Nadal yang Selalu Ditaklukkan Cedera
Cedera menjadi bagian kehidupan atlet, termasuk petenis profesional yang harus menjalani 20-an hingga 30 turnamen di belasan negara setiap tahun. Rafael Nadal menjadi petenis top dunia yang terbilang paling sering cedera.
Setelah didera cedera pergelangan tangan kiri pada setengah musim 2016, perjalanan Nadal pada 2017 sebenarnya cukup mulus. Hingga September, dia mengumpulkan enam gelar juara, termasuk dari Grand Slam Perancis dan Amerika Serikat Terbuka. Nadal juga kembali ke puncak peringkat dunia, pada Agustus, posisi yang terakhir kali ditempatinya tiga tahun lalu.
Selama musim ini, hanya Roger Federer yang bisa menyaingi dengan tujuh gelar juara. Federer juga selalu mengalahkan Nadal dalam empat pertemuan, termasuk persaingan di final Australia Terbuka, ATP Masters 1000 Miami dan Shanghai.
Saya telah menyelesaikan musim ini. Menang atau kalah, saya akan mundur karena bertanding dalam kondisi tidak nyaman.
Namun, keajaiban Nadal memudar jelang akhir musim. Cedera lutut kanan, yang pertama kali dialami pada 2008, mulai mengganggunya di final Shanghai Masters melawan Federer. Cedera itu membuatnya mundur menjelang perempat final ATP Masters 1000 Paris, dua pekan lalu.
Kondisi tersebut memunculkan keraguan akan tampilnya Nadal pada turnamen Final ATP di London Inggris, 12-19 November, hingga akhirnya foto saat berlatih di London diunggah pada akun twitter Asosiasi Tenis Profesional (ATP), tiga hari sebelum turnamen. Final ATP adalah turnamen di pengujung musim yang hanya bisa diikuti delapan petenis terbaik selama musim 2017. Bersama Federer, Nadal dipastikan lolos sejak pertengahan musim.
Saat konferensi pers, sehari menjelang turnamen, Nadal menyatakan kesiapannya untuk tampil meski dia juga mengindikasikan bisa saja tak tampil secara penuh. Nadal akhirnya mundur setelah dikalahkan David Goffin, 6-7 (5), 7-6 (4), 4-6, Senin (13/11) malam waktu setempat atau Selasa dini hari waktu Indonesia. Itu menjadi pertandingan pertama Nadal pada Grup Pete Sampras yang juga dihuni Dominic Thiem dan Grigor Dimitrov.
Usai dikalahkan Goffin, Nadal melambaikan tangan pada sekitar 20.000 penonton di The O2 Arena. Lambaian tangannya tak sekedar lambaian dengan satu tangan seperti yang dilakukan petenis kalah saat meninggalkan lapangan. Dia melambaikan kedua tangannya, memastikan semua penonton di setiap sudut menerima ucapan terima kasih.
Dalam turnamen berformat round robin—delapan petenis dibagi dalam dua grup—setiap petenis berhak tampil dalam tiga pertandingan pada penyisihan grup. Nadal, dijadwalkan bertanding melawan Dominic Thiem (Austria) pada Rabu. Namun, petenis berusia 31 tahun itu memilih menyerahkan tempatnya kepada rekan sesama Spanyol, Pablo Carreno Busta, yang berstatus petenis cadangan.
"Saya telah menyelesaikan musim ini. Menang atau kalah, saya akan mundur karena bertanding dalam kondisi tidak nyaman. Saya sudah berusaha keras, tetapi rasa sakitnya membuat saya semakin kehilangan tenaga," ujar Nadal.
Nadal tiba di London dalam kondisi cedera lutut kanan yang dialami sejak melawan Federer pada ATP Masters 1000 Shanghai, Oktober. Cedera itu membuatnya mundur sebelum perempat final ATP Masters 1000 Paris, dua pekan lalu.
Nadal sempat menyatakan kesiapan tampil di London meski pernyataannya dalam konferensi pers mengindikasikan, dia bisa saja mundur di tengah turnamen. "Saya tampil di sini karena saya memiliki komitmen pada turnamen, pada kota ini, dan pada diri sendiri. Namun, turnamen ini rupanya menjadi turnamen yang paling sering saya lewatkan," lanjutnya.
Nadal selalu lolos ke Final ATP, yang mensyaratkan peringkat delapan besar, sejak 2005. Namun, pada 12 kesempatan hingga 2016, lima kali dia absen karena cedera.
Saat melawan Goffin, hanya semangat yang menjadi modalnya untuk menyelesaikan pertandingan. Dia menggagalkan empat match point Goffin pada set kedua dan memperkecil selisih ketertinggalan, dari 1-4 menjadi 3-4, pada set ketiga.
"Perlu perjuangan berat hingga akhir setiap kali melawan Rafa. Dia adalah salah satu pemain dengan mental terkuat di lapangan," komentar Goffin.
