Kondisi Ekonomi Jadi Pertimbangan Pemberian Sanksi
Oleh
Nino Citra
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kondisi perekonomian atlet menjadi pertimbangan putusan sanksi untuk kasus doping pada PON dan Peparnas Jawa Barat 2016. Menurut dewan, hal itu dijadikan pertimbangan karena umumnya atlet menggantungkan hidup hanya dari olahraga.
Sidang Dewan Banding Anti Doping Nasional diadakan di Lantai 3 Gedung Kemenpora, Jakarta Pusat, pada Rabu (2/8). Sidang itu dihadiri oleh Ngatino, Amir Karyatin, Arie Sutopo, dan Supriyadi dari Dewan Banding Anti Doping Nasional, serta Hariyono dan Rizky Mediantoro dari Dewan Disiplin Anti Doping.
Sidang itu membahas tentang banding dari para atlet yang merasa tidak sengaja mengonsumsi doping, namun tetap mendapat hukuman. Pada pemeriksaan yang dilakukan oleh Dewan Disiplin Anti Doping, Februari lalu, banyak atlet tidak mengetahui bahwa suplemen atau obat yang dikonsumsi mengandung doping, salah satunya adalah atlet binaraga, I Ketut Gede Arnawa (Kompas, 18/2).
Dari 13 atlet yang terindikasi doping, terdapat delapan atlet yang mengajukan banding. Atlet-atlet yang mengajukan banding adalah Jendri Turangan, I Ketut Gede Arnawa, Roni Romero, Kurniawansyah, Zainal, Mualipi, Mheni, Iman Setiaman, dan Agus Waluyo.
Rizky Mediantoro, anggota Dewan Disiplin Anti Doping, mengatakan, pihaknya juga melihat kondisi perekonomian dari para atlet dalam mengajukan sanksi. “Sebagian besar atlet ini menggantungkan hidupnya lewat olahraga. Kami sempat memikirkan juga bagaimana nasib atlet nantinya, jika tidak boleh bertanding dalam waktu lama,” katanya.
Akan tetapi, pihaknya ingin tegas dalam kasus doping ini. Jika memang ada unsur kesengajaan dalam menggunakan doping, atlet akan diberi hukuman terberat, yaitu larangan bertanding selama empat tahun. Tujuannya adalah memberikan efek jera bagi atlet yang menggunakan doping.
“Kalau bisa kami cari hukuman yang paling bijak untuk kasus ini. Atlet-atlet daerah itu kebanyakan tingkat ekonominya pas-pas-an,” kata Ngatino, Ketua Dewan Banding Anti Doping Nasional, seusai sidang. “Terlebih lagi buat atlet-atlet yang tidak tahu bahwa mereka mengonsumsi doping,” tambahnya.
Direktur Pelayanan Media Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima), Arie Sutopo, mengatakan, ketidaktahuan atlet-atlet itu disebabkan oleh kurangnya pemahaman dokter-dokter kontingen daerah mengenai zat doping. Sebab, dokter-dokter kontingen itu bukan dokter spesialis kedokteran olahraga, melainkan hanya dokter pemerintah daerah.“Hanya ada sekitar 60 dokter spesialis kedokteran olahraga. Kira-kira, 75 persennya ada di DKI Jakarta,” ujarnya.