logo Kompas.id
OlahragaTangis Yana dan Dominasi...
Iklan

Tangis Yana dan Dominasi Indonesia

Oleh
· 2 menit baca

Cabang panahan Indonesia pernah sangat disegani, terutama di kawasan Asia Tenggara, pada era 1980-an hingga awal 1990-an. Indonesia sangat perkasa, bahkan nyaris tidak menyisakan medali untuk pesaing-pesaing lain pada cabang panahan SEA Games pada masa itu. Dominasi itu sampai membuat negara lain iri dan "mengemis" medali.Pada 5 Desember 1991, Kompas memberitakan kisah menggugah pada SEA Games XVI di Manila, Filipina. Nurfitriyana Saiman, yang dikenal sebagai salah satu "Srikandi" panahan Indonesia, menangis tersedu-sedu seusai pertandingan recurve individu putri di Lapangan Polo Club, Manila. Air matanya itu bukanlah tangis haru, seperti ketika ia dan Trio Srikandi panahan merebut medali perak di Olimpiade Seoul 1988.Tangis Nurfitriyana di Manila adalah ekspresi kegeraman. Ketika itu, ia seharusnya menerima medali perunggu seusai menyisihkan musuh bebuyutannya asal Filipina, Jennifer Chan. Yana, sapaan Nurfitriyana, melengkapi sapu bersih Indonesia pada nomor perseorangan putri setelah dua rekannya, Purnama Pandiangan dan Rusena Gelanteh, mengamankan medali emas dan perak.Naasnya, perjuangan Yana tidak diakui. Medali perunggu miliknya "dirampas" dan dilimpahkan panitia ke Jennifer. Nasib serupa dialami Hariyono Mustam yang menempati podium ketiga pada nomor perseorangan putra. Lagi-lagi medali justru diserahkan ke atlet tuan rumah, kali ini Michael Facundo, yang menempati peringkat kelima. Adapun pemanah putra Indonesia lainnya, Syafruddin Mawi dan Hendra Setijawan, merebut medali emas dan perak.Terkait pencabutan dua medali perunggu itu, penyelenggara lomba beralasan, tiga medali (emas, perak dan perunggu) pada satu nomor lomba tidak bisa diborong oleh satu negara kontestan. Haposan Panggabean, Ketua Umum Persatuan Panahan Indonesia (Perpani), saat itu, ikut berang. Ia menilai, alasan itu sangat konyol. Sebagai catatan, pada edisi-edisi SEA Games sebelumnya, seperti di Malaysia 1989, sapu bersih itu diperbolehkan. Alasan itu diduga "dibuat-buat" agar tuan rumah, salah satu kekuatan besar panahan di Asia Tenggara saat itu, tidak kehilangan muka. "Kalian kan sudah tahu dan siap kalau kita ini tengah ada di kandang macan (Filipina). Jangan pikirkan medali, yang penting prestasi kita meningkat," ujar Haposan.Terlepas dari tragedi dua medali perunggu itu, tim panahan Indonesia berdiri tegak di Filipina. Mereka menyapu bersih seluruh atau empat medali emas yang diperebutkan, berikut dua perak. Sapu bersih medali emas itu juga terjadi di Malaysia 1989 dan Singapura 1993. Saat itu, Malaysia belum menjadi "raksasa" panahan Asia Tenggara seperti saat ini. (JON)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000