang Giggs.
Pada ajang Piala Dunia, adu penalti pertama kali dilakukan pada tahun 1982 di Spanyol saat Jerman Barat menundukkan Perancis, 5-4 pada laga semifinal. Hasil ini menimbulkan debat yang tak pernah usai sampai sekarang. Legenda Italia, Roberto Baggio, yang gagal melakukan eksekusi pada final PD 1994 di AS melawan Brasil mengaku hidupnya terus dihantui kegagalan itu sampai sekarang. ”Saya tidak pernah bisa menerima kekalahan itu,” ujarnya.
Pelatih legendaris Inggris, Terry Venables, mengatakan, adu tendangan penalti memang sebuah fase yang kelam dalam sejarah panjang sepak bola modern. Terlalu banyak hal yang tidak fair dalam sistem yang berlaku global sekarang. ”Bahkan, orang setua saya, mampu menaklukkan kiper kelas dunia dalam tendangan penalti,” ujar Venables.
Karena itu, langkah yang diambil UEFA ini memang masih jauh dari sempurna dan tetap akan menimbulkan perdebatan. Namun, bagaimanapun, sistem ini, sistem ABBA, diyakini akan jauh lebih adil. Dunia sepak bola terus bergerak, juga peraturan permainan dan pertandingannya.