Jalan Tragedi Menuju Piala Dunia
Minggu, 8 Oktober 2017, barangkali salah satu hari paling bersejarah bagi bangsa Mesir. Pada malam yang cerah di kota Alexandria tersebut, rakyat Mesir merayakan kembalinya negara itu ke Piala Dunia untuk pertama kalinya setelah seperempat abad lebih.
Ujung tombak klub Liverpool (Inggris), Mohamed Salah, menjadi pahlawan negeri Afrika utara yang masih berjuang untuk hidup damai tersebut dengan dua golnya ke gawang Kongo. Ratusan ribu warga kota-kota besar, mulai dari Alexandria, Port Said, hingga ibu kota Kairo, turun ke jalan-jalan menari, menyanyi, dan berpesta selepas kemenangan dramatik melalui gol penalti Salah pada menit ke-95 tersebut.
Warga yang turun ke jalanan tumpah dalam kegembiraan dan melupakan kepenatan hidup sehari-hari belakangan ini yang penuh dengan ketegangan politik, pertikaian agama, dan ketimpangan sosial. Semua larut dalam kegembiraan dan saling berpeluk erat dengan tangis bahagia.
Sepak bola memang tidak terpisahkan dalam keseharian bangsa Mesir dan hari itu mereka seolah melepaskan diri dari ”kutukan” selama tiga dekade. Bagaimana tidak? Mesir adalah negara terkuat sepak bola di benua Afrika dan memenangi Piala Afrika empat kali (1998, 2006, 2008, dan 2010) sejak terakhir ke Piala Dunia 1990 di Italia, tetapi tidak pernah lolos ke Piala Dunia setelah itu. ”Tim Pharaohs” bekali-kali menelan pil pahit, dan salah satu yang paling membuat patah hati adalah kekalahan melawan Aljazair pada 2009 di babak playoff.
Maka, lolosnya Mesir ke Piala Dunia 2018 di Rusia memang patut dijadikan tonggak sejarah, bukan saja karena seperempat abad lebih mereka absen, melainkan juga karena sepak bola melekat erat dengan keseharian bangsa ini selama satu abad lebih. ”Mesir melekat erat dengan sepak bola seperti Perancis dengan minuman anggur,” ujar penulis Mesir, Alaa al-Aswany.
Suatu hal yang terbilang mustahil menemukan satu saja warga Mesir yang bukan penggemar sepak bola. Menurut Aswany, saat laga besar domestik disiarkan langsung via televisi, ibu kota Kairo berubah menjadi ”kota hantu”, sunyi, dan satu-satunya suara yang muncul adalah teriakan-teriakan gembira saat gol tercipta.
Soal kegilaan rakyat Mesir pada sepak bola, penulis lain, Diana al-Sammari, bahkan menulis lebih lugas, ”Karl Marx salah, bukan agama yang menjadi candu bagi rakyat, melainkan sepak bola”. Dan candu bagi rakyat Mesir memang menjadi sangat logis mengingat sejak pemerintahan otoriter Hosni Mubarak (1981-2011), rakyat Mesir berada dalam keseharian yang pengap dan sesak oleh penindasan rezim militer dan ketimpangan sosial-ekonomi yang dalam.
Satu-satunya katup pengaman bagi pelepasan kepenatan hidup hanyalah sepak bola, yang sekali atau dua kali sepekan menghibur lewat laga-laga di lapangan hijau. Menurut Al Shammary, para pemain bola adalah pahlawan sesungguhnya bagi sebagian besar rakyat Mesir dan mereka dipuja berdasarkan tradisi atau pilihan. Permainan menentukan ”lagu kebangsaan” yang dinyanyikan, jersey apa yang dipakai, dengan (klub) apa seseorang diasosiasikan dan siapa pahlawan yang dipuja.
Merah atau Putih
Meski Liga Primer Mesir terdiri dari belasan klub, secara praktis ”pendukung” terbagi dua, masing-masing pada dua klub paling sukses dan paling populer sepanjang sejarah, yakni Al Ahly dan Zamalek, keduanya bermarkas di Kairo. Jadi, katakanlah Anda pendukung klub Ittihad Alexandria, hampir pasti Anda juga pendukung Al Ahly atau Zamalek.
