Bagaimana Mungkin Aku Tak Mencintaimu?
Dalam dunia bola, sejarah seakan hanya berkenaan dengan kemenangan. Maka, siapa yang hendak mencatat sejarah, dia harus menulis ulang kekalahannya menjadi kemenangan. Inilah yang mau tak mau harus dilakukan Juventus dan Real Madrid di Cardiff, Wales, Minggu (4/6) dini hari nanti.
Sejak Piala Champions diubah menjadi Liga Champions tahun 1992/1993, sejarah seakan mengutuk, tidak ada klub yang bisa menjadi juara dua kali berturut-turut.
Real Madrid masuk ke final enam kali dan menjadi juara empat kali. Namun, mereka tak pernah juara dua kali berturut-turut. Maka, dini hari nanti mereka harus mengalahkan Juventus agar bisa menjadi klub pertama yang mematahkan kutukan tersebut.
Sementara Juventus empat kali masuk final dan hanya sekali juara pada 1996. Tahun 1998, Juve sudah di ambang juara. Namun, di final mereka ditekuk Real, 0-1. Inilah saatnya "Si Nyonya Besar" menebus kekalahan itu setelah hampir 20 tahun berpuasa gelar Liga Champions.
Di Cardiff nanti, pertandingan akan menjadi laga "veteran-veteran" yang kaya dengan asam garam sepak bola. Mungkinkah Cristiano Ronaldo (32) dan Sergio Ramos (31) menembus pertahanan gigih Leonardo Bonucci (30), Giorgio Chiellini (32), Andrea Barzagli (36), dan kapten tua Gianluigi Buffon (39)?
Namun, janganlah dikira veteran Italia itu hanya pandai bertahan. Di semifinal Liga Champions 2015, Real mengira Juve datang ke Santiago Bernabeu dengan catenaccio-nya. Dugaan mereka meleset, Juve agresif menyerang, dan bermain imbang, 1-1, serta menyingkirkan Real.
Menurut pelatih legendaris Italia, Marcello Lippi, Massimiliano Allegri berhasil memperbaiki taktik Juventus. Allegri tahu kesalahan Juve dan bisa mengatasi kelemahannya. Di lini pertahanan, ia menuntut pemainnya keras berdisiplin. Sementara untuk menyerang, dia membiarkan pemainnya bebas berkoordinasi dalam spontanitas.
Allegri juga menekankan agar pemainnya percaya dan berkonsentrasi pada kekuatan dan kelebihannya sendiri. "Kami tidak ingin dibuat gila karena harus terus-menerus memperhatikan dan mempelajari kekuatan lawan," katanya.
Oleh karena itu, ia juga tidak menugasi pemainnya khusus untuk menempel pemain lawan yang berbahaya. Taktik demikian malah akan memperlemah agresivitas tim dalam menyerang. "Siapa membuat kurungan untuk lawan, dia sendiri tidak akan bisa bebas bergerak," kata Allegri.
Oposan sekandung
Final di Cardiff juga menarik karena duel "pasangan oposan sekandung". Pertama, Toni Kroos dari Real lawan Sami Khedira dari Juve. Dalam kesebelasan Jerman, keduanya adalah pengatur strategi lapangan tengah.
Sekarang mereka harus membuktikan siapa yang lebih unggul. Kroos makin matang dan kerasan dalam irama sepak bola Spanyol, sedangkan Khedira makin menunjukkan kelasnya di Italia.
"Saya puas mempunyai Sami. Ia berwawasan, dapat membaca, dan mendinamisasi permainan. Ia sedikit sekali membuat kesalahan dan selalu bisa menempatkan diri di posisi yang tepat," puji Allegri.
Pasangan oposan kedua adalah Dani Alves dari Juve dan Marcello dari Real. Keduanya bek jagoan timnas Brasil. Namun, sebagai bek, keduanya tak puas jika hanya bertahan. Mereka haus untuk mengobrak-abrik pertahanan lawan. Zinedine Zidane memuji Marcello sebagai pemain yang berkepribadian dan bisa menularkan semangat menyerang.
Kata mantan Pelatih Real Jorge Valdano, "Marcello bermain alami dan gembira. Lapangan tengah seperti rumahnya sendiri. Ke depan, ia selalu bisa memberikan solusi. Ia adalah full back seperti Roberto Carlos yang keras \'membajak\' dari sayap. Namun, lebih dari sekadar membajak, Marcello bisa menaburkan bunga-bunga di lini depan."
Sama halnya dengan Dani Alves. Kata Bonucci, Alves adalah pemain dari luar bumi. Gazzetta dello Sport menghitung, Alves sudah memainkan 30 pertandingan final, dan 25 kali ia menang. Tak heran Buffon pernah berkata, "Saya minta kepada Alves untuk membantu kami, laki-laki tua ini, meraih impian kami. Ia tahu bagaimana caranya menang."
Dan, bagi Alves, untuk menang, tidak ada jalan lain kecuali membuat skor. Katanya, janganlah berpendapat, bila kamu bertahan, maka kamu tidak menyerang, dan bila kamu menyerang, maka kamu tidak bertahan.
"Untuk apa sepak bola? Untuk menang. Dan, untuk menang, kamu harus membuat skor. Jika kamu bertahan dengan baik tapi tidak membuat skor, itu tiada nilainya," kata Alves.
Alves sama dengan Marcello. Keduanya full backs yang agresif menyerang. Namun, di Cardiff, tidak mungkin kesamaan itu dipertahankan. Skor kemenanganlah yang akan membedakan, siapa yang lebih hebat.
Nyanyian cinta
Final Liga Champions nanti juga mendebarkan bagi Allegri ataupun Zidane. Pada awalnya, tifosi Juve tak menyukai dan meragukan Allegri. Mereka mengejeknya sebagai aziendalista, semacam karyawan perusahaan. Memang dibandingkan Antonio Conte yang digantikannya, Allegri kelihatan terlalu kalem.
Namun, sekarang fans Juve mengakui kehebatannya. Dan, malam ini Allegri bertekad membadarkan ramalan skeptis Conte yang bilang: berdasarkan keterbelakangan strukturalnya, nyaris mustahil klub-klub Italia bisa merebut piala Liga Champions.
Jangan-jangan malam ini juga malam keberuntungan bagi Zidane. Sebagai pemain Juve, dulu dua kali berturut-turut Zidane masuk ke final Liga Champions. Namun, dalam keduanya ia gagal, 1997 kalah dari Borussia Dortmund dan 1998 ditekuk Real.
Zidane ingin menebus dua kekalahan itu dengan menjadi pelatih pertama yang membawa kesebelasannya juara Liga Champions dua kali berturut-turut.
Cómo no te voy a querer? Bagaimana mungkin kami tak mencintaimu? Itulah nyanyian fans Real saat Zidane dan anak-anak asuhnya menjadi juara Liga Spanyol tahun ini. Nyanyian cinta itu pula yang akan menggelorakan hati mereka di Cardiff nanti.