Mampukah Mou Menangkal ”Fergie Time” Milik Pep?
Stadion Camp Nou, Barcelona, Rabu, 26 Mei 1999. Manchester United tertinggal 0-1 dalam final Liga Champions menghadapi raksasa Jerman, Bayern Muenchen. Jarum jam berputar serasa sangat kencang bagi pasukan Sir Alex Ferguson yang membombardir pertahanan Bayern dalam 10 menit terakhir untuk mengejar defisit gol.
Menjelang 90 menit waktu normal terlewati, pengawas pertandingan (fourth official) menunjukkan tanda 3 menit waktu tambahan (added time) dan MU mendapatkan tendangan sudut. Kiper Peter Schmeichel berlari 70 meter ke kotak penalti Bayern. Komentator pertandingan siaran langsung televisi dengan bibir bergetar seolah berdoa, ”Mampukah United mencetak gol? Mereka selalu mencetak gol…. Mereka selalu mencetak gol…!” ujarnya dengan nada penuh harap.
David Beckham yang mengeksekusi tendangan sudut melayangkan bola melewati kepala Schmeichel dan jatuh di kaki Dwight Yorke yang coba mengembalikan bola ke kerumunan di depan kiper Oliver Kahn. Thorsten Fink yang masuk menggantikan Lothar Matthaeus menyapu bola dengan lemah dan jatuh ke kaki Ryan Giggs yang menunggu setengah meter di luar kotak penalti. Giggs menembak lemah dengan kaki kanannya, tetapi bola mengarah kepada Teddy Sheringham yang kemudian melesakkan bola ke gawang Kahn, 1-1, dan waktu menunjukkan 90 menit lewat 36 detik.
Kurang dari 30 detik kemudian, MU kembali mendapatkan tendangan sudut setelah bek Bayern, Samuel Kuffour, gagal menyapu bola di garis belakang. Kembali Beckham mengambil ancang-ancang, tetapi kali ini, atas perintah Alex Ferguson, Schmeichel tidak berlari ke kotak penalti Bayern. Dia siaga di depan gawangnya sendiri.
Bola sepakan Beckham melayang ke kepala Sheringham yang menunggu di tiang dekat dan menyundul tipis membuat bola melayang di depan gawang Kahn. Ole Gunnar Solskjaer yang berada di dekat tiang jauh menjulurkan kaki kanannya untuk mengirim bola ke atap gawang Kahn, 2-1. Satu menit kemudian United menjadi juara Eropa!
Final Liga Champions adalah satu contoh fenomenal dari ”Fergie Time”, istilah yang kembali didengungkan oleh Pelatih Manchester City Pep Guardiola selepas kemenangan dramatik atas West Ham United, Minggu (3/12), di Stadion Etihad dalam laga Liga Inggris.
”Jika kami bisa mengambil sesuatu tentang ’Fergie Time’, kami terbuka dan senang,” ujar Guardiola seperti dikutip The Guardian. ”Saya pernah mendengar tentang ’Fergie Time’, tetapi saya tidak berada di sini pada periode itu. Apa yang kami perlihatkan dalam beberapa laga terakhir adalah sama, kami tidak pernah menyerah,” kata Guardiola yang fenomenal saat menangani Barcelona (2008-2012).
Setelah kemenangan dramatis atas Huddersfield dan Southampton lewat perjuangan keras hingga menit terakhir dan menang lewat gol detik-detik terakhir Raheem Sterling, City kembali merebut kemenangan penuh drama atas West Ham. Kali ini yang menjadi pahlawan adalah David Silva yang mencetak gol kemenangan tujuh menit sebelum peluit akhir.
Kami akan bertarung demi tim sampai peluit akhir.
”Fergie Time” yang disebut Guardiola mengacu kepada fenomena brilian United saat ditangani Sir Alex Ferguson (1986-2013), di antaranya dengan merebut 13 gelar Liga Inggris dan dua gelar Liga Champions. Dalam penuturannya kepada BBC, mantan pemain United, Phill Neville, mengatakan, kemampuan Manchester United—pada era Ferguson—untuk mempertahankan gairah untuk menang sampai akhir laga dan mencetak gol kemenangan pada menit-menit akhir merupakan faktor terpenting dari kesuksesan United dalam dua dekade terakhir.