Kenyataannya memang demikian dan seluruh negeri terpecah menjadi dua kubu, ”kubu Merah Al Ahly” atau ”kubu Putih Zamalek”. Saat dua tim ini bertemu, atmosfernya hampir menyerupai El Clasico Spanyol antara Real Madrid dan Barcelona yang kental dengan nuansa pertentangan politik dan nasionalisme.
Al Ahly yang berjuluk ”Setan Merah” tak pelak merupakan klub paling populer dengan estimasi jumlah pendukung mencapai 50 juta jiwa di seluruh kontinen. Tidak heran sebab klub yang didirikan pada 1907 itu telah mengoleksi lebih dari 130 piala dan menurut FIFA adalah tim paling sukses di muka bumi. Sejak Liga Primer Mesir dimulai pada 1948-49, hanya 15 kali dari 55 musim mereka tidak menjadi juara.
Meski musuh bebuyutan, pendukung fanatik Al Ahly dan Zamalek bahu-membahu menumbangkan rezim otoriter Mubarak pada 2011 yang dikenal sebagai Revolusi Tahrir. Ribuan pendukung fanatik kedua klub paling top tersebut bahu-membahu membentuk barikade massa untuk membendung serangan militer saat revolusi yang dimulai di Tahrir Square itu mendekati titik kulminasi.
Ribuan anak muda yang telah sangat berpengalaman dalam konfrontasi dengan polisi dan militer di lapangan sepak bola secara efektif melakukan perlawanan terhadap pasukan keamanan yang hendak membubarkan demonstrasi besar di Tahrir. Tanpa dua kelompok besar fans ultra Al Ahly dan Zamalek, revolusi 2011 mustahil berhasil menumbangkan Mubarak.
Tragedi
Namun, pascarevolusi, sepak bola Mesir justru memasuki masa paling kelam. Dua tragedi besar menimpa.
Pertama pada 1 Februari 2012 di Stadion Port Said. Setelah timnya ditekuk Al Alhy 1-3, pendukung fanatik klub Al Masry menyerang kubu pendukung Al Ahly menggunakan berbagai senjata, batu, dan kayu pemukul, menyebabkan 74 pendukung Al Ahly tewas dan 500 lainnya terluka.
Pendukung ultra Al Masry yang berjuluk ”Green Eagles” juga menyerang pemain dan ofisial Al Ahly. Sejumlah saksi mata mengatakan, polisi hanya terdiam seolah membiarkan pembantaian itu terjadi.
”Pembantaian Port Said barangkali tragedi paling buruk dalam sejarah kerusuhan sepak bola di dunia,” ujar Said Hesham, penulis olahraga yang berbasis di Kairo.
Setahun setelah tragedi Port Said, pengadilan Mesir menjatuhkan hukuman mati kepada 21 orang anggota ”Green Eagles”, sementara 52 orang lainnya dipenjara selama beberapa tahun dan beberapa masih menunggu ketok palu hakim. Sembilan polisi Port Said juga duduk di kursi terdakwa, tetapi hanya satu yang akhirnya terbukti bersalah dan kini menjalani hukuman 15 tahun penjara.
”Kami yakin, belasan polisi lainnya seharusnya dihukum. Mereka seharusnya melindungi kami, tapi faktanya tidak,” ujar Said Youssef, pendukung Al Ahly yang menjadi penyintas dalam tragedi itu.
Belum kering air mata keluarga korban tragedi Port Said, duka kembali menyelimuti sepak bola Mesir. Pada 8 Februari 2015, sebanyak 22 fans Zamalek, banyak di antaranya anak-anak, tewas di luar Stadion Air Defense di Kairo.
Insiden di Kairo ini kemudian mendorong otoritas Mesir yang pada Mei 2015 mengeluarkan keputusan pengadilan yang melarang kelompok-kelompok pendukung sepak bola ultrafanatik hadir di stadion.
Tragedi bermula saat pendukung Zamalek yang berkumpul di luar stadion dibubarkan paksa oleh petugas keamanan dengan cara brutal. Sebagian besar korban tewas karena kekurangan oksiden akibat tembakan gas air mata dan sebagian lagi karena terinjak-injak massa yang panik berlarian.
