Rahasia Panjangnya Usia Emas Federer
Di dunia tenis putri kita mengenal Jennifer Capriati atau Dinara Safina, dua atlet dengan bakat luar biasa tetapi praktis tidak punya catatan prestasi dengan tinta emas. Di kelompok putra kita pernah mengenal Jimmy Arias atau kini masih sering melihat penampilan Richard Gasquet. Namun, toh kita sulit mengingat kapan dan di mana mereka mengangkat piala.
Capriati, Safina, Arias, Gasquet, dan entah berapa banyak lagi petenis dengan fenomena serupa. Mereka bukannya sembarang talenta dan bukannya tidak pernah masuk kelompok elite. Satu-satunya kegagalan mereka adalah ketidakmampuan bertahan pada level yang tinggi, pada level elite.
Sementara itu, di sisi lain, sejumlah kecil petenis, yang juga berasal dari bibit unggul, mampu bertahan pada level yang sangat tinggi, bukan sekadar satu atau dua tahun, bahkan hampir dua dekade seperti Roger Federer.
Dunia seolah menemukan kebahagiaan baru, dua windu lalu di lapangan utama All England Club, petenis muda Swiss itu masih ”culun” dengan ikat kepala dan rambut panjang diikat kuncir. Namun, dia mengalahkan master tenis saat itu, Pete Sampras, di babak keempat.
Paul Annacone, mantan pelatih Sampras dan Federer, mengingat momen itu dengan jernih. Menurut Annacone, salah satu momen yang paling diingat dalam karier kepelatihannya adalah pada 2001 saat Federer mengalahkan Pete Sampras (satu-satunya pertemuan di antara keduanya) pada babak keempat Wimbledon.
”Saat itu saya langsung yakin, bakat luar biasa telah hadir di tenis putra,” ujar Annacone yang kala itu masih berstatus pelatih Sampras.
Dan sekarang, 16 tahun kemudian, Federer masih merupakan salah satu petenis terbaik di muka bumi dengan 19 gelar Grand Slam, dua di antaranya diraihnya musim 2017 ini di Melbourne Park dan All England Club. Di luar Grand Slam, petenis kelahiran Basel, Swiss, itu juga meraih tujuh gelar juara, termasuk tiga di turnamen Master 1000, di Indian Wells, Miami, dan Shanghai.
”Seorang legenda bisa didefinisikan dalam kombinasi berbagai ukuran,” ujar Annacone seperti dikutip laman resmi Final ATP, pekan lalu. ”Level permainan mereka dan berapa lama mereka mampu bertahan pada level itu. Roger telah menaikkan standar untuk keduanya. Dia bermain pada level yang lebih tinggi dari siapa pun, dan dia mempertahankan level itu untuk jangka waktu yang lama,” tutur Annacone.
Inti dari kehebatan Federer, lanjut Annacone, adalah kemampuannya untuk menerima lingkungannya dengan kegembiraan yang tak kenal lelah untuk tenis dan untuk kehidupan pada umumnya. ”Tak ada tantangan yang lebih besar bagi seorang atlet selain mendapatkan manfaat dan memelihara perspektif yang seimbang itu,” ujar Annacone.
”Kemampuan inilah yang menjadi faktor signifikan seorang atlet mampu mempertahankan usia emasnya dalam jangka panjang dalam pengejaran tanpa henti untuk meraih kesuksesan,” lanjut Annacone yang juga mantan petenis profesional.
Federer mampu berpikir dan bertindak cepat mengatasi segala rintangan.
Matthew Syed dalam bukunya The Greatness, The Quest for Sporting Perfection menulis, rahasia panjang usia emas (longevity) seorang atlet tentu bukan hanya milik Federer. Beberapa legenda punya fenomena yang sama. Pegolf Jack Nicklaus, misalnya, memenangi gelar Major ke-18 pada usia 46 tahun, juga pemain sayap Manchester United, Ryan Giggs, yang pada usia 40 tahun masih jadi andalan ”Setan Merah” setelah memainkan 650 laga bersama klub paling sukses di kancah domestik Inggris itu.
