Sloane Stephens Si Pejuang
Sloane Stephens menggambarkan dirinya sebagai pejuang. Keberanian dan kesabaran telah mengantarkannya ke podium juara Grand Slam Amerika Serikat Terbuka meski delapan bulan sebelumnya dia tak bisa berjalan karena menjalani operasi telapak kaki kiri.
Dalam final tunggal putri yang menjadi penampilan antiklimaks lawan yang juga sahabatnya, Madison Keys, Stephens menang, 6-3, 6-0. Trofi yang didapatnya dari final sesama petenis AS di Stadion Arthur Ashe, Flushing Meadows, New York, Sabtu (9/9), itu menjadi trofi juara Grand Slam pertama bagi Stephens.
Gelar ini didapat setelah Stephens menjalani operasi kaki pada 23 Januari. Cedera itu membuatnya absen di Australia Terbuka. Stephens tak bisa berjalan karena kakinya tak boleh menerima beban.
Kurang dari empat bulan kemudian, dikutip dari New York Times, panggilan telepon diterima Kamau Murray, pelatih Stephens. ”Saya siap berlatih,” ujar Stephens yang membuat pelatihnya terkejut. ”Oke, kamu telepon saya saat kamu sudah bisa berjalan,” jawab Murray.
Awal Mei, mereka mewujudkan pembicaraan singkat di telepon itu. Di lapangan tenis University of California, Los Angeles (UCLA), mereka berlatih. Sambil duduk di atas meja dari kayu, Stephens memukul bola yang dilemparkan Murray.
Murray kemudian memintanya duduk di kursi kantor tanpa sandaran punggung yang beroda agar Stephens bisa bergerak. ”Saya adalah pejuang yang punya banyak keberanian. Saya akan memberikan segalanya di lapangan, apa pun yang terjadi,” kata Stephens, mengenang momen itu.
Meski berusaha berpikir positif, petenis berusia 24 tahun itu tak pernah berambisi menjuarai AS Terbuka 2017. Dia juga tak pernah menduga bisa masuk dalam peringkat 100 besar dunia setelah terlempar ke posisi ke-957 pada Juli.
Namun, berkat gelar juara di Flushing Meadows, Stephens akan berada di peringkat ke-17 pada Senin, naik dari urutan ke-83. Hadiah 4,5 juta dollar AS (Rp 59,4 miliar), yang dikumpulkan selama tujuh tahun dari arena tenis profesional, bertambah Rp 48,8 miliar setelah memenangi tujuh pertandingan dalam dua pekan.
”Wow, ini uang yang banyak,” kata Stephens saat menerima cek pada acara pemberian penghargaan. Dalam acara yang diwarnai canda itu, Keys mencoba merebut cek yang akan diterima Stephens.
”Mungkin setelah ini saya akan langsung pensiun. Tidak ada momen yang lebih baik selain ini setelah cedera,” kata Stephens kepada Maddie, panggilannya untuk Keys, saat duduk di samping sahabatnya itu sambil menunggu acara pemberian penghargaan.
Sosok ibu
Persahabatan mereka menjadi sorotan ketika keduanya memastikan debut di final Grand Slam. Stephen dan Keys berteman sejak berkompetisi di masa yunior. Mereka sering meluangkan waktu bersama ketika mengikuti tur. ”Seandainya pertandingan tadi bisa berakhir imbang,” kata Stephens pada Keys.
Maka, setelah Stephens mendapat poin terakhir saat bola dari forehand Keys membentur net, mereka berpelukan lama di net. Itu menjadi salah satu momen mengharukan selain tangis Stephens di pundak ibunya di boks tim.
Sybil Smith, ibunya, adalah atlet renang di Universitas Boston, sementara ayahnya, John Stephens, pernah membela New England Patriot, klub Liga Sepak Bola Amerika (NFL). Mereka berpisah ketika sang putri masih kecil. Ayahnya meninggal pada September 2009 karena kecelakaan mobil.
Ibu pun menjadi sosok paling berpengaruh dalam karier petenis yang mengidolakan Kim Cljisters (Belgia) itu. ”Ibu yang mengenalkan saya pada tenis. Dia selalu mendukung saya. Sebelumnya, dia tak pernah datang ke turnamen. Jadi, ini menjadi dua pekan yang menyenangkan bagi kami,” tutur Stephens dengan nada suara bergetar, menahan tangis.
Mengenal tenis pada usia sembilan tahun, Stephens pernah dilatih beberapa nama besar, termasuk Paul Annacone (pernah melatih Pete Sampras) dan Thomas Hogstedt (Maria Sharapova dan Li Na) hingga dilatih Murray.
Dia membuat kejutan ketika lolos ke semifinal Australia Terbuka 2013 dengan mengalahkan Serena Williams di perempat final. Setelah itu, Stephens bergulat mempertahankan konsistensi permainan yang dinilai banyak analis terlalu banyak bertahan.
Namun, seperti dikatakan mantan petenis nomor satu dunia, Chris Evert, setelah kembali berkompetisi, Stephens bisa menyeimbangkan permainan bertahan dan menyerang.
Mantan petenis lainnya, Chanda Rubin, yang menjadi komentator untuk Fox Sports, menilai, Stephens unggul karena bisa mengatasi tekanan. Apalagi, menjalani final Grand Slam tidak hanya bergantung pada fisik dan teknik, tetapi juga mental. (AFP/REUTERS/IYA)