Pemberontakan di Balik Kegagalan Italia
Ini adalah pertama kali pasukan biru gagal menembus ajang terakbar sepak bola dunia setelah tahun 1958, atau 59 tahun lalu.
Stadion San Siro, Milan, Senin 13 November 2017. Memasuki pertengahan babak kedua, asisten pelatih Italia mendekati gelandang Daniele De Rossi yang tengah tercenung dengan wajah tegang di bangku cadangan.
Sang asisten meminta pemain veteran dengan janggut panjang itu untuk melakukan pemanasan. De Rossi terlihat marah dan bahasa tubuhnya seolah menunjuk kepada striker Lorenzo Insigne.
”Mengapa harus saya yang masuk? Kita tidak butuh imbang, kita butuh menang!” ujar De Rossi setengah berteriak.
Momen di bangku cadangan itu tak banyak diekspos media yang lebih fokus kepada kiper Gianluigi Buffon, veteran Piala Dunia 2006 yang menangis dan mengakhiri kariernya yang gemilang dengan air mata.
Italia gagal mencetak gol ke gawang Swedia pada laga kedua play off kualifikasi Piala Dunia Zona Eropa. Hasil imbang tanpa gol di San Siro itu membuat pasukan ”Azzurri” gagal melaju ke Piala Dunia 2018 di Rusia.
Ini adalah pertama kali pasukan biru gagal menembus ajang terakbar sepak bola dunia tersebut setelah tahun 1958, atau 59 tahun lalu. Italia kini tercatat tiga kali absen setelah pada 1930, saat Piala Dunia pertama digelar, ditolak keikutsertaannya.
Sebelum laga di San Siro melawan Swedia, Presiden Federasi Sepak Bola Italia Carlo Tavecchio mengatakan, akan menjadi sebuah kiamat jika Italia gagal ke Piala Dunia, dan ”kiamat” itu benar-benar terjadi.
Ventura adalah David Moyes di Manchester United pada versi yang lain, seorang pelatih yang dinilai stabil selama beberapa musim, tetapi belum mampu masuk level yang lebih tinggi dengan tugas yang lebih besar.
Kegagalan Italia memang layak ditangisi, bukan saja oleh rakyatnya, melainkan juga oleh publik pencinta sepak bola di seluruh dunia. Dalam banyak hal, Italia selalu memberi warna pada persaingan sepak bola di kelompok elite dunia.
Mereka barangkali bukan sebuah tim dengan sepak bola indah, bahkan banyak yang menilai Italia sering memainkan sepak bola negatif dengan strategi pertahanan grendelnya yang terkenal. Namun, Italia tetaplah sebuah negara kiblat sepak bola dunia dengan tradisi yang sangat kuat. Empat gelar juara dunia membuktikan semua itu.
Barangkali, Italia adalah negara sepak bola ”terbesar” yang pernah gagal ke Piala Dunia. Inggris juga gagal melaju pada 1970 dan 1994, tetapi negara ”ibu sepak bola” itu hanya sekali menjadi juara dunia pada 1966. Belanda juga gagal ke Rusia kali ini dan mereka belum pernah menjadi juara dunia.
Lantas apa yang salah dari Italia kali ini? Coba kita tengok apa yang terjadi di San Siro.
Pasukan Gian Piero Ventura mendominasi permainan dengan penguasaan bola 76 persen, tetapi gagal menembus pertahanan dan gawang Swedia yang dikawal Robin Olsen. Swedia, dengan keunggulan agregat 1-0, bertahan total, kadang dengan delapan pemain di kotak penalti.
Italia bermain tanpa kreativitas yang mumpuni untuk menembus strategi ”parkir bus” yang diterapkan Pelatih Jan Andersson. Secara total, Swedia melalukan 56 penggagalan peluang (clearence) dan 19 kali penghadangan (interception) yang menggambarkan betapa solidnya pertahahanan mereka.
Barisan depan Italia bukannya tidak bekerja keras. Mereka membombardir pertahanan Swedia dengan intens, tetapi dengan opsi yang sangat terbatas. Italia total membukukan 20 shot on/off target yang tak satupun berbuah gol.
Puluhan kali mereka melakukan umpan menyilang ke kotak penalti dan selalu gagal karena barisan pertahanan Swedia yang dikomandani Andreas Granqvist punya rata-rata tinggi badan yang lebih dibandingkan pasukan pemukul Italia. Minimnya determinasi di lini depan terlihat sangat jelas pada tim yang hanya mencetak tiga gol pada enam laga kompetitif terakhir itu.
Menit seolah berlari bagi pasukan Ventura. Pada momen itulah De Rossi bertengkar dengan sang asisten. Selepas laga yang pahit itu De Rossi mengatakan, dia memang ”menentang” perintah Ventura untuk pemanasan karena Italia lebih membutuhkan Insigne, penyerang Napoli yang diabaikan oleh Ventura.
Insigne, 26 tahun, adalah penyerang sayap yang tengah berada di puncak kariernya dan mencetak 18 gol bagi Napoli musim lalu serta hampir mencetak digit ganda dalam asis. Insigne adalah satu-satunya pesepak bola profesional Italia yang bernilai pasar lebih dari 100 juta euro menurut versi CIES Football Observatory, tetapi tidak memikat hati Ventura dan hanya tampil sebentar saat kalah di laga pertama di Swedia.