Faktor ini lebih penting dari sepak bola menyerang yang merupakan ciri khas Fergie—panggilan akrab Ferguson. ”Saya memenangi enam Liga Primer bersama United pada kurun waktu 1996 hingga 2003,” ujar Neville.
Menurut Neville, satu hal yang paling diingat dari masanya di Old Trafford adalah filosofi Fergie untuk membuat timnya tidak pernah menyerah. ”Kami akan bertarung demi tim sampai peluit akhir,” ujar Neville yang kemudian hijrah ke Goodison Park membela Everton.
”Fergie Time” di City
Menurut Neville, tanda-tanda fenomena ”Fergie Time” kini muncul pada Manchester City di bawah kendali Guardiola yang menjalani musim kedua di Etihad. ”Itu bukan semata-mata mereka mampu memenangi tiga laga lewat gol di pengujung laga,” ujar Neville.
”Mereka juga memperlihatkan spirit tim dan kebersamaan, seperti yang selalu kami tunjukkan dahulu,” ujar Neville sembari menambahkan selain memperpanjang rekor kemenangan musim ini, para pemain City juga memperlihatkan karakter ”pantang menyerah” dan kebersamaan lebih dari yang pernah dilihat sejak Guardiola memegang kendali.
Selepas kemenangan melawan West Ham, City memang memperpanjang rekor kemenangan menjadi 13 kali beruntun, sama dengan yang dicapai Chelsea musim lalu (2016-2017). Jika mampu mengalahkan tetangganya yang senyap itu pada derbi hari Minggu mendatang, City akan menyamai pencapaian sensasional Arsenal, 14 kemenangan beruntun pada 2002, sebuah rekor yang belum bisa disamai oleh siapa pun pada era Premiership.
Pasukan Guardiola yang sejauh ini baru kehilangan dua poin hasil imbang melawan Everton juga hampir mencapai setengah jumlah kemenangan terbanyak satu musim, 30, yang dicapai Chelsea musim lalu. Tanpa kalah dari 15 laga (nilai 43, gol 46), Vincent Kompany dan kawan-kawan tengah memburu rekor poin yang dicapai Chelsea pada 2004-2005 yang mengakhiri kompetisi dengan nilai 95, serta rekor gol, juga oleh Chelsea (2009-2010) yang mencapai 103.
Lubang kelemahan City justru terlihat pada laga Premiership menghadapi Huddersfield, West Ham, dan Southampton, yakni mengantisipasi set pieces, terutama dari tendangan sudut.
Jika menang di Old Trafford, City akan mencapai nilai 46 dari 16 laga, nilai yang musim lalu bertengger di posisi kedelapan klasemen akhir yang diperoleh Southampton dengan jumlah yang gol yang lebih superior dibandingkan dengan ”The Saint”.
Manchester City tentu saja bukan tanpa kelemahan. Untuk pertama kalinya dalam 227 hari, mereka kalah saat menghadapi Shakhtar Donetsk (Ukraina) di ajang Liga Champions, Rabu lalu. Meski lolos ke babak 16 besar, City gagal menjadi tim Inggris pertama yang memenangi seluruh laga fase grup Liga Champions.
Namun, kekalahan itu tidak memberi gambaran utuh mengenai kondisi City sebenarnya yang menurut Guardiola, kehilangan playmaker David Silva akibat cedera. Pasukan ”Biru Langit” bertanding tanpa tujuh pemain utamanya serta menurunkan sejumlah pemain muda, bahkan debutan.
Lubang kelemahan City justru terlihat pada laga Premiership menghadapi Huddersfield, West Ham, dan Southampton, yakni mengantisipasi set pieces, terutama dari tendangan sudut. The Saint Southampton juga membobol gawang City dari awalan tendangan sudut. Meski begitu, ketiga tim tersebut tetap tak mampu berbuat banyak dalam pertarungan di lapangan tengah.
Tiga tim semenjana tersebut dipaksa City untuk bertahan sangat dalam, bahkan bergerombol di depan gawang, istilah populernya ”parkir bus” dan sesekali melakukan serangan balik langsung lewat umpan-umpan panjang ke pemain target di depan. Selepas kemenangan dramatik melawan West Ham, Guardiola mengatakan lawannya memang tidak berniat main bola dan hanya berupaya tidak kebobolan sembari terus menumpuk 10 pemainnya di kotak penalti.
