SWANSEA, SELASA — Hampir sebulan lalu, Carlos Carvalhal hanya bisa terkesiap di ruang VVIP Stadion Anfield ketika menyaksikan juru kunci Liga Inggris, Swansea, dilucuti Liverpool tanpa ampun, 5-0. Guratan tangannya di buku agendanya pada laga malam itu lantas menginspirasi Swansea untuk gantian menjungkalkan ”The Reds”, 1-0, di Stadion Liberty, Selasa (23/1) dini hari WIB.
Pada laga di Anfield, akhir Desember 2017, Carvalhal belum resmi melatih Swansea. Tim peringkat ke-20 Liga Inggris ini pada waktu itu masih dipimpin pelatih sementara, Leon Britton. Namun, diam-diam, dari balik ruang kaca VVIP Anfield, Carvalhal merumuskan ”formula” balas dendam atas The Reds.
Pelatih asal Portugal itu menyadari, materi pemain Liverpool dan Swansea bak ”langit dan bumi”. Duel terbuka, yang menonjolkan serangan dan dominasi bola, sama saja ”bunuh diri” jika menghadapi The Reds. Itu dialami Swansea dan Manchester City yang ditumbangkan Liverpool di Anfield.
Untuk itu, Carvalhal memilih taktik gerilya. Ia ”menggembosi” The Reds yang punya kecepatan dan kualitas teknik dengan cara menerapkan taktik gerendel saat duel di Liberty. Dengan formasi 5-3-2 bertahan, Swansea menutup hampir seluruh ruang gerak Liverpool di pertahanan mereka. Saat diserang, delapan hingga sembilan pemain Swansea mundur ke garis pertahanan.
Strategi itu terbukti jitu. Trio penyerang maut The Reds, yaitu Mohamed Salah, Sadio Mane, dan Roberto Firmino, yang tampil menggila saat meladeni City pekan lalu, dibuat frustrasi pada laga di Liberty. Mereka hanya memutar-mutar bola tanpa mampu menembus ke jantung pertahanan Swansea.
Dari total 72 persen penguasaan bola, hanya empat tembakan ke gawang lawan yang diciptakan The Reds. Padahal, Liverpool adalah tim paling garang sekaligus produktif dalam laga tandang di Liga Inggris. Mereka mengemas 29 gol atau rata-rata membuat 2,4 gol per laga tandang di Liga Inggris musim ini. Tak ada tim lain, sekali pun City, yang melebihi produktivitas itu.
Sebaliknya, Swansea adalah tim paling miskin gol pada laga kandang. Mereka hanya mengemas total 7 gol dari 12 laga di Stadion Liberty. Namun, kekurangan itu justru membuat mereka mawas diri. Swansea hanya berani menyerang, menggunakan seluruh sumber dayanya, di titik lemah The Reds.
Kelemahan Liverpool itu, yang belum juga hilang dua musim terakhir, adalah antisipasi bola-bola mati. Satu dari tiga eksekusi bola mati Swansea, lewat sepak pojok, berbuah gol pada menit ke-40 yang dicetak bek Alfie Mawson. Virgil van Dijk, bek anyar The Reds sekaligus pemain bertahan termahal dunia, hanya bisa mengutuk dirinya karena gagal menghalau bola sepak pojok itu.
Carvalhal pun menyingkap resep mengalahkan The Reds yang terinspirasi dari kemacetan lalu lintas London. ”Liverpool itu sungguh tim kuat. Mereka bak (mobil) Formula 1. Namun, secepat apa pun Formula 1, tidak akan bisa ngebut di jalanan macet Kota London pada sore hari. Untuk itu, kami menghadirkan kemacetan dengan menutup ruang gerak mereka,” ujarnya.
Kekalahan itu ibarat pil pahit bagi Manajer Liverpool Juergen Klopp. Ia gagal menjaga tren positif, yaitu 18 laga tanpa kalah pada tiga bulan terakhir. Ironisnya, itu diderita dari tim juru kunci dan seusai banjir pujian pada laga kontra City. ”Sungguh tipikal Liverpool. Mengalahkan yang terbaik dan kalah dari tim terburuk,” tulis ESPN. (AFP/JON)