Minim strategi
Paolo Bandini, pengamat sepak bola Italia, mengatakan, strategi dan pilihan susunan pemain yang dilakukan Ventura sulit dimengerti kebanyakan orang. Insigne adalah penyerang sayap dan Ventura memakai formasi 3-5-2 sehingga tak ada tempat bagi bintang Napoli tersebut, tulis Bandini di The Guardian, Selasa.
Sebelumnya, pada awal-awal kualifikasi, Ventura menerapkan formasi 4-2-4, kemudian berubah menjadi 3-4-3. Dengan formasi empat pemain menyerang dan sokongan dua gelandang, Italia dihantam Spanyol 0-3 di Madrid. Pada formasi tiga penyerang dengan empat gelandang, Azzurri hanya bisa imbang 1-1 dengan tim anak bawang Macedonia pada laga kandang.
Setelah dua laga yang buruk itu, sejumlah pemain senior melakukan pertemuan rahasia, tanpa Ventura dan staf pelatih lainnya. Media Italia mengabarkan, para veteran itu, termasuk De Rossi dan Buffon, mendesak Ventura untuk kembali ke formasi 3-5-2, formasi yang sangat familiar karena sering digunakan oleh Antonio Conte pada Piala Eropa 2016. Conte adalah pelatih yang digantikan Ventura.
Namun, ketika Ventura menerapkan formasi ini, kondisi pasukan Italia sudah jauh dari ideal, jauh dari kondisi terbaik yang pernah ditangani Conte. Ventura tak punya kekayaan strategi dan perencanaan permainan sebaik Conte.
Di tangan Conte, Azzurri adalah tim dengan permainan yang mengalir dengan kerja sama antarblok yang sangat dinamis dan tajam. Di bawah Ventura, koordinasi antarblok, belakang-tengah-depan lenyap bak ditelan bumi.
Fakta lain adalah Ventura tak punya integritas di antara pemain. Pemain senior tidak punya kepercayaan pada seluruh strategi yang diterapkan mantan pelatih Lecce dan Torino tersebut. Kondisi ini bisa dipahami karena curriculum vitae (CV) Ventura sangat medioker dibandingkan pelatih-pelatih Gli Azzurri sebelumnya. Pencapaian terbaik Ventura hanyanya mengantarkan Torino mencapai Liga Europa pada 2014.
Malapetaka
Penunjukan Ventura sebagai pengganti Conte memang awal dari ”kiamat” sepak bola Italia kali ini. Sebagai negara penghasil pelatih kelas dunia, penunjukan Ventura boleh dibilang sebuah malapetaka.
Pada usia 67 tahun saat menggantikan Conte, Ventura memang pilihan sulit mengingat dua kandidat lain, Carlo Ancelotti dan Claudio Ranieri, tidak memungkinkan. Sementara mantan juru latih Inter Milan dan Manchester City Roberto Mancini diabaikan oleh Federasi Sepak Bola Italia.
Namun, tidak adil hanya menyalahkan Ventura. Nyaris sama dengan Conte, Ventura mendapatkan sekumpulan pemain yang boleh dibilang terlemah dalam satu dekade. Namun, di tangan Conte, Italia menjelma menjadi tim yang memukau karena memang itulah tugas utama pelatih berkualitas. Pelatih buruk membuat skuad dengan pemain rata-rata akan semakin buruk karena pemain tidak pernah yakin dengan strategi yang dia terapkan.
Ventura adalah David Moyes di Manchester United pada versi yang lain, seorang pelatih yang dinilai stabil selama beberapa musim, tetapi belum mampu masuk level yang lebih tinggi dengan tugas yang lebih besar.
Di sisi lain, Italia memang sedang mengalami masa paceklik menghasilkan bintang sejak mereka memenangi Piala Dunia 2006. Harian olahraga ternama Italia Gazzetta dello Sports menulis, paceklik bintang muda Italia tidak tertolong oleh keberhasilan klub Atalanta menghasilkan pemain muda berkualitas karena sistem pembinaan usia muda secara umum di klub-klub Serie A tidak sebaik satu atau dua dekade lalu.
”Di Spanyol, klub-klub besar menginvestasikan 10 persen dari pendapatannya untuk tim yunior mereka. Ini tidak terjadi di Italia,” tulis harian itu.
Liga Serie A Italia sendiri sedang mengalami masa kurang percaya diri pada bakat-bakat lokal dengan persentase pemain asing yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Transfermarket.com mencatat, saat ini Serie A dihuni oleh 53,3 persen pemain asing dan itu pasti memengaruhi kinerja tim nasional Gli Azzurri.
Kiamat seperti yang digambarkan Tavecchio memang sedang terjadi dan Italia harus melalui semua ini dengan tabah. Namun, harus diingat, mereka seharusnya juga sudah menyadari bahwa kiamat itu bukan datang begitu saja.
Tanda-tanda penurunan kinerja Azzuri sudah terlihat jauh hari. Pada Piala Dunia 2010 dan 2014, pasukan Italia bahkan tidak lolos babak grup.
Lonceng-lonceng tanda bahaya telah diabaikan, kini mereka harus menghadapi konsekuensinya.