Pendapat Guardiola ini agak berlebihan sebab faktanya City juga kerepotan dengan beberapa serangan balik pasukan David Moyes yang bahkan nyaris menyamakan kedudukan di menit akhir.
Terlepas dari kemenangan menit-menit akhir berkat upaya tak kenal lelah para pemainnya, Guardiola juga mengakui mendapat banyak pelajaran dari tim-tim yang bertahan sangat rapat. ”Kami sekarang paham bagaimana membongkar pertahanan paling rapat sekalipun,” ujar mantan pelatih Barcelona dan Bayern Muenchen tersebut.
”Melawan West Ham, saya harus memasukkan Gabriel Jesus sehingga kami memainkan dua striker. Hal yang jarang saya lakukan,” kata Guardiola yang paham benar hari Minggu mendatang dia akan datang ke Old Trafford dengan kemungkinan juga menghadapi pertahanan ekstra rapat pasukan Mourinho.
Namun, tidak seperti West Ham atau Southampton yang praktis tidak punya pemain kelas bintang, pasukan ”Setan Merah” Mourinho bertabur bintang dan ”bintang” yang sama sekali berbeda dengan West Ham atau Southampton. Terlebih lagi, di Old Trafford, MU belum terkalahkan sejauh ini dan rekornya di semua kompetisi merentang 39 laga tanpa kalah.
Meski reputasinya gemilang di Old Trafford, pasukan Mourinho kerap dikritik loyo dan tidak efektif menghadapi tim ”enam besar”. Kecaman ini ditepis Mourinho dengan kemenangan sensasional 3-1 atas Arsenal di Emirates dua pekan lalu.
Dominasi penguasaan bola
Kemenangan Mourinho atas pasukan Arsene Wenger inilah yang patut diwaspadai ekstra oleh Guardiola yang sebagaimana Wenger punya inklinasi mendominasi penguasaan bola (ball possession) atas lawan-lawannya. Di Emirates, Arsenal mendominasi 76 persen penguasaan bola, berbanding 24 persen United. Namun, United melesakkan tiga gol dari delapan shots (empat on target dan empat off target), sementara Arsenal hanya membuat satu gol dari 33 shots (15 on target, 18 off target).
Statistik pertahanan United begitu gemilang berkat kinerja cantik kiper David de Gea yang membuat 14 penyelamatan (saves), termasuk penyelamatan ganda tembakan Alexis Sanchez dan Alexandre Lacazette. Kiper asal Spanyol itu menyamai rekor Tim Krull (Newcastle United, 2013) dan Vitto Mannone (Sunderland, 2014).
Jika De Gea kembali tampil brilian, Guardiola harus berpikir ekstra keras untuk menjebol gawang United sembari ekstra waspada terhadap serangan balik cepat terutama lewat pemain seperti Antony Martial dan Jesse Lingard.
Saat mengalahkan Watford dan Arsenal, Paul Pogba menjadi jembatan utama yang menghubungkan sektor pertahanan United dengan Lingard dan Martial saat mereka merebut bola dari penguasaan lawan. Sayangnya, Pogba harus absen di derbi Manchester mendatang akibat hukuman kartu merah yang didapatkan pemain Perancis itu saat jumpa ”The Gunners”.
Tanpa Pogba, Mourinho kemungkinan besar akan menempatkan Ander Herrera atau Marouane Fellaini yang berdampingan dengan Nemanja Matic sebagai duet gelandang poros di depan barisan pertahanan.
Namun, kualitas Hererra ataupun Fellaini masih jauh dari Pogba dalam hal penghubung langsung ke sektor depan. Cara paling masuk akal adalah memanfaatkan kemampuan duel udara striker Romelu Lukaku untuk memenangi duel bola atas dan memberi ruang kepada Lingard atau Martial.
Saat Angelo Ogbonna menjebol gawang City di Etihad hari Minggu lalu, itulah untuk pertama kalinya musim ini pasukan Guardiola kebobolan lewat sundulan. Dengan memanfaatkan postur kokoh milik Lukaku atau postur tinggi Fellaini, kemungkinan besar United akan memenangi duel-duel udara di sepertiga akhir pertahanan City dan bisa menjadi penentu hasil akhir laga.
