Jatuh-Bangun Bergelut dengan Kuda
Penonton pun bergemuruh, terkejut melihat insiden itu. Tidak disangka, bocah perempuan setinggi 150 sentimeter itu langsung bangkit berdiri. Tidak ada tangis ataupun keluh sakit di wajahnya. Yang ada justru pancaran wajah ceria.
Sesaat kemudian, bocah perempuan hitam manis itu mendekati kudanya, mengelus-elus kepala kuda hingga si kuda lebih tenang. Lantas, ia berjalan membawa kuda itu keluar arena.
Gemuruh tepuk tangan penonton membahana melihat kejadian itu. Walau terjatuh dan tidak memenangi lomba itu, setidaknya Kayla memenangi hati penonton. Ia memang terjatuh, tetapi ia menunjukkan kebesaran hati untuk bangkit lagi dan tetap menyayangi kudanya.
Setelah keluar dari arena, di pinggir lapangan telah menanti sang ayah, Ali Widuro (45), ibunya, Ayu Novianti (45), serta kakaknya, Alysa Ayu Devania (16). Ketiganya langsung memeluk Kayla dan tertawa lepas, seolah insiden terjatuhnya Kayla tidak pernah terjadi.
Kayla merupakan salah satu peserta Kejuaraan Berkuda Djiugo 2017 kategori lompat rintangan (jumping) 50-70 cm, yang berlangsung di Arthayasa Stables, Depok, Jawa Barat, Minggu (19/11). Ia menunggangi kuda lokal berusia lebih kurang 4 tahun, yang diberi nama Golden Boy.
Kayla mengaku salah menggendalikan kudanya. Ia mencoba mengarahkan kuda ke kanan, tetapi kudanya justru berlari ke kiri. Ia lepas kendali dan terjatuh.
”Sudah biasa terjatuh begini. Kata pelatih, jatuh itu tandanya mau pintar,” ujarnya seusai lomba.
Tidak gagal
Meski Kayla terjatuh, Ali, sang ayah, tidak melihatnya sebagai sebuah kegagalan. Justru ia menilai, anaknya berhasil menerapkan filosofi olahraga berkuda. Kayla tetap punya optimisme untuk bangkit menjadi lebih baik, meski sebelumnya terjatuh.
Sejak awal menerjunkan kedua putrinya ke olahraga berkuda, Ali memang ingin mereka memiliki karakter berani, sportif, mandiri, dan punya inisiatif. Sebagian dari manfaat berkuda itu telah tertanam dalam kebiasaan sehari-hari kedua anaknya.
Sebelum mengenal olahraga berkuda, Ali mengaku kedua anaknya manja, kurang berani tampil, dan malas beraktivitas di luar rumah. Salah satu contoh, setiap akan melakukan aktivitas, kedua anaknya selalu minta semua keperluannya disiapkan oleh ibu atau ayah mereka.
Hal itu membuat Ali berpikir untuk mengubah sifat buruk kedua anaknya itu, sebelum sifat itu menjadi kebiasaan yang tertanam. Ia pun mengenalkan kedua putrinya pada olahraga berkuda.
”Dari literatur yang saya baca dan saya dapat dari teman, olahraga berkuda bisa menumbuhkan sejumlah sifat positif, antara lain berani, sportif, mandiri, dan penuh inisiatif,” kata Ali yang memiliki usaha sendiri di bidang teknologi informasi.
Di dekat rumah Ali di kawasan Pulomas, Jakarta Timur, ada arena berkuda. Kayla dan Alysa ternyata juga tertarik belajar berkuda. Kayla telah mulai belajar berkuda sejak usia 8 tahun. Adapun Alysa mulai belajar berkuda sekitar setahun terakhir.
Setelah beberapa lama belajar berkuda, menurut Ali, karakter Kayla ataupun Alysa menjadi lebih baik. Setidaknya mereka menjadi lebih mandiri. ”Mereka tak lagi manja minta disiapkan semua keperluan ketika akan melakukan aktivitas, seperti saat hendak berangkat sekolah. Mereka pun punya inisiatif sendiri ketika mengerjakan sesuatu, seperti mencari sendiri bahan-bahan tugasnya,” kata Ali.
