Saatnya Berdiri dan Tegas Katakan “Tidak!” pada Rasisme
Oleh
Anton Sanjoyo
·4 menit baca
KITA memang hidup di dunia yang tidak steril, namun “penyakit masyarakat” rasisme tidak pernah boleh dibiarkan hidup subur, juga di dunia olahraga yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan, kejujuran dan sportivitas. Sudah saatnya kita berdiri, dan berkata tegas kepada pelaku rasisme seperti yang ditunjukkan oleh seorang ayah bernama Calvin Hennick, di Stadion Bisbol Fenway Park, Boston, Amerika Serikat
Hennick, penduduk Boston, malam itu datang ke Fenway Park untuk mendukung tim bisbol kebanggaan kota itu, Boston Red Sox. Dia datang bersama anak lelakinya yang baru berulang tahun keenam. Menonton langsung laga Red Sox adalah hadiah ulang tahun bagi sang anak yang baru pertama kali datang ke Fenway Park. Beberapa saat setelah lagu kebangsaan “The Star Spangled Banner” dikumandangkan oleh seorang penyanyi kulit hitam, Hennick mendengar seseorang mengeluarkan kata-kata berbau kebencian dan rasisme kepada sang penyanyi. Hennick—ayah berkulit putih yang anaknya berkulit campuran—segera menghampiri penjaga keamanan dan melaporkan si pelaku yang kemudian dilarang kembali ke Fenway Park.
Tindakan heroik Hennick hanya berselang 24 jam setelah pemain bisbol Baltimore Orioles, Adam Jones mendapat teriakan hinaan berbau rasis, juga oleh seorang penonton di Fenway Park. “Saya berada di sini untuk tegas dan jelas menyatakan, bahwa perilaku, ucapan atau perlakukan yang Anda dengar, Anda baca (tentang rasisme), tidak dapat diterima,”ujar Presiden Red Sox Sam Kennedy. “Itu hanya dilakukan oleh manusia berjiwa kerdil dan intoleran,” lanjut Kennedy.
Polisi Boston kemudian mengkonfirmasi, pria pelaku aksi rasisme di Fenway Park tersebut tengah diperiksa oleh unit Hak-hak Sipil dan menegaskan tindakan hukum selanjutnya akan diproses.
Beberapa saat sebelum hinaan terlontar kepada Jones dan tindakan heroik Hennick, di Cagliari, Italia, pemain sepakbola Pescara asal Ghana, Sulley Muntari, juga dihina dengan teriakan-teriakan rasisme oleh pendukung tuan rumah. Alih-alih dilindungi wasit, Muntari malah diganjar kartu merah oleh wasit Deniele Minelli karena memprotes tindakan penonton dengan meninggalkan lapangan. Lebih celaka, aksi Muntari ini ditambah lagi dengan hukuman larangan satu pertandingan oleh komisi disiplin Federasi Sepakbola Italia.
Tindakan wasit Minelli dan federasi Italia memicu amarah Asosiasi Pemain Profesional FIFPro dan lembaga anti-diskriminasi Fare Network. Bersama FIFPro, Muntari mengajukan protes resmi dan berhasil membatalkan hukuman tambahan satu pertandingan. Namun Federasi Sepakbola Italia tetap tidak memberikan hukuman kepada Cagliari. Alasannya, hukuman tindakan rasis hanya bisa dijatuhkan jika pelakunya 10 orang atau lebih. “Hanya sebuah lembaga tanpa perasaan yang mengabaikan gambaran utuh apa yang terjadi di sini,”ujar Direktur Eksekutif Fare Network Piara Powar kepada Associated Press. “Ini preseden yang sangat berbahaya,” lanjut Powar.
Yang agak mengherankan adalah respons FIFA, otoritas tertinggi sepakbola dunia. Badan yang bermarkas di Zurich itu memang memberikan sokongan sepenuhnya pada Muntari, namun tidak memberikan sikap jelas terhadap Cagliari. Padahal perang terhadap rasisme juga merupakan kampanye besar FIFA sejak satu dekade terakhir. FIFA hanya memberikan komentar, “Segala bentuk rasisme, di dalam maupun di luar lapangan tak dapat diterima dan tak punya tempat di sepakbola.”
Masih maraknya aksi rasisme di persepakbolaan Eropa memang menimbulkan kegelisahan tersendiri
Insiden berbau rasial memang bukan hal baru di persepakbolaan Italia dalam beberapa waktu terakhir. Klub Lazio dan Internazionale Milan baru-baru ini juga dinyatakan bersalah oleh komisi disiplin federasi sepak bola Italia. Mereka mendapat hukuman sebagian tribun penonton dikosongkan. Namun hukuman ini hanya berlaku jika terjadi sekali lagi aksi rasisme oleh pendukung mereka. Bagi Powar, --yang juga menjabat penasihat Konfederasi Sepak Bola Eropa, UEFA--tindakan federasi Italia ini sangat absurd. “Ini bukan melulu problem satu atau dua negara, tapi seluruh Eropa,” ujar Powar.
Masih maraknya aksi rasisme di persepakbolaan Eropa memang menimbulkan kegelisahan tersendiri. Hukuman denda terhadap klub yang diberlakukan sebelum 2013, rupanya tidak mengurangi tindakan barbar para pendukung, terutama mereka yang menyebut dirinya pendukung garis keras, ultra, dll. Beruntung tindakan protes yang dilakukan pemain AC Milan Kevin-Prince Boateng, beberapa musim lalu, yang mendapat dukungan seluruh pemain dan manajemen klub menggerakan para pemangku kepentingan untuk menerapkan hukuman yang lebih keras terhadap kasus rasisme.
Meski demikian, dengan insiden yang selalu berulang di Italia, juga Perancis, atau di Inggris, upaya memerangi aksi rasisme tidak bisa hanya dilakukan pemain, klub, federasi bahkan FIFA. Pencinta sepak bola harus mulai melakukan apa yang dilakukan Hennick di Fenway Park, tegas menolak dan berindak melawan rasisme.
Hennick menolak untuk menjadi mayoritas diam (silent majority) yang selama ini membiarkan tindakan-tindakan rasis mencemari olahraga. Dalam benaknya, diam berarti membenarkan hal buruk terjadi dalam masyarakat.
Hennick yang beristrikan perempuan keturunan Haiti mengatakan, pengalamannya di Fenway Park tidak membuatnya kecewa. Dia juga tetap mencintai Boston sebagai kota yang ramah. “Saya dan istri bahagia tinggal di sini. Saya tidak merasa tidak nyaman berjalan di pusat kota bersama keluarga dengan ras campuran,” ujarnya.
“Anak saya tidak tahu apa yang terjadi, dan dia menikmati malam itu. Dia ingin sekali kembali ke Fenway. Semua tim olahraga harus melakukan segalanya yang mereka mampu untuk mengarahkan perilaku pendukungnya,”lanjut Hennick yang menurut Sam Kennedy, Presiden Red Sox, telah memberi energi untuk memerangi rasisme secara lebih total.