Riwayat cedera
Cedera tak pernah lepas dari kehidupan Nadal yang memulai latihan tenis sejak usia empat tahun bersama pelatih yang juga pamannya, Toni Nadal. Musim 2016, setelah membatalkan tampil pada babak ketiga Perancis Terbuka karena cedera pergelangan tangan kanan, dia juga mundur dari turnamen Queen\'s Club, Wimbledon, Toronto, Basel, Paris, dan Final ATP.
Riwayat cederanya itu bahkan dimulai ketika dia masih bertanding saat yunior, usia 18 tahun ke bawah.
Pada 2003, saat berusia 17 tahun, dia batal tampil di Perancis Terbuka karena cedera siku saat latihan. Setahun berikutnya, retak pada tulang engkel kiri akibat tekanan terus menerus membuatnya harus beristirahat dari turnamen selama tiga bulan.
Dalam biografi Rafa My Story diceritakan, Nadal mengalami masa frustrasi pada 2005 karena cederanya makin parah. Kelainan bawaan pada kaki kiri—salah satu bagian tulang telapak kakinya terlambat mengeras pada masa kecil—membuat rasa sakit terus berulang saat dewasa. Nadal pun harus mengenakan insole tambahan pada sepatunya.
Kondisi yang langka terjadi itu pernah membuat dokter menyatakan bahwa Nadal hanya bisa tampil dalam arena tenis profesional hingga usia 19 tahun. Sang ayah, Sebastian Nadal, menghiburnya bahwa dia bisa beralih menjadi pegolf profesional, salah satu hobi Nadal selain sepak bola.
Latihan keras dari Paman Toni juga dinilai membuat tubuhnya rawan cedera. Pada usia tujuh tahun, Nadal latihan lima kali per minggu selama 1,5 jam setiap hari. Di usia 11 tahun, jam latihannya bertambah menjadi empat jam per hari. Pada usia tersebut, Nadal menjadi juara nasional kategori 12 tahun ke bawah dan mencapai final untuk kategori usia 14 tahun ke bawah.
Menginjak usia 14 tahun, Nadal bermain dengan strategi get every ball back in play. Dia selalu mengejar bola ke mana pun dan dalam kondisi apapun. Gaya ini membuat permainannya atraktif.
Pada usia 15 tahun, petenis yang memiliki paman mantan pemain sepak bola Spanyol, Miguel Angel Nadal, ini, untuk pertama kalinya menempati peringkat dunia dan berada di peringkat 50 besar dunia, dua tahun kemudian. Pada saat itu, Nadal berlatih enam jam di lapangan tenis dengan latihan ekstra di tempat fitness.
Namun, seiring level kompetisi yang kian ketat, tubuhnya menjadi rentan cedera. Sejak 2003, berbagai cedera pernah dialami, seperti engkel, lutut, paha, dan pergelangan tangan.
Kompetisi ketat
Selain Nadal, musim kompetisi 2017 telah kehilangan Novak Djokovic, Andy Murray, dan Stan Wawrinka sejak pertengahan musim, juga, karena cedera. Ahli bedah dari Amerika Serikat, Dr Richard Berger, yang pernah mengoperasi Juan Martin Del Potro dan Laura Robson mengatakan, cedera petenis umumnya disebabkan terlalu padatnya jadwal yang harus diikuti.
“Tak ada waktu yang cukup untuk memulihkan diri karena intensitas pertandingan begitu tinggi,” kata Berger, dikutip dari The Telegraph.
Pada musim 2017, kalender WTA memuat 53 turnamen di 31 negara dalam 41 pekan sejak 2 Januari hingga 5 November. Ini belum termasuk Piala Fed yang dikelola Federasi Tenis Internasional (ITF). Adapun ATP memiliki 67 turnamen sejak 1 Januari hingga 19 November, belum termasuk Piala Davis. Petenis peringkat 50 besar dunia mengikuti 15-34 turnamen dalam satu musim. Artinya, setiap petenis harus melakukan 30 hingga 60 penerbangan setiap tahun.
Padatnya turnamen itu belum termasuk masa persiapan yang dimulai Oktober atau November untuk memasuki musim berikutnya. Kondisi tersebut, dikatakan Direktur Ilmu Kedokteran Olahraga dan Rehabilitasi dari Isokinetic (pusat pengobatan internasional FIFA), membuat petenis rawan cedera pada tiga bulan pertama. Pada 2016, itu dialami Milos Raonic, Garbine Muguruza, Petra Kvitova, dan Agnieszka Radwanska.
Untuk mengatasi masalah itu, salah satu solusi yang disarakankan adalah mengurangi jumlah turnamen yang diikuti agar memiliki waktu pemulihan lebih panjang. Ini dilakukan Federer pada musim ini ketika memilih tak tampil selama musim kompetisi lapangan tanah liat, April-Juni.
Dengan melewatkan turnamen yang bisa menguras tenaga petenis berusia 36 tahun itu, karena pertandingan di lapangan tanah liat didominasi permainan reli, Federer mencapai hasil optimal pada turnamen di lapangan keras dan rumput. Sebelum tampil di Final ATP, dia meraih tujuh gelar juara, lima dari lapangan keras dan dua dari lapangan rumput. (AFP/REUTERS)