Sang Panglima Tertinggi Jose Mourinho
Tidak ada yang terlalu istimewa dalam laga Liga Champions hari Selasa lalu di Old Trafford. Manchester United (MU) mencatat kemenangan 2-0 atas wakil Portugal, Benfica, dalam pertandingan yang meskipun klasik, tetapi kualitasnya biasa-biasa saja. Kemenangan ini mengantarkan ”Setan Merah” hanya satu poin dari kepastian lolos dari babak grup, setelah juga mencatat hasil sempurna pada tiga laga.
Lolos ke Liga Champions musim ini dengan status juara Liga Europa, pasukan Jose Mourinho memang diprediksi melenggang dengan mudah di kancah antarklub paling bergengsi tersebut. Bergabung dengan tim-tim ”kelas dua” Eropa seperti Benfica, FC Basel (Swiss), dan CSKA Moskwa (Rusia), MU memang tidak menemui kesulitan berarti di Grup A dengan mencatat empat kemenangan, membobol gawang lawan sebanyak 10 kali dan gawang David de Gea hanya bobol satu kali.
Meski hanya butuh satu poin tambahan, Mourinho dengan gaya congkaknya yang khas mengatakan, MU akan menjalani dua laga tersisa dengan target menang. ”Akan sangat menyenangkan,” ujar Mou dengan senyum kecil di sudut bibirnya.
Laga di Old Trafford melawan Benfica memang tidak terlalu menarik untuk didiskusikan dengan Mou, kecuali insiden kecil saat striker Romelu Lukaku batal mengambil eksekusi penalti di pengujung babak kedua. Saat Lukaku sudah bersiap meletakkan bola di titik putih, Mou melakukan intervensi dengan menunjuk Daley Blind melakukan eksekusi.
Intervensi dilakukan Mourinho setelah Lukaku dan Ander Herrera berdebat kecil karena sama-sama ingin mengeksekusi penalti. ”Tidak ada drama dalam insiden itu,” kata Mourinho. ”Pemain menghormati keputusan saya. Titik!” tambahnya.
Insiden kecil tersebut menjadi pembahasan jurnalis karena sehari sebelumnya Mourinho dengan nada tinggi mengatakan bahwa Lukaku adalah pemain ”yang tidak tersentuh”, the untouchable dalam timnya. Mou menekankan hal tersebut merespons kritik kelompok penggemar dan para pengamat yang mengecam penampilan pemain yang dibeli dengan harga 90 juta pound (Rp 1,6 triliun) tersebut setelah laga melawan Tottenham Hotspur yang berakhir dengan kemenangan tipis 1-0, Sabtu pekan lalu. Kecaman datang karena pemain berpostur tinggi dan besar tersebut belum mencetak gol lagi sejak September.
Menurut pelatih asal Portugal yang mengklaim dirinya ”The Special One” itu, penggemar telah membayar tiket dan bebas berkomentar tentang apa pun. ”Namun, tugas saya, saat saya memang merasa mereka layak mendapatkannya, adalah melindungi pemain,” kata Mou tentang Lukaku yang, menurut dia, tetap memberikan kontribusi besar bagi tim meski tidak mencetak gol. ”Coba tanyakan pada Vertongen atau Alderweireld, betapa repotnya mereka menjaga Lukaku,” tambah Mourinho merujuk dua bek sentral Spurs, Jan Vertongen dan Toby Alderweireld.
Pernyataan Mou dalam wawancara setelah laga melawan Spurs itulah yang kemudian menjadi paradoksal setelah dia justru melarang Lukaku melakukan eksekusi penalti pada laga melawan Benfica. Padahal, itulah kesempatan hebat bagi Lukaku kembali menjaringkan bola setelah paceklik pada enam laga sebelumnya.
Namun, sebagai pelatih kelas dunia, Mou selalu punya jawaban yang sangat logis. Jawaban itu pula yang sekali lagi memberikan gambaran, mengapa dia memang pantas menyandang gelar pelatih istimewa dengan naluri penerapan taktik yang tidak banyak dipunyai pelatih lain.
Jawaban itu juga memberi gambaran mengapa dia begitu disegani para pemainnya karena di sana tertera jelas otoritasnya sebagai panglima tertinggi di dalam tim.
Dalam laga itu (melawan Benfica), eksekutor utama adalah Anthony Martial. ”Martial tidak ada di lapangan (sudah ditarik keluar), Lukaku ingin mengambil eksekusi demikian pula dengan Herrera. Saya lalu mengambil keputusan, Daley yang harus mengambil. Para pemain menuruti perintah saya. Cerita berakhir!” ujar Mourinho yang juga menjelaskan, keputusan tersebut berdasarkan hasil pengamatan dan penilaiannya yang mendalam dalam rangkaian latihan menjelang laga melawan Benfica. ”Daley adalah eksekutor berikutnya setelah Martial,” ujar Mourinho.
