Peliknya Mengatur Anggaran
Pada 18 Agustus-2 September 2018, Jakarta, Palembang, dan beberapa kota di Jawa Barat akan menjamu sekitar 9.000 atlet dari 45 negara di Asia. Ini hanya terpaut sedikit dibandingkan dengan peserta Olimpiade yang diikuti 11.000-an atlet dari 200 negara.
Jumlah itu belum termasuk ofisial dan wartawan dari setiap negara serta jauh lebih banyak dibandingkan dengan ketika Jakarta menggelar Asian Games 1962. Pekan olahraga negara-negara Asia saat itu hanya diikuti 1.460 atlet dari 17 negara.
Meski empat kali berpengalaman menjadi tuan rumah SEA Games, yang diikuti atlet negara-negara Asia Tenggara, Indonesia tak pernah disibukkan dengan persiapan menjadi tuan rumah ajang multicabang lebih besar seperti Asian Games. Tugas besar pun dilakukan insan olahraga dan non-olahraga.
Penanggung jawab tugas sebagai tuan rumah masing-masing dibagi kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk urusan prestasi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (pembangunan infrastruktur), dan Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia atau Inasgoc (penyelenggaraan).
Untuk penyelenggaraan, awalnya Inasgoc mengajukan anggaran Rp 8,691 triliun karena Asian Games 2018 diselenggarakan di lebih dari satu tempat, yaitu di Jakarta, Palembang, serta beberapa kota di Jawa Barat.
Angka itu berubah menjadi Rp 5,6 triliun setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla, sebagai Ketua Pengarah Inasgoc, meminta anggaran diturunkan. Sebagian besar dipenuhi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang saat ini berjumlah Rp 4,74 triliun, terdiri dari resapan APBN 2017 dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran 2018.
Dana juga diperoleh dari sponsor seperti dari BUMN yang menandatangani kerja sama pada Oktober, yaitu PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Telekomunikasi Seluler Indonesia Tbk (Telkomsel), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, dan Pertamina. Juga dari perusahaan swasta nasional dan internasional.
Inasgoc membuat sejumlah paket sponsor yang ditawarkan kepada berbagai BUMN ataupun perusahaan swasta lainnya. Paket itu antara lain Prestise, Partner, dan Supplier, yang memiliki nilai sponsor ataupun kontra prestasi yang berbeda.
Tidak bebas
Meski berstatus tuan rumah, Indonesia tak memiliki kebebasan dalam mendapatkan sponsor. Dewan Olimpiade Asia (OCA), sebagai pemilik Asian Games, memiliki peraturan yang harus diikuti. Ini juga terjadi ketika sebuah negara menjadi tuan rumah Olimpiade yang harus mengikuti peraturan Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Persetujuan mengenai pencairan dana sponsor, misalnya, tertuang dalam host city contract (kontrak tuan rumah). Dalam perjanjian itu diatur bahwa dana dari sponsor harus dikirim ke rekening OCA dan baru bisa dicairkan sehari setelah pembukaan Asian Games 2018, yaitu 19 Agustus. Sesuai perjanjian itu pula, OCA dan tuan rumah mendapat pembagian 50-50.
Namun, dengan perubahan kontrak tuan rumah yang ditandatangani Presiden OCA Sheikh Ahmad al-Fahad al-Sabah dengan Ketua Inasgoc Erick Thohir dan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin di Jakarta, pada Oktober, dana dari sponsor bisa dicairkan saat ini juga sehingga bisa membantu kekurangan dana dari pemerintah.
Dikatakan Erick, di Kompas (16/10), dana dari BUMN ataupun perusahaan swasta nasional, yang sebelumnya harus melalui rekening OCA, sekarang bisa langsung masuk ke rekening Inasgoc. Sementara dana dari sponsor luar negeri masuk ke rekening OCA terlebih dahulu. Kemudian, sponsor yang masuk dalam bentuk barang bisa langsung diterima dan tidak diperhitungkan sebagai dana uang.
”Asian Games ini kepunyaan OCA. Tuan rumah hanya penyelenggara, jadi harus mengikuti peraturan mereka,” kata Sekretaris Jenderal Inasgoc Eris Herryanto.
Inasgoc juga harus mematuhi peraturan pemerintah karena menggunakan APBN, seperti anggaran 2017 sebesar Rp 2 triliun yang harus habis pada tahun tersebut meski baru turun pada 30 Juni. Ketika dana yang terserap Rp 1,85 triliun hingga 27 Desember, sisa dana harus dikembalikan kepada negara.
”Peraturan pemerintah menyatakan dana itu tak bisa digunakan untuk anggaran tahun jamak. Jadi, sisanya harus dikembalikan. Itu sebabnya, dana tak bisa terserap semua karena uang tidak bisa digunakan kalau barang belum diterima. Sementara ada kebutuhan-kebutuhan yang harus dipesan sekarang, tetapi baru digunakan pada pelaksanaan Asian Games nanti,” kata Eris.
Untuk itu, lanjut Eris, Inasgoc mengajukan perlu ada anggaran tahun jamak pada 2018.
Dari sekian banyak program, hanya lima yang akhirnya disetujui sebagai kontrak tahun jamak, yaitu pengadaan perangkat teknologi untuk skor pertandingan, sistem waktu, penyimpanan data, penyiaran, dan persiapan upacara pembukaan dan penutupan. Itu adalah program-program besar yang dilakukan atas kerja sama dengan perusahaan-perusahaan internasional atas rekomendasi OCA.
Untuk manajemen penyiaran, misalnya, seperti disampaikan Inasgoc dalam laporan akhir tahun 2017, nilai kontrak mencapai hampir Rp 1 triliun, layanan teknologi Rp 592 miliar, dan jasa upacara pembukaan dan penutupan Rp 175 miliar. Program dan pelayanan tersebut biasanya menjadi indikator kesuksesan sebuah negara menggelar Asian Games.
”Inasgoc tak pegang uang. Semua pembayaran melalui KPPN dan uang bisa dikeluarkan jika administrasi lengkap. Memang pelik mengaturnya karena harus tertib administrasi,” kata Eris.