Insiden di Kairo ini kemudian mendorong otoritas Mesir pada Mei 2015 mengeluarkan keputusan pengadilan yang melarang kelompok-kelompok pendukung sepak bola ultrafanatik hadir di stadion. Keputusan ini disambut hangat oleh banyak kalangan, termasuk klub, pemain, dan ofisial.
Sejak saat itu, kehidupan sepak bola di Mesir mulai normal dan pendukung kembali ke stadion dengan perasaan aman meski banyak kalangan yang juga menuduh bahwa keputusan pemerintah tersebut juga untuk mencegah terulangnya Revolusi Tahrir yang menggulingkan pemerintahan Mubarak.
Hector Cuper
Setelah tragedi Port Said pada 2012, Pemerintah Mesir membekukan kompetisi Liga Primer selama dua tahun. Kondisi ini tidak hanya membuat nyaris bangkrut klub, tetapi juga memukul kinerja tim nasional Pharaohs di kancah internasional.
Pelatih AS Bob Bradley yang didatangkan untuk menangani tim nasional, kemudian disusul Shawky Gharieb, gagal meloloskan The Pharaohs ke turnamen mayor pertama sejak 2010. Pada Maret 2015, Federasi Sepak Bola Mesir (EFA) menunjuk pelatih asal Argentina, Hector Cuper, untuk membawa tim nasional kembali bersinar di ajang internasional.
Semula, banyak pengamat meragukan Cuper yang hanya punya pengalaman melatih negara bersama Georgia dan gagal saat melatih Racing Santander dan Al-Wasl. Meski begitu, catatan pelatih berusia 61 tahun ini terbilang bagus bersama klub Valencia (Spanyol) dan Inter Milan (Italia) serta menyelamatkan Real Mallorca (Spanyol) dari bencana degradasi pada 2005. Dengan catatan ini pun, banyak pengamat mengatakan penunjukan Cuper merupakan perjudian besar bagi EFA.
Namun, kemudian Cuper membuktikan dia seorang pelatih yang kompeten untuk kembali membawa Mesir ke ajang besar dan lolos ke Piala Afrika di Gabon. The Pharaohs bahkan menjadi juara grup di kelompok yang berisikan salah satu kekuatan hebat di Afrika, Nigeria.
Pilihannya pada Mo Salah tidak salah.
Cuper kemudian mengantarkan Mesir ke final Piala Afrika 2017 sebelum kalah melawan Kamerun di laga pemuncak. Meski kalah di final, inti kekuatan The Pharaohs mulai terbentuk dengan kokoh.
Dalam badai kritik terhadap gaya permaiannya yang cederung bertahan, Cuper membangun The Pharaohs dengan sejumlah pemain yang memang punya daya bertahan di atas rata-rata. Terbukti pasukan Cuper memang sulit sekali ditembus dan hanya kebobolan sekali selama kualifikasi Piala Afrika.
Pada kualifikasi Piala Dunia, pasukan Cuper juga terus berada di puncak klasemen, di antaranya dengan kemenangan atas Ghana pada November.
Sejak Piala Afrika hingga kualifikasi Piala Dunia, Cuper memercayakan timnya pada empat pilar yang menunjang gaya dan taktik permainannya. Di bawah mistar berdiri Essam El Hadary dengan gelandang bertahan Mohamed El Nenny, pemain Arsenal yang selalu tampil habis-habisan untuk mencegah lawan masuk ke wilayah pertahanan Mesir.
Di sektor pemukul, Cuper mengandalkan penyerang sayap Mohamed Abdu Shafi yang cepat dan lugas menyisir garis pinggir. Sementara di ujung tombak berdiri striker Liverpool, Mohamed Salah, yang menciptakan 71 persen gol Mesir sepanjang babak kualifikasi. Empat pilar ini tidak pernah absen selama putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia.
Mo Salah ”on fire”
Dalam filosofi bertahannya yang sangat kaku dan ketat, Cuper memang hanya membutuhkan satu pemain depan yang punya kecepatan dan naluri mencetak gol luar biasa untuk memastikan timnya mampu memenangi laga. Pilihannya pada Mo Salah tidak salah.
Saat kualifikasi Rusia 2018 dimulai, penampilan Salah sedang bersinar bersama AS Roma dan menjadi top scorer kedua bagi pasukan ”Serigala” dengan 15 gol dan pemberi asis nomor dua di Serie A dengan catatan 11 kali selama musim 2016-2017.
