Dunia olahraga Indonesia berutang banyak kepada Sumohadi Marsis. Melalui tulisan-tulisannya, Sumo, sapaan akrabnya, konsisten memberikan kritik yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pengambilan kebijakan olahraga. Salah satunya mengenai penyelenggaraan Asian Games Jakarta-Palembang 2018.
Sumo yang lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, 8 Juli 1944, tutup usia pada Minggu (24/12) pukul 05.55. Sumo dimakamkan di Tempat Permakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Sebelumnya, wartawan senior itu dirawat inap sekitar sebulan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta, karena penyakit jantung.
Sosok yang ramah itu mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk mengembangkan dunia olahraga. Selama lebih dari 30 tahun, ia menjalankan profesi sebagai wartawan di bidang olahraga mulai di harian Kompas hingga menjadi pendiri dan pemimpin redaksi tabloid Bola (1984-2004).
Menurut Ignatius Sunito, sesama pendiri tabloid Bola, Sumo adalah sosok wartawan yang independen. Hal itu membuatnya tidak gentar untuk melancarkan kritik. ”Dia punya analisis yang tajam. Kalau dia mengkritik, pasti ’nyelekit’ dan orang yang dituju langsung merasa tersinggung,” ujarnya.
Tulisan bernada kritik yang dibuat oleh Sumo berpengaruh terhadap pengambilan keputusan di dunia olahraga nasional. ”Tulisannya betul-betul memberikan inspirasi bagi para pembina olahraga untuk memajukan olahraga dengan benar. Beliau juga memberikan sumbangsih pemikiran yang positif,” ujar mantan Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar.
Dedikasi Sumo pada dunia olahraga tak pernah surut meskipun tubuhnya tak berdaya. Dalam kondisi sakit keras, Sumo selalu ingin memperbarui pengetahuannya mengenai situasi olahraga kekinian. ”Saat menemani Sumo di rumah sakit, saya selalu membawa koran dan membacakannya untuk suami,” ujar Lisa Anggraeni, istri Sumo.
Selain itu, kata Lisa, suaminya tidak pernah berhenti menuliskan pandangannya ihwal olahraga. Jiwa wartawannya terus menggelora meskipun sudah pensiun sebagai karyawan kantor. Salah satu yang menjadi perhatian Sumo adalah persiapan Asian Games 2018.
Pada 2012, ketika Indonesia tengah mengikuti sidang perebutan tuan rumah Asian Games 2018, Sumo mengajak publik untuk memikirkan kembali urgensi menjadi penyelenggara pesta olahraga multicabang se-Asia itu. Menurut dia, Indonesia bersikap kurang bijak dengan mengajukan Surabaya sebagai kota penyelenggara. Terlalu banyak infrastruktur yang harus dibangun di Surabaya dibandingkan dengan Palembang dan Jakarta yang berpengalaman menjadi tuan rumah SEA Games 2011 (Kompas, 11/10/2012).
Surabaya pun kalah bersaing dari Hanoi, Vietnam, yang didaulat Dewan Olimpiade Asia (OCA) untuk menjadi tuan rumah. Namun, dua tahun berikutnya, Vietnam mengajukan pengunduran diri lantaran tak sanggup menyediakan anggaran dana sebesar 150 juta dollar AS (Rp 1,7 triliun) untuk menjadi tuan rumah Asian Games.
Setelah melakukan kunjungan ke beberapa kota di Asia calon pengganti Hanoi, pilihan OCA jatuh kepada Jakarta dan Palembang. Persis seperti apa yang disarankan Sumo.
Sepanjang semester kedua 2014, Sumo menulis tiga artikel yang mempertanyakan apakah Indonesia mampu mengulang sejarah menempati posisi kedua perolehan medali sebagaimana terjadi saat menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Terlebih, pembinaan atlet dalam kerangka sistem yang tepat secara jangka panjang tidak pernah dilakukan Indonesia secara optimal (Kompas, 8/10/2014).
Kini, Sumo sang kritikus olahraga telah berpulang. Namun, buah pikirannya dalam tulisan-tulisan berbobot akan tetap abadi. (DD01/DD18)