FIUMICINO, SELASA — Pemilihan presiden Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) gagal dilakukan di Fiumicino, Italia, Senin (29/1) malam waktu setempat. Kegagalan itu semakin menyulitkan Italia untuk segera membenahi pengelolaan sepak bola menyusul kegagalan Italia melaju ke putaran final Piala Dunia Rusia 2018.
FIGC belum memiliki presiden baru setelah presiden yang lama, Carlo Tavecchio, mengundurkan diri pada November 2017. Tavecchio mundur sepekan setelah tim "Azzuri" gagal mengikuti Piala Dunia untuk pertama kali sejak tahun 1958.
Proses pemilihan presiden baru itu diikuti tiga kandidat, yaitu Cosimo Sibilia (Presiden Liga Amatir), Gabriele Gravina (Presiden Liga Pro), dan Damiano Tommasi (Kepala Persatuan Pemain Sepak Bola Profesional). Namun, tidak ada dari ketiga kandidat itu yang memperoleh suara mayoritas dari para pemilik suara yang mewakili semua organisasi di bawah FIGC.
Akibatnya, Komite Olimpiade Italia (CONI) akan mengambil alih FIGC hingga pemilihan presiden yang baru bisa terlaksana. "Ini bukan kejadian untuk ditertawakan, melainkan untuk ditangisi," kata mantan Presiden FIGC Giancarlo Abete.
Hal ini patut ditangisi karena FIGC merupakan induk organisasi dari semua kegiatan sepak bola di Italia. Menjadi sebuah ironi apabila negeri yang mampu menjuarai Piala Dunia sebanyak empat kali itu kini tidak memiliki fondasi pengelolaan sepak bola yang kuat.
Padahal, saat ini ada dua masalah besar lain yang belum terselesaikan dan sangat bergantung kepada FIGC, yaitu vakumnya kepemimpinan di tim nasional dan Serie A sebagai liga kasta tertinggi. Timnas belum memiliki pelatih baru semenjak pelatih Giampiero Ventura dipecat. Serie A tidak punya presiden lagi semenjak Maurizio Beretta lengser pada April 2017.
Tim Azzurri harus segera memiliki pelatih baru sebelum mengikuti Liga Negara yang digelar Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) pada September 2018. Sebelum itu, saat menjalani laga persahabatan, Italia akan ditangani pelatih timnas U-21, Luigi Di Biagio.
Butuh perubahan
Pengelolaan sepak bola Italia pernah mengalami masa terburuk ketika muncul skandal pengaturan laga Serie A atau yang dikenal Calciopoli tahun 2006. Sejak saat itu Italia terus mencoba berbenah. Namun, situasi terkini justru memperlihatkan kemunduran. Perubahan besar dalam pengelolaan sepak bola pun sudah sangat dibutuhkan.
Presiden klub Torino, Urbano Cairo, mengatakan, perubahan itu terutama harus dilakukan dalam mengelola Serie A. Sebagai liga yang menjadi wajah Italia di dunia, Serie A masih kalah pamor dibandingkan dengan Liga Inggris. Cairo pun mengusulkan Italia untuk meniru Inggris dalam mengelola sebuah liga.
"Liga (Primer) Inggris berjalan secara mandiri tanpa bergantung kepada Federasi Sepak Bola Inggris. Tidak mustahil hal yang sama diterapkan di Italia," kata Cairo, seperti dikutip Football-Italia. Sejak bergulir mulai tahun 1992, Liga Primer hingga saat ini menjadi liga paling populer karena sukses mengelola aspek komersial, terutama dari hak siar televisi.
Cairo pun berharap Serie A lebih memiliki nilai jual dan ditonton lebih banyak orang. Popularitas akan mendongkrak pendapatan klub dan meningkatkan kualitas permainan.
(AP/AFP/REUTERS/DEN)