Jika kapten Vincent Kompany absen atau tidak fit, peluang besar bagi Lukaku dan Fellaini untuk menjadi jalan masuk membongkar pertahanan City. Namun, jika Kompany main, Mourinho harus menyiapkan ”plan B” untuk mengancam wilayah pertahanan City.
Sane-Sterling-De Bruyne
Namun, sebelum episode ini terjadi, tugas utama pasukan Mourinho adalah bagaimana membuat mejan badai serangan barisan pemukul City yang sangat tinggi kemampuan teknisnya serta punya akurasi umpan akurat di atas 80 persen. Pemain-pemain seperti Kevin De Bruyne, David Silva, Raheem Sterling, dan Leroy Sane adalah tipikal gelandang serang yang membuat sesak napas barisan pertahanan lawan. Mereka selalu mendominasi lapangan tengah dengan teknik tinggi yang kadang membuat lawan berdecak kagum.
Musim ini, khususnya penampilan dua penyerang sayap City, Sterling dan Sane, sangat mumpuni. Mereka menyentuh bola di wilayah pertahanan lawan jauh lebih banyak daripada pemain sayap mana pun di Premiership.
BBC mengungkapkan, Sterling menyentuh bola 112 kali dalam 938 menit musim ini, sementara Sane 94 sentuhan dalam 944 menit. Rata-rata Sterling menyetuh bola tiap 10,04 menit, lebih bagus dibandingkan Wilfried Saha (Crystal Palace) yang 11,23 menit, Richarlison (Watford) yang 11,33 menit, atau bahkan rekan setimnya Sergio Aguero yang 11,55 menit.
Sterling juga efektif bermain sebagai pemain sayap murni yang berlari sejauh 70 meter dari wilayah sendiri menyisir garis pinggir untuk memberikan tekanan kepada bek sayap kiri lawan yang juga agresif. Sesaat setelah City mengalahkan Chelsea 1-0 di Stamford Bridge, Oktober lalu, Guardiola secara khusus memerintahkan Sterling untuk mendominasi garis pinggir dan memaksa bek kiri Chelsea, Marcos Alonso, bermain disiplin, jauh di dalam wilayah permainan ”The Blues”. Situasi ini membuat De Bruyne mempunyai lebih banyak ruang di wilayah kiri pertahanan Chelsea.
Meski menyusur garis pinggir, Sterling juga cekatan melakukan pergerakan diagonal masuk kotak penalti lawan atau masuk ke poros dan jarak tembak di mana rekannya paham benar posisi dia berada. Itulah sebabnya dia mempunyai jumlah sentuhan di bidang permainan lawan lebih banyak dari pemain mana pun di Premiership.
Mantan pemain Liverpool ini juga lebih banyak melakukan tembakan (shot) meski lebih sedikit melakukan umpan silang. Itu pula yang membuat dia telah membukukan 13 gol di semua kompetisi dengan 9 gol di antaranya di Liga Inggris.
Apa yang dilakukan pemain-pemain West Ham terhadap barisan pemukul City mirip dengan apa yang dilakukan barisan pertahanan United saat membuat patah arang pemain-pemain Arsenal. Jika United mampu membuat De Bruyne cs patah arang, di sanalah celah paling besar bagi United untuk balik menekan pertahanan City yang punya sifat alami pertahanan rentan jika badai serangan mereka mejan.
Banyak tim tak mampu menahan gempuran City, tetapi tiga laga terakhir City yang selalu kebobolan memperlihatkan lini belakang pasukan Guardiola tidaklah sesolid yang dibayangkan meski mereka punya rekor pertahanan nomor dua terbaik di Liga Primer.
Persoalan terbesar bagi United, dan ini akan menjadi tantangan paling sulit bagi Mourinho, adalah bukan hanya bagaimana mereka mencegah City mencetak gol, melainkan juga bagaimana mereka bertahan terhadap serangan bergelombang tanpa henti pasukan Guardiola.
Fenomena ”Fergie Time” yang kini dinikmati oleh City barangkali bisa dipatahkan jika De Gea kembali tampil fenomenal seperti saat menghadapi Arsenal. Namun, penampilan brilian seperti itu kemungkinan besar juga tak datang setiap saat.
Tantangan terbesar dari sang ”tetangga yang berisik ini” bukan hanya pada laga hari Minggu mendatang di Old Trafford, melainkan juga pada musim-musim yang akan datang.