Reputasi Perbasi Dipertaruhkan
JAKARTA, KOMPAS — Penuntasan skandal pengaturan skor di Liga Basket Indonesia musim 2016-2017 penting untuk menciptakan liga basket nasional yang profesional, transparan, dan bersih. Penuntasan kasus ini pun menjadi taruhan reputasi dan kredibilitas Pengurus Pusat Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia.
"Kita bersyukur kasus judi pengaturan skor di IBL 2016-2017 bisa terungkap karena dengan kejadian ini semua pihak bisa berkaca diri," kata Triadnjanaadi Lokatanaya, mantan pemain nasional, Jumat (24/11).
Pemain asal Bali yang akrab disapa Tri Adiloka itu menilai, terungkapnya kasus judi pengaturan skor ini secara tidak langsung menjadi tantangan bagi mereka yang jadi pengurus di Pengurus Pusat Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (PP Perbasi).
"Tentu mereka harus bisa mengungkapkan kasus perjudian ini hingga tuntas," kata Tri Adiloka, yang membela klub Aspac pada 1989-2004.
Seperti diberitakan sebelumnya, 8 pemain dan 1 ofisial klub JNE Siliwangi Bandung yang terlibat pengaturan skor pada IBL 2016-2017 dikenai sanksi larangan bermain di Tanah Air oleh PP Perbasi. Lama hukuman yang diberikan bervariasi, 2-5 tahun. Pengelola IBL juga menghukum mereka dengan larangan beraktivitas di IBL seumur hidup.
Menurut Tri Adiloka, PP Perbasi juga harus mengusut 4-5 pemain lain yang disebutkan terindikasi terlibat dalam skandal itu. "Harus segera diungkapkan sejauh mana keterlibatan mereka sehingga memasuki IBL musim 2017-2018 yang tinggal beberapa hari lagi digelar ini tidak ada kecurigaan lagi di antara pemain, pelatih, pengurus tim, pihak IBL, ataupun pencinta bola basket nasional," katanya.
Terkait indikasi keterlibatan bandar judi internasional, Tri Adiloka sepakat dengan Kemenpora tentang perlunya melibatkan pihak kepolisian untuk menangani kasus ini (Kompas, 24/11). Jika di balik bandar judi internasional itu juga ada keterlibatan pemain dan pelatih asing, hal itu juga perlu diungkap agar mereka juga bisa dikenai sanksi oleh Federasi Basket Internasional (FIBA).
Manajemen klub
Menurut Tri Adiloka, perbaikan manajemen perlu menjadi perhatian bagi klub-klub basket di Tanah Air. Persoalan pengaturan skor bisa diminimalisasi, salah satunya dengan penerapan manajemen klub yang baik, terutama dalam mengelola gaji dan kesejahteraan pemain. Jika masih ada klub yang terlambat memberikan gaji atau memberikan gaji yang tidak layak, kasus serupa berpotensi terulang.
"Tentu dengan kondisi (kesejahteraan pemain yang kurang) seperti itu, sulit bagi pemain yang memiliki keluarga untuk menghidupi anak-istrinya. Itu sebabnya, dengan kejadian ini, tentu ke depan semua klub harus diyakinkan bahwa mereka bisa memberikan gaji yang layak kepada pemainnya," katanya.
Pihak JNE Siliwangi Bandung kepada Kompas menegaskan, kedelapan pemain dan seorang ofisialnya yang terbukti melakukan pengaturan skor tak mengalami keterlambatan menerima gaji. Penegasan itu tertuang dalam rilis yang ditandatangani kuasa hukum PT Bandung Utama Raya, yang dikirim Dennis Depriyadie kepada Kompas. Dennis merupakan pemilik JNE Siliwangi Bandung sebelum dijual, beberapa waktu lalu.
Perlu standar gaji
Sebelumnya, PP Perbasi juga menegaskan, kasus pengaturan skor ini tidak terkait dengan masalah gaji di klub mereka. Namun, desakan untuk membuat pengaturan standar gaji pemain basket kembali mengemuka setelah kasus ini mencuat.
Direktur Utama IBL Hasan Gozali mengakui, sejauh ini pihaknya belum membuat ketentuan tentang standar gaji, baik itu untuk pemain rookie maupun pemain bintang di IBL.
Secara terpisah, Manajer NSH Jakarta Yusuf Arlan Ruslim mengatakan, gaji untuk rookie di klubnya hanya Rp 1,5 juta per bulan. Namun, mereka mendapat fasilitas tempat tinggal, makan tiga kali sehari, biaya kuliah, serta pembelian sepatu dan perlengkapan tim.
Untuk pemain asing, kata Arlan, sejauh ini pihaknya tinggal memilih dua pemain dengan bayaran tak lebih dari 4.000 dollar AS atau Rp 54 juta per bulan. Gaji pemain asing itu dibayar langsung oleh IBL. (NIC)