Dengan Cinta Mengabdi Negara
Musim panas 1988. George Manneh Weah adalah pendatang baru di klub Monako, Perancis. Tak banyak yang tahu tentang striker jangkung yang baru datang dari klub Tonnerre (Kamerun) itu. Hanya pelatih Monako saat itu, Arsene Wenger, yang punya pengelihatan lebih bahwa pria yang besar di wilayah miskin Monrovia ini kelak akan menjadi salah satu pemain terbaik di dunia.
”Pada suatu hari saya cukup lelah setelah berlatih dan saya mengatakan kepada Arsene (Wenger) bahwa saya sakit kepala agar bisa absen sesi latihan,” ujar Weah. Dan dia mengatakan kepada saya, ”George, saya tahu latihan itu berat, tapi kamu perlu bekerja keras. Saya percaya, dengan bakatmu yang luar biasa, kamu akan menjadi pemain terbaik di dunia.”
”Jadi saya meneruskan latihan,” kata Weah. ”Di samping kehendak Tuhan, saya pikir, tanpa Arsene, saya tak akan mampu berbuat apa pun di Eropa,” ujar Weah, satu-satunya pemain bola Afrika peraih Ballon d’Or dan pada 22 Januari mendatang akan resmi dilantik menjadi Presiden Liberia.
Dalam tiga dekade terakhir, banyak mantan bintang lapangan hijau terjun ke dunia politik dan menduduki posisi penting di pemerintahan sebuah negara. Namun, Weah adalah satu-satunya mantan bintang lapangan hijau yang menduduki jabatan Presiden. Nama lain yang menduduki jabatan tinggi sebuah negara adalah Victor Orban, mantan pemain amatir FC Felcsut, Hongaria, yang menduduki jabatan perdana menteri pada 2010.
Dengan memenangi Pilpres Liberia yang diumumkan akhir Desember lalu, George Weah seolah mengulang prestasinya di lapangan hijau pada 1995 setelah terpilih sebagai pemain terbaik dunia dan meraih Ballon d’Or.
Sebelum Weah memenangi Pilpres Liberia, Kakha Kaladze, rekan sepermainan di klub ternama Italia, AC Milan, terpilih sebagai Wali Kota Tbilisi, ibu kota Georgia, setelah mengabdikan dirinya sebagai menteri energi. Di Brasil, mantan striker Tim Samba, Romario Faria, juga menjadi senator sejak 2015.
Namun, sejak Weah terpilih sebagai kepala negara, jabatan politik paling prestisius itu sebelumnya hanya diraih orang-orang kuat di klub sepak bola, seperti bos AC Milan Silvio Berlusconi dan Presiden Argentina Mauricio Macri yang mantan presiden klub Boca Juniors.
Dengan memenangi Pilpres Liberia yang diumumkan akhir Desember lalu, George Weah seolah mengulang prestasinya di lapangan hijau pada 1995 setelah terpilih sebagai pemain terbaik dunia dan meraih Ballon d’Or, sebuah prestasi puncak yang tahun lalu diraih bintang sepak bola Real Madrid dan Portugal, Cristiano Ronaldo.
Kerja keras seperti pesan Arsene Wenger pulalah yang menjadi bekal Weah ”menaklukkan” Eropa saat ”Benua Biru” tersebut berada pada puncak kebencian terhadap ras dan warna kulit lain, terutama terhadap pemain sepak bola berkulit hitam, seperti Weah yang mulai bersinar di klub-klub ternama.
”Arsene adalah orang yang menunjukkan cintanya kepada saya saat rasisme mengalami puncaknya di Eropa. Dia meminta saya berada di lapangan tiap hari untuknya,” kata Weah yang menjadi semakin termotivasi untuk menjadi yang terbaik.
Sejak hijrah dari Tonnerre pada 1988, Weah bermain untuk Monako hingga 1992 sebelum digaet klub kaya raya Paris St Germain (PSG) pada 1993 serta memenangi dua piala dan menjuarai Ligue 1 pada 1994. Klub ternama Italia AC Milan kemudian memboyong striker subur tersebut dan Weah membantu klub tersebut memenangi Liga Serie A pada 1996 dan 1999.
