Kontroversi Court Mencoreng Australia Terbuka
Tenis, seperti halnya cabang olahraga lain, wajib bersih dari intervensi politik. Namun, tak hanya politik yang harus ditendang jauh-jauh dari olahraga, seperti halnya sepak bola yang gencar dengan kampanye ”Kick Politics out of Football”, tetapi juga intervensi agama dan atau kepercayaan spiritual yang pada akhirnya hanya melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi kemanusiaan.
Mengapa? Karena pada dasarnya olahraga dibangun dalam nilai-nilai keadilan tanpa diskriminasi, sesuai dengan cita-cita Bapak Olimpiade Modern, Pierre de Coubertin.
Di dalam Piagam Olimpiade (Olympic Charter), pada butir keempat Prinsip-prinsip Dasar Olimpisme tertulis: The practice of sport is a human right. Every individual must have the possibility of practising sport, without discrimination of any kind and in the Olympic spirit, which requires mutual understanding with a spirit of friendship, solidarity and fair play.
Adalah Margaret Court yang memicu perdebatan tentang isu diskriminasi dalam dunia tenis. Court, 74 tahun, adalah legenda tenis Australia yang sampai saat ini masih dinilai sebagai perempuan petenis terhebat dalam sejarah dengan 24 gelar Grand Slam.
Namanya diabadikan di salah satu lapangan di Melbourne Park, tempat tenis Grand Slam Australia Terbuka digelar. Isu tentang Court kembali mencuat setelah Billy Jean King, juga legenda di dunia tenis, menegaskan, dia tidak akan hadir di Melbourne tahun ini dan meminta otoritas Melbourne Park mengganti nama Margaret Court Arena karena sikapnya yang diskriminatif terhadap kaum LGBT (lesbian, gay, biseks, transjender).
Dikutip The Guardian pekan lalu, King yang membuat pengakuan dirinya lesbian pada usia 51 tahun merespons pernyataan Martina Navratilova (61)—juga legenda tenis yang telah mendeklarasikan diri sebagai lesbian belasan tahun lalu. Navratilova mengecam sikap diskriminatif Court terhadap kaum LGBT. Navratilova, pemegang 18 gelar Grand Slam nomor tunggal, mengatakan, dirinya tidak akan bermain di Court Arena jika masih aktif bermain, dan King menyokong sikap petenis AS kelahiran Ceko tersebut.
Pada ajang Perancis Terbuka tahun lalu, kelompok petenis Australia, mulai dari Samantha Stosur hingga Nick Kyrgios, juga menyayangkan sikap Court, idola mereka, yang terang-terangan mengecam dunia tenis putri yang dikatakannya dipenuhi petenis lesbian. Secara langsung Court juga menyerang pribadi perempuan petenis Australia, Casey Dellacqua, yang lesbian.
Sebelumnya, Court yang kini berprofesi sebagai pendeta di sebuah gereja di Perth, Australia, juga menyatakan memboikot Qantas karena presiden direktur perusahaan penerbangan tersebut menyatakan dukungannya terhadap perkawinan sesama jenis.
Ashleigh Barty, mitra Dellacqua dalam nomor ganda, mengatakan, dirinya sangat kecewa dengan sikap Court. ”Semua orang punya hak berpendapat. Namun, jika pendapat itu telah menyerang seseorang yang dekat dengan saya, itu tidak dapat saya benarkan,” kata Barty. ”Inilah saatnya kita bersikap, bukan hanya untuk Casey, melainkan untuk semua orang,” kata Barty.
Dellacqua sendiri mengaku sangat terpukul oleh sikap Court yang menyerang kehidupan pribadi dan keluarganya. Namun, tidak seperti Court yang fenomenal dengan deretan gelar juara tetapi berlagak layaknya ”polisi moral” dengan komentar-komentar bodohnya, Dellacqua justru jauh lebih dewasa dan matang sebagai manusia.
”Sangat menyakitkan karena saya mengidolakan dia (Court) dan secara pribadi mengenalnya,” kata Dellacqua, yang baru mengoleksi satu gelar Grand Slam di nomor ganda campuran di Perancis Terbuka 2011.
”Saya telah melupakan sikapnya karena saya menjalani hidup dengan bahagia. Saya tidak ingin seorang pun merusak kebahagiaan itu,” kata Dellacqua yang mengaku tetap akan bermain di Margaret Court Arena dan tidak akan memboikot lapangan itu.
”Di Melbourne saya selalu mendapatkan dukungan yang luar biasa. Saya sangat menyukai bermain di Melbourne, dan saya akan bermain di lapangan apa pun. Tidak ada masalah,” kata Dellacqua tentang ajakan boikot Court Arena yang mencuat lagi menjelang Australia Terbuka 2018.
Mesti tidak langsung, petenis Skotlandia, Andy Murray, juga menyatakan perlawanan terhadap sikap diskriminatif Court. ”Saya tidak melihat mengapa orang punya masalah dengan dua orang yang saling mencintai dan kemudian menikah. Jika itu dua pria, atau dua perempuan, itu bagus. Saya tidak melihat itu sebuah masalah,” ujar Murray yang memang terkenal sangat vokal menyuarakan pendapatnya tentang apa pun, termasuk kondisi sosial dan politik. ”Ini bukan urusan orang lain! Semua orang harus mendapatkan hak yang sama,” kata Murray menanggapi kecaman Court terhadap perkawinan sejenis.
Namun, seperti halnya Dellacqua, Murray tidak sepakat dengan aksi boikot yang diserukan dengan keras oleh Navratilova atau para petenis Australia sendiri, seperti Sam Stosur. Menurut Murray, jika petenis memboikot, sikap itu harus diserukan sebelum turnamen.
Murray benar, sebab aksi boikot, atas nama apa pun, akan sangat memberatkan penyelenggara dan merugikan citra olahraga tenis sendiri. Sikap dan kematangan Dellacqua juga seharusnya menjadi contoh bagaimana nilai-nilai sportmanship justru muncul pada pribadi-pribadi yang menjadi ”korban” pendapat diskriminatif seorang legenda seperti Margaret Court.
Di sisi lain, dalam peran sebagai pemuka agama, Margaret Court tentu punya kewajiban mengingatkan umatnya agar hidup sesuai dengan ajaran dan kitab suci mereka.
Meski demikian, saat seruan dan penyataannya bercampur aduk dengan dunia olahraga, bahkan kemudian menghakimi kehidupan pribadi seorang atau sekelompok atlet, Court sudah melangkah terlalu jauh dan pada akhirnya berbenturan dengan semangat kesetaraan dan keadilan seperti tertuang dalam Piagam Olimpiade yang sangat jelas menyatakan bahwa olahraga harus bebas dari diskriminasi apa pun, dari jender, warna kulit, dan orientasi seksual atlet.