Jangan Panggil Sophie Kamlish ”Blade Babe”
Oleh
·2 menit baca
Perempuan identik dengan citra manis, cantik. Citra itu semakin kuat jika memiliki kekuatan untuk menaklukkan dunia. Perpaduan itu kerap menarik perhatian publik yang kemudian memberikan julukan khusus kepada para perempuan ”perkasa” itu.
Hal itu tidak luput di dunia atletik paralimpiade. Salah satunya, julukan ”Blade Babe” untuk pelari perempuan paralimpiade, Sophie Kamlish. Atlet 21 tahun asal Inggris itu merupakan peraih medali emas lari nomor 100 meter klasifikasi T44 pada Kejuaraan Dunia Paralimpiade London, Juli 2017. Pada saat yang sama, ia juga mencetak rekor dunia mengalahkan pelari Belanda, Marlou van Rhin (25).
T44 adalah klasifikasi untuk atlet dengan satu amputasi di bawah lutut. Kamlish menggunakan bilah kaki palsu setelah amputasi kaki kanan bagian bawah pada usia tujuh tahun.
Namun, Kamlish justru risih dengan julukan Blade Babe yang dimaksudkan untuk menyanjung prestasi dan perjuangannya melampaui keterbatasan itu. Sebelumnya julukan Blade Babe disematkan pada Rhin.
”Julukan itu merendahkan karena mengacu pada kaki fiber karbon yang saya kenakan untuk lomba,” kata Kamlish kepada BBC Sport, Kamis (28/12).
Kamlish tidak menilai julukan itu pelecehan, tetapi dia merasa sangat tidak nyaman dengan julukan itu yang juga bias jender. ”Pelari paralimpiade peraih dua emas di kejuaraan dunia, Jonnie Peacock, dan pelari pria lainnya nyatanya tidak pernah dijuluki seperti itu,” ujarnya.
Kejuaraan Dunia Paralimpiade London merupakan debut Kamlish meraih gelar dunia. Sebelumnya pelari berkacamata ini gagal meraih emas di Paralimpiade Rio 2016. Kini, Kamlish bersiap melebarkan sayap dengan mengikuti berbagai kejuaraan besar pada 2018.
Kamlish bukan hanya pelari. Ia juga seniman yang menyelesaikan studi di Sekolah Seni Kingston. Ketertarikan pada dunia seni dan olahraga menjadikan Kamlish pribadi yang tangguh. ”Disabilitas itu bukan hal buruk atau perlu disembuhkan. Disabilitas adalah salah satu bagian yang keren dari kehidupan dunia dan saya harap perubahan (pandangan) itu terjadi di sekolahan. Para guru juga perlu diedukasi dengan hal tersebut,” ujarnya. (IND)