Lahir di Clara Town, wilayah kumuh di bagian ibu kota Monrovia pada 1 Oktober 1966, Weah tidak pernah menyangka dirinya akan menjadi pemain terbaik di dunia.
”Saat saya mulai serius bermain sepak bola, tak pernah terbayangkan bisa memenangi Ballon d’Or. Modal saya hanya passion bermain bola dan bekerja keras. Saya lebih suka berlatih daripada makan atau tidur,” ujar Weah yang sepanjang karier profesionalnya telah bermain sebanyak 411 laga dan mencetak 193 gol.
”Saat saya pindah ke Eropa, saya hanya ingin membuktikan bahwa saya tidak menyia-nyiakan hidup dan membuang waktu,” kata Weah yang bersama tim nasional Liberia tampil 60 kali dengan mencetak 22 gol.
Sempat tampil sebentar untuk klub Chelsea dan Manchester City di pengujung kariernya, Weah memenangi pilpres dengan perolehan suara yang sangat dominan, 61 persen lebih, unggul jauh atas pesaingnya, Wakil Presiden Joseph Boakai.
Tantangan berat
Tantangan sangat besar bagi presiden terpilih Weah untuk mengangkat rakyat Liberia dari kemiskinan akut dengan ekonomi yang porak poranda setelah wabah ebola yang menerjang dari 2014 hingga 2016. Weah juga dihadapkan pada situasi ekonomi-politik yang sangat sulit akibat perang saudara yang menelan puluhan ribu nyawa pada 1989-2003. Hingga kini, luka-luka perang saudara tersebut belum lagi sembuh, dan Weah harus berjuang untuk mempersatukan bangsa yang terpecah berdasarkan ras, suku, dan pandangan politik.
Korupsi juga menjadi penyakit bangsa yang harus segera disembuhkan, dan Weah menyatakan pemberantasan korupsi adalah salah satu fokus pemerintahannya. ”Mereka yang memperdayai rakyat lewat korupsi tak punya tempat lagi di negeri ini,” ujar Weah dalam pidato kemenangannnya di markas besar Partai Koalisi untuk Perubahan Demokrasi (CDC) di Monvoria, pekan lalu.
Disokong besar-besaran oleh kaum muda Liberia yang masih menganggapnya sebagai pahlawan, bahkan Mesiah, Weah juga mendapat tantangan besar mengentaskan rakyat dari kemiskinan yang mencetak sebanyak-banyaknya lapangan kerja untuk mengatasi pengangguran yang mencapai 4 persen dari angkatan kerja (2016). Liberia adalah salah satu negara termiskin di Afrika dengan peringkat Indeks Pembangunan Manusia (HDI) di peringkat ke-177 dari 188 negara anggota PBB.
Sebenarnya pada 2005, tak lama setelah menggantung sepatu, Weah mencalonkan diri sebagai presiden, tetapi kalah pada putaran akhir melawan Ellen Johnson Sirleaf yang juga peraih Hadiah Nobel pada 2011 dan ekonom lulusan Universitas Harvard. Namun, justru dengan kekalahan itu, Weah semakin bersemangat memperbaiki diri dan menekuni dunia politik dengan lebih serius.
Dia kemudian berhasil menjadi anggota senat mewakili Montserrado County pada 2014. Kekalahan melawan Sirleaf dan pengalamannya sebagai senator disebut Weah sebagai ”pengalaman belajar yang sangat berharga”.
Menjawab kritik atas kekalahannya pada 2005 yang menyebutnya tidak kompeten dalam pendidikan formal, Weah menyelesaikan diploma sekolah menengah atas pada 2006 saat usianya menginjak 40 tahun. Dengan ijazah SMA itu, Weah melanjutkan studi di Universitas DeVry, Florida, untuk meraih gelar sarjana bisnis manajemen pada 2011.
