JAKARTA, KOMPAS — Atlet sepak bola kategori anak-anak, usia 7 tahun sampai 13 tahun, tidak boleh dipaksa mengejar prestasi. Pemaksaan akan membuat perkembangan kemampuan mereka tidak berlanjut. Dampaknya adalah mereka jenuh saat memasuki usia remaja.
Pelatih U-11 ASIOP Apacinti Aulia Siregar dalam konferensi pers menjelang keberangkatan Danamon Kids Mascot untuk laga Manchester United melawan Burnley, di Jakarta, Rabu (20/12), mengatakan, usia anak-anak merupakan masa bersenang-senang dalam mengenal suatu bidang, termasuk sepak bola. Atas dasar itu, sepatutnya atlet sepak bola anak-anak mendapat program latihan yang menyenangkan.
Latihan yang menyenangkan itu adalah latihan yang tidak membebani fisik mereka. Contohnya, latihan lebih ditekankan pada hal-hal dasar sepak bola, yakni membawa, menahan, dan menendang bola.
Dalam bertanding, mereka pun tidak boleh dituntut menang, apalagi mengejar prestasi. ”Latihan seperti itu membuat anak-anak nyaman berlatih. Mereka pun akan mudah memahami dasar-dasar sepak bola dan menggemarinya,” ujar Aulia.
Namun, Aulia menuturkan, banyak sekolah sepak bola (SSB) di Indonesia justru tidak menjalankan pola itu. Sejak usia anak-anak, para atlet itu diberi latihan keras, seperti menyundul dan meningkatkan stamina.
Bahkan, tak sedikit SSB menuntut anak-anak juara di setiap kejuaraan. ”Latihan yang tidak sesuai kategori usianya akan membuat anak-anak stres. Akibatnya, ketika remaja, mereka justru jenuh dan tidak berkembang lagi,” ucapnya.
Menurut Aulia, pola seperti itu terjadi dan mengakar karena belum ada kurikulum pelatihan seragam bagi SSB di Indonesia. ”Tak jarang pula manajemen suatu SSB menuntut pelatih agar atlet anak-anak berprestasi. Tujuannya supaya nama baik SSB itu tak tercoreng. Ini juga dilema,” kata Aulia tegas.
Pengamat olahraga Djoko Pekik Irianto mengutarakan, setiap atlet harus melalui metode latihan bertahap sesuai jenjang usianya. Misalnya, latihan dasar untuk atlet usia 6-14 tahun dan latihan spesialisasi untuk atlet usia 14 tahun ke atas.
Pola itu memungkinkan atlet mendapatkan level top secara berkelanjutan. Dengan begitu, diharapkan pada usia 18 tahun, mereka sudah matang. ”Apabila tidak mendapatkan latihan bertahap, fisik mereka tidak bisa beradaptasi sehingga risiko cedera tinggi. Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan pada usia matang, mereka justru berhenti berprestasi,” katanya.
Memberi pengalaman
Bank Danamon dan mitranya, Manchester United, sadar akan hal itu. Mereka pun membuat program yang bertujuan untuk meningkatkan kegemaran dan pengalaman anak-anak pada sepak bola.
Setidaknya Bank Danamon dan Manchester United menyelenggarakan Danamon Kids Mascot perdana untuk tahun ini. Melalui kegiatan itu, empat anak nasabah Danamon berusia 7-12 tahun akan menjadi kids mascot Manchester United ketika bertemu Burnley di Old Trafford, Manchester, Selasa (26/12). Empat anak itu ialah Tristan Lontoh (9), Roger Fernando Loe (10), Ryan Farell Susanto (11), dan Rifky Tofani (11).
”Kami ingin memberi pengalaman untuk anak-anak nasabah bagaimana atmosfer laga sepak bola kelas dunia. Semoga itu bisa menginspirasi mereka menjadi atlet sepak bola. Apalagi, semua kids mascot terpilih memang menggemari dan menjadi murid di SSB,” tutur Kepala Komunikasi Perusahaan Bank Danamon Atria Rai. (DRI)