Alat terapi
Manfaat olahraga berkuda itu juga diakui dan dirasakan warga Jakarta lain, salah satunya Fridayanti (52). Bahkan, bagi perempuan yang berprofesi sebagai dokter gigi itu, olahraga berkuda menjadi sarana terapi anak tunggalnya, Rona Irfana Aufi (14).
Rona merupakan anak yang sulit berinteraksi sosial. Hal itu membuat anak tersebut sering murung dan sakit di sekolah. Bahkan, kondisi itu membuat Fridayanti mengeluarkan Rona dari sekolah formal dan memberikan program homeschooling.
Namun, program itu tidak menjawab sepenuhnya masalah yang dihadapi Rona. Lewat pencarian informasi di internet dan bertanya dengan rekan-rekannya, Fridayanti diusulkan mengarahkan anaknya belajar berkuda.
Gayung bersambut, kebetulan Rona suka dengan hewan. Dalam beberapa kali kesempatan naik delman saat berwisata, ia antusias dengan kuda. Bahkan, saat pertama kali ikut latihan berkuda tiga tahun lalu, Rona pun cepat beradaptasi. ”Dia cepat, loh, belajarnya. Langsung datang, tak lama kemudian bisa,” kata Fridayanti berbangga.
Setelah beberapa bulan belajar, perubahan sikap Rona ke arah lebih baik pun mulai terasa. Paling tidak, Rona yang tadinya susah bergaul, sekarang punya banyak teman.
Menurut Fridayanti, anaknya memang punya sifat ingin melakukan yang terbaik untuk dirinya. Ia tak gampang puas sehingga selalu ingin mencoba lagi yang lebih baik setelah gagal. ”Hal itu tak dia dapatkan ketika berada di sekolah formal dan sangat tersalurkan di arena berkuda,” ujarnya.
Saat ditemui, Rona memang tampak ceria. Ia tak sungkan melempar senyum dan menyapa orang yang menegurnya. Tak terlihat jejak anak itu dulu sulit berinteraksi sosial.
Rona menuturkan, ia memang suka kuda sejak kecil. Waktu sekolah dasar, ia sudah minta belajar berkuda, tetapi belum diizinkan orangtuanya. Ketika kelas I SMP, ia baru mendapatkan kesempatan tersebut.
”Berkuda itu asyik karena kuda itu hewan yang bersahabat. Kami pun harus saling peduli seperti orang pacaran,” ujar bocah berkacamata itu sambil tersenyum.
Pelatih kepala sekaligus General Manager Anantya Riding Club Rahmat Natsir mengutarakan, olahraga berkuda terbagi dalam dua jenis, yaitu pacuan kuda dan ketangkasan berkuda (equestrian). Ada tiga kategori ketangkasan berkuda, yakni tunggang serasi (dressage), lompat rintangan (jumping), dan trilomba (eventing).
Awalnya, berkuda merupakan olahraga para bangsawan, terutama di Eropa. Ketika itu, olahraga tersebut lebih banyak sebagai sarana rekreasi. Belakangan, berkuda menjadi olahraga prestasi, bahkan dipertandingkan di Olimpiade.
Namun, setelah diketahui banyak manfaatnya, berkuda berkembang menjadi sarana terapi, terutama untuk anak-anak berkebutuhan khusus, seperti autisme dan hiperaktif. Hal ini memungkinkan karena ada interaksi antara manusia dan hewan. Adapun berkuda merupakan satu-satunya olahraga yang dilakukan oleh manusia dan hewan.
”Berkuda merupakan olahraga dua jiwa. Sebab, perlu ada kontak batin antara manusia dan kuda bersangkutan agar olahraga ini bisa berjalan,” katanya.
Interaksi itu bisa melatih saraf sensorik dan motorik penunggangnya. Sejak awal berkuda, penunggang kuda harus melatih mental lebih berani dan fokus agar bisa naik, menjaga keseimbangan, dan mengendalikan kuda. Penunggang juga bisa melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Mereka pun bisa mengasah kemandirian karena setiap atlet berkuda wajib memasang sendiri perlengkapan dirinya ataupun kudanya.
Menurut Rahmat, terapi bisa dilakukan bagi pasien mulai usia 6 tahun. Efeknya bisa dirasakan paling tidak setelah 10 kali interaksi. Hal itu sangat tergantung pada emosi pasien dan cara instruktur mendampingi pasien.