Dua tahun kemudian, dia mendapatkan gelar master bidang administrasi publik. Dengan bekal pendidikan formal itu pulalah, Weah bertarung dengan kepercayaan diri tinggi pada Pilpres 2017 dan menangkal semua kampanye negarif tentang pendidikan formalnya yang membuatnya kalah pada 2005.
”Saya meminta nasihat Nelson Mandela (bapak bangsa dan mantan Presiden Afrika Selatan) beberapa tahun lalu. Dia mengatakan, jika tugas negara memanggilnya, dia harus menjalankannya dengan benar. Saya ingat betul nasihat Mandela itu,” kata Weah mengaku memang sangat berambisi menjadi presiden karena bisa berbuat lebih banyak bagi rakyat Liberia setelah pengabdiannya kepada negara sebagai pesepak bola.
Menjadi presiden dan pesepak bola tentu hal yang sangat berbeda. Sebagai manusia, Weah sebenarnya telah menyelesaikan perjalanan hidupnya dengan kekayaan melimpah hasil bermain bola bersama klub-klub ternama Eropa. Namun, panggilan hidup untuk mengabdikan diri kepada negara membuatnya terjun ke dunia politik dan menyelesaikan pendidikan formal pada usia yang terbilang lanjut.
Dengan dukungan kaum muda di negara dengan penduduk sekitar 5 juta jiwa itu, Weah yakin akan membawa perubahan mendasar, terutama di bidang ekonomi. Tentu tidak mudah.
Liberia adalah negara dengan cakupan aliran listrik paling minimal di antara negara-negara Afrika, bahkan di ibu kota Monrovia banyak wilayah belum teraliri listrik. Setelah wabah ebola, ekonomi Liberia juga terpukul akibat rendahnya harga komoditas utama mereka, bijih besi dan karet, di pasaran dunia.
Seperti halnya passion dan cintanya kepada sepak bola, demikian pula ambisi Weah membangun Liberia dan mengangkat rakyat negeri itu dari kemiskinan. Dengan cinta.
Akibatnya, Liberia mengalami kontraksi ekonomi parah pada tahun lalu dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang belum akan pulih pada 2018 ini, menurut Dana Moneter Internasional (IMF). ”Dia (Presiden Weah) harus fokus pada dua atau tiga hal saja. Dia tak akan mampu menyelesaikan semua persoalan negeri ini,” ujar analis politik Robtel Neajai Pailey seperti dikutip Reuters, pekan lalu.
Tentu tak ada yang menganggap tantangan Presiden Weah di depan akan mudah. Bahkan, banyak pula yang meragukan kemampuannya mengelola negara. Sepupunya yang juga mantan pesepak bola profesional, James Debbah, bahkan sangat meragukan kemampuan Weah menjadi presiden.
”Saya tidak memilih dia pada 2005,” ujar Debbah yang mantan pemain Nice dan PSG. ”George telah mencapai segalanya di sepak bola. Namun, dengan menjadi presiden, orang akan menilai dia dari prestasinya mengelola negara. Sekali dia gagal, orang akan melupakan segalanya,” kata Debbah. ”Ini risiko yang sangat besar. Saya berharap dia akan berhasil,” ujar Debbah.
Weah memaklumi semua perkataan Debbah, sepupunya yang sudah lama tidak berkomunikasi itu. ”Saya tidak akan menjanjikan apa pun kepada rakyat Liberia apa yang saya tak bisa lakukan,” ujar Weah. ”Namun, saya ingin meninggalkan warisan kepada negeri ini. Jika saya gagal, rakyat berhak mendepak saya dari kantor presiden. Namun, yang pasti, saya tidak akan mengkhianati kepercayaan rakyat negeri ini,” ujar Weah.
Seperti halnya passion dan cintanya kepada sepak bola, demikian pula ambisi Weah membangun Liberia dan mengangkat rakyat negeri itu dari kemiskinan. Dengan cinta.