Sikap tegas dan jelas Mourinho memang menegaskan otoritas tertingginya di dalam sebuah kelompok yang dipenuhi bintang dengan ego masing-masing yang sangat besar. Sikap pemimpin yang ”otoriter” itu juga yang ditunjukkan Sir Alex Ferguson, legenda MU yang telah membawa MU menjadi klub paling sukses di Inggris Raya pada level kompetisi domestik.
Mou bukan sekadar panglima, dia juga punya insting yang sangat kuat terhadap kinerja pemain. Dalam laga melawan Spurs, dua tombak MU, Lukaku dan Marcus Rashford, tak kunjung mampu mencetak gol ke gawang Hugo Lloris meskipun ”Setan Merah” bermain jauh lebih memikat dan ofensif ketimbang saat bertemu Liverpool pada dua pekan sebelumnya atau saat tumbang di tangan Huddersfield beberapa hari sebelumnya.
Lukaku mulai dicemooh fans fanatik ”Setan Merah”, tetapi Mou tidak menariknya keluar. Dia justru mengganti Rashford yang lebih disukai penonton dengan Martial. Sepuluh menit kemudian, Martial mencetak gol kemenangan. Gol kemenangan penting atas pesaing langsung (direct competitor) dalam perebutan gelar juara ini ini juga berkat sumbangan sentuhan kecil Lukaku yang memberi asis kepada Martial.
Tentu ini bukan sebuah kebetulan jika MU membuat gol-gol penentu kemenangan pada menit-menit terakhir. Statistik mencatat, gol Martial ini adalah yang ke-11 dicetak MU pada menit ke-80 ke atas di Liga Primer musim ini. Bukan juga kebetulan Martial beranjak dari bangku cadangan dan mencetak gol karena ini adalah yang keempat kalinya sepanjang musim.
Selepas laga, Mourinho memberi sinyal agar para pengecamnya berhenti mengkritik. Di depan kamera, dengan bahasa tubuhnya yang khas, Mourinho jelas meminta para fans untuk ”lebih santai dan rileks” dalam menilai taktik dan strateginya. Ditanya wartawan tentang momen itu, pelatih berusia 54 tahun itu mengatakan, ”Yang mana? Saya lupa!”
Kuatnya insting Mourinho diingat betul oleh Vitor Baia, kiper Porto saat Mourinho menjadi nakhoda klub tersebut pada awal 2000-an (2002-2004). ”Saya ingat sangat spesifik kejadian melawan Benfica ketika dia (Mou), selama satu pekan penuh menjelang laga, mempersiapkan apa yang harus kami lakukan setelah mencetak gol…. Dia mengatakan kepada kami bahwa (Pelatih Benfica Jose Antonio) Camacho akan mengganti sejumlah pemain secara spesifik untuk mengubah taktik. Dan itu benar-benar terjadi,” ujar Baia seperti ditulis kolumnis The Guardian, Jonathan Wilson, akhir Oktober lalu.
Menurut Baia, dengan instruksi yang sangat jelas dari Mourinho, timnya tahu persis apa yang harus dilakukan saat Camacho melakukan penggantian pemain dan mengubah taktiknya. ”Karena kami telah mempersiapkan diri untuk itu,” papar Baia.
Masih di laga yang sama, Mourinho juga mempersiapkan timnya untuk bermain dengan 10 orang karena, menurut keyakinannya, wasit tidak akan tahan terhadap tekanan dan akan memberikan paling tidak sebuah kartu merah untuk Porto. Dan itu terjadi….
”Namun, kami telah paham harus melakukan apa dan akhirnya kami mendapatkan kemenangan tipis. Mourinho seolah punya kemampuan untuk melihat masa depan,” ujar Baia.
Mourinho memang ahli strategi dan visioner jika tidak ingin menyebutnya mampu membaca masa depan. Namun, dia juga pelatih dengan gabungan oportunis dan pragmatis.
Dia bisa menerapkan taktik bertahan total bahkan anti-football dengan ”memarkir bus” di sekitar kotak penalti agar timnya tidak kebobolan. Melawan gaya ekstra ofensif ”Gegenpressing” Liverpool di Anfield adalah salah satu contohnya, tetapi dia memang tipikal seorang yang sangat realistis.
Penggemar atau pengamat boleh suka atau benci pada Mourinho, tetapi visi, taktik, dan strateginya, apa pun itu, sejauh ini berjalan sukses. Dia mencatat 100 persen kemenangan di laga kandang Liga Inggris dan gawang De Gea belum pernah bobol di Old Trafford musim ini.