Namun, Federer tetap istimewa berkat kecintaannya yang luar biasa pada tenis seperi yang dikatakan juga oleh Annacone.
Syed yang juga mantan atlet tenis meja dan Olimpian Inggris Raya melanjutkan, pada satu kesempatan di sela-sela Grand Slam Wimbledon, dia menyempatkan diri datang ke Aorangi Park, lokasi lapangan tempat latihan. Syed senang hadir di Aorangi karena punya kesempatan melihat dari dekat para juara berlatih, termasuk Federer. Saat itu, Federer tengah berlatih ground stroke dengan mitra latihnya yang jauh lebih muda.
Sesi latihan Federer berjalan sekitar 50 menit dengan berbagai kombinasi latihan, di antaranya latihan servis dengan ratusan pukulan, latihan ground stroke yang diakhiri dengan pertandingan kompetitif enam gim. ”Latihan yang sangat intens dan satu hal yang konsisten adalah senyum Federer,” tulis Syed.
Pada satu momen saat gim kompetitif berlangsung, Federer membuat lawannya terperangah berkat penempatan bolanya yang sangat akurat. Lawan latih tandingnya bahkan terpaku tak bergerak.
Pada momen lainnya, Federer terkecoh oleh bola lob lawannya saat menyerang ke jaring. Federer terwata terbahak-bahak dan bertepuk tangan untuk lawannya, tulis Syed.
Federer tidak hanya menikmati tenis dengan senyum tawa, tetapi juga tawa dan terlebih kebahagiaan pada semua keadaan, termasuk dalam kesalahannya yang paling amatir sekalipun. Federer master dalam hal ini.
Dia mampu mengelola emosinya dengan sempurna. Federer tidak pernah membiarkan sebuah kesalahan atau kekalahan memengaruhi penampilannya kemudian. Dia begitu mencintai tenis sehingga bahkan kesalahan paling memalukan pun diterimanya dengan tawa.
Saat melawan Jack Sock di laga pertama ATP Final, Federer melakukan kesalahan memalukan. Pukulan voli Sock jatuh di posisi yang sangat tanggung. Federer hanya butuh forehand sederhana untuk mencetak poin. Pukulan Federer tersangkut di net dan dia tertawa.
Menurut Annacone, selain faktor perspektif seimbang dan stabilitas emosional, Federer juga mempunyai kemampuan intelektual di atas rata-rata atlet elite lainnya. Hal itu memungkinkan dia melakukan adaptasi cepat pada segala keadaan permainan dan bermain sangat efisien. Federer adalah satu dari sedikit petenis, termasuk rival abadinya Rafael Nadal, yang mampu melakukan penyesuaian strategi permainan dengan cepat.
Jika mengikuti logika, Federer pada usia sekarang sebagai atlet jauh lebih baik ketimbang pada periodenya yang paling dominan, antara 2004 dan 2006. Annacone menyimpulkan, kemampuan teknis dan kematangan nonteknis Federer dipengaruhi oleh tiga hal yang sangat berkaitan, yakni otak, hati, dan bakat.
Federer mampu berpikir dan bertindak cepat mengatasi segala rintangan. Dia punya hati yang besar untuk berkompetisi tanpa syarat, dan tentu saja karena pada dasarnya dia punya bakat sangat besar, baik secara fisik maupun kemampuan alami.
Jika seorang atlet mampu berkembang di tiga area tersebut, lanjut Annacone, mereka akan mendapat semacam hadiah kemampuan fisik yang tidak dapat dipelajari, bahkan oleh teknologi dan pengetahuan olahraga sekalipun.
”Roger Federer mengembangkan ketiga area tersebut dengan cukup baik,” ujar Annacone sembari menambahkan, faktor dukungan dan pendidikan keluarga yang diberikan kedua orangtuanya, Robbie dan Lynette, serta disiplin dan kerja keras dari sejak praremaja dan keingintahuan yang sangat besar terhadap olahraga tenis telah membawa Federer pada level seperti sekarang.