Tahun 2017 menjadi tonggak bersejarah dalam perkembangan olahraga kendaraan bermotor atau motorsport di Indonesia. Pada tahun itu, untuk pertama kalinya Indonesia menggelar ajang motokros dunia atau dikenal dengan MXGP di Pangkal Pinang. MXGP itu menjadi kabar gembira setelah setahun sebelumnya publik Indonesia diramaikan dengan kabar tentang memboyong seri MotoGP ke Indonesia.
MXGP, yang sekelas dengan MotoGP tetapi berbeda jenis motor, langsung disambut antusias oleh publik pencinta olahraga kendaraan bermotor di Indonesia. Kota Pangkal Pinang, yang sehari-harinya relatif lengang, langsung berubah menjadi ramai. Para kroser dunia pun mulai mengenal Indonesia, yang sebelumnya sama sekali belum dikenal oleh sebagian pebalap tersebut.
MXGP 2017 itu tidak hanya membawa para kroser dunia, putra dan putri, untuk membalap di Indonesia, tetapi juga memberikan kesempatan kepada para pebalap Indonesia untuk merasakan persaingan di kelas MX2. Kelas itu di bawah MX1 atau lebih populer disebut MXGP. Sebanyak 11 pebalap Indonesia yang merupakan para juara motokros di Indonesia mendapatkan kesempatan beradu keterampilan dengan para pebalap dunia. Hasilnya memang sudah bisa diduga, para pebalap kita masih kalah kelas dari para pebalap dunia.
Meski demikian MXGP 2017 itu merupakan fase pemelajaran awal yang penting bagi para pebalap motokros Indonesia sehingga pada MXGP 2018 mereka bisa lebih kompetitif. Tahun depan, dua seri MXGP sudah dipastikan akan digelar di Indonesia, yaitu di Pangkal Pinang (1 Juli) dan Semarang (8 Juli).
Iklim kompetisi
Upaya insan motorsport Indonesia untuk mencetak pebalap kelas dunia terus dilakukan tanpa henti sepanjang 2017. Peran pabrikan sepeda motor di Indonesia sangat penting dalam membina para pebalap nasional, demikian juga sponsor seperti Pertamina yang membiayai beberapa pebalap Indonesia yang tengah berjuang menembus ajang MotoGP.
Akan tetapi, upaya mencetak pebalap kelas dunia itu memang tidak mudah karena iklim kompetisi di dalam negeri yang masih angin-anginan dan kurangnya sirkuit balapan.
Manajer Astra Honda Racing Team Anggono Iriawan menyampaikan, para pebalap Asia, termasuk Indonesia, tidak mudah untuk bisa mengimbangi para pebalap Eropa. ”Di Italia dan Spanyol, iklim membalap itu sudah ditumbuhkan sejak usia di bawah 10 tahun. Jadi, pada usia 17 tahun itu mereka sudah benar-benar menjadi pebalap profesional. Sementara di kita, di tim kami, misalnya, para pebalap lebih matang begitu memasuki usia 20 tahun. Para pebalap kita juga tidak terbiasa berkompetisi seperti para pebalap Eropa, karena itu butuh waktu beradaptasi cukup lama,” ujarnya.
Pendapat serupa juga disampaikan juara dunia MotoGP 2017, Marc Marquez, saat berkunjung ke Indonesia. ”Saya melihat para pebalap dari Asia sangat berbakat. Hanya mereka tidak terbiasa berada dalam kompetisi yang ketat seperti di Eropa. Akan tetapi, kalau mereka sabar dan terus membalap di Eropa, mereka pasti akan bisa berprestasi juga,” ujar pebalap Repsol Honda itu.
Hal itulah yang membuat para pebalap Indonesia yang mengikuti kompetisi di Eropa, antara lain Dimas Ekky, Andi Gilang, Galang Hendra, dan Ali Adriansyah, belum bisa berbicara banyak pada kompetisi yang mereka ikuti.
Di tengah kekosongan prestasi internasional itu, hasil yang ditorehkan Gerry Salim dari AHRT sebagai juara pada kejuaraan Asia Road Racing Championship (ARRC) 2017 pada kelas Asia Production (AP) 250 patut disambut gembira.