Salah yang sejauh ini menjadi top scorer Liga Primer Inggris dengan sembilan gol juga menjadi kunci penampilan gemilang Mesir selama putaran ketiga kualifikasi Rusia 2018, termasuk gol penentu saat menang 1-0 atas Uganda dan dua gol melawan Kongo yang memastikan kembalinya The Pharaohs ke ajang sepak bola paling akbar, Piala Dunia.
Lahir pada 1992 di kota kecil Basyoun, Salah tidak pernah menyaksikan negerinya tampil di Piala Dunia. Namun, dia mengubah nasib negerinya nyaris dengan tangannya sendiri, tulis Muhamed Qouth di BBC Arabic.
”Salah adalah pemain paling penting dan berada di balik kembalinya Mesir ke Piala Dunia,” ujar mantan pemain The Pharaohs, Hazem Emam, yang memenangi Piala Afrika 1998 dan memegang 87 caps (tampil di timnas) untuk Mesir. ”Ketika kami lolos ke Piala Dunia 1990, itu adalah upaya tim. Kali ini Salah menjadi pemimpin dalam seluruh kampanye,” ujar Emam.
Uniknya, Salah bukanlah bagian dari dua klub paling berpengaruh di Mesir, Al Ahly dan Zamalek yang biasanya menjadi pilar The Pharaohs. Salah nyaris tidak punya peluang bergabung di dua klub ternama tersebut dan akhirnya bergabung dengan klub kecil Arab Contractors pada usia 18 tahun dan membuat debut pada 2010.
”Saat saya pertama kali bekerja dengan dia, saya katakan kepadanya bahwa ambisi harusnya tak berbatas karena dia memiliki kecepatan dan lebih penting dia punya komitmen kuat meningkatkan kemampuannya,” ujar Diaa El-Sayed, mantan pelatih Mesir U-20, tentang Salah. ”Dia selalu mendengarkan dengan tekun semua perintah saya dan mendedikasikan seluruh hidupnya di lapangan hijau untuk menjadi pemain kelas dunia,” kata El-Sayed kepada BBC Sports.
Salah berjanji tampil habis-habisan di Rusia untuk membuat rakyat Mesir bahagia dan melupakan tragedi-tragedi serta kehidupan keseharian mereka yang masih dihimpit banyak problema.
Dua bulan setelah tragedi Port Said, Salah bergabung dengan klub Swiss, Basel dan dia menjadi air penebus dahaga rakyat Mesir yang kehilangan hiburan sepak bola dalam negeri setelah dibekukan pemerintah. Salah bahkan menjadi simbol pemersatu karena tidak terasosiasi dengan Al Ahly atau Zamalek, dua klub yang dianggap menjadi biang keladi sejumlah tragedi dalam sejarah sepak bola Mesir.
Dua tahun di Basel, pelatih Chelsea Jose Mourinho tertarik meminangnya dan membawanya ke Stamford Brigde. Momen itu membuat rakyat Mesir begitu gembira.
Namun, Mourinho menyia-nyiakan potensi pemain berambut ikal dan berjanggut lebat itu dan meminjamkannya ke Fiorentina. Belakangan Mourinho mengaku menyesal telah melepaskan Salah yang kemudian ditransfer permanen oleh AS Roma.
Bersama tim ibu kota itu, Salah memancarkan sinarnya dan menjadi Player of the Year pada musim 2015-2016 dengan catatan 15 gol dan 11 asis. Dia membawa Roma menjadi runner up Serie A di bawah Juventus.
Musim panas lalu, Salah bergabung dengan Liverpool, klub Inggris yang paling banyak memenangi Liga Champions dengan lima piala. Bersama pelatih Juergen Klopp, Salah langsung punya nada yang sama dan menjadi top scorer Liga Primer dengan sembilan gol.
Bersama Mesir, Salah telah tampil 56 kali dan mencetak 32 gol. Dia akan tetap menjadi andalan bagi Mesir di Rusia 2018.
Salah berjanji tampil habis-habisan di Rusia untuk membuat rakyat Mesir bahagia dan melupakan tragedi-tragedi serta kehidupan keseharian mereka yang masih dihimpit banyak problema.