Federer Tutup Karier di Tokyo 2020?
Pada sepanjang kariernya yang fantastik hampir selama dua dekade, Roger Federer telah memenangi segalanya, kecuali medali emas tunggal putra Olimpiade. Saat memenangi gelar Grand Slam ke-20 di Melbourne, akhir Januari lalu, perdebatan di jagat tenis kembali menyeruak. Intinya, apakah tanpa medali emas tunggal putra Olimpiade, sang maestro Swiss itu masih layak disebut petenis terbaik sepanjang sejarah atau GOAT (greatest of all time)?
Perdebatan soal GOAT biasanya mengacu pada beberapa petenis putra legendaris, terutama mereka yang mewarnai dunia tenis dalam setengah abad terakhir, sebut saja Rod Laver, Pete Sampras, atau Jimmy Connors.
Namun, membandingkan Federer dengan Laver atau Sampras, misalnya, juga tak relevan dalam isu medali emas Olimpiade sebab saat Laver merajai dunia tenis, cabang ini belum dipertandingkan di Olimpiade. Sementara Sampras hanya sekali ikut Olimpiade Barcelona 1992 dan legenda AS itu hanya mencapai babak ketiga.
Jika mengacu pada pencapaian gelar ATP sektor tunggal putra, Federer memang masih tertinggal dari Connors yang mengumpulkan 109 gelar juara, berbanding 96 milik Federer. Sementara jika mengacu pada gelar ATP Master 1000, Federer (27 gelar) masih kalah bersaing dengan Novak Djokovic (30) dan Rafael Nadal (30). Namun, jika menilik Grand Slam dengan 20 gelar juara, sulit untuk memungkiri bahwa Federer memang petenis terbaik sepanjang masa.
Dari sisi gelar juara Grand Slam, Federer hanya didekati oleh Nadal yang mengoleksi 16 gelar (10 di antaranya direbut di Roland Garros). Dengan cedera kaki dan lutut yang menghantui petenis Spanyol ini, sulit membayangkan Nadal mampu melampaui pencapaian Grand Slam Federer meski usianya lebih muda enam tahun. Federer akan berusia 37, Agustus mendatang, sementara Nadal, Juni mendatang, baru berusia 31 tahun.
Adapun dua petenis lain yang menjadi pesaing berat Federer dalam satu dekade terakhir, Novak Djokovic (12 gelar Grand Slam) dan Andy Murray (3 gelar Grand Slam), juga memasuki usia 30 tahun dan terus mendapat terpaan cedera. Murray bahkan absen di Melbourne 2018 akibat cedera pinggul.
Jika isu GOAT dikaitkan dengan pencapaian medali emas tunggal putra Olimpiade, Federer yang merebut medali perak di Olimpiade London 2012 memang masih kalah dari Murray yang merebut emas di London 2012 dan Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Sementara Nadal merebut medali emas di Beijing 2008 saat petenis spesialis lapangan tanah liat tersebut sedang dalam kondisi terbaik.
Di ajang Olimpiade, Federer tercatat empat kali tampil membela Swiss, yakni di Sydney 2000, Athena 2004, Beijing 2008, dan London 2012. Dia terpaksa absen di Rio 2016 akibat cedera lutut. Selain merebut medali perak tunggal putra di London 2012, Federer juga merebut medali emas ganda putra berpasangan dengan Stan Wawrinka di Beijing 2008.
Fakta lainnya, di semua Olimpiade yang pernah diikuti, Federer tampil di permukaan lapangan yang menjadi spesialisasinya, lapangan keras (hard court) dan rumput. Sayangnya, di rumput London 2012, dia kalah di final melawan Murray.
Lantas bagaimana kemungkinan dan peluang Federer di Olimpiade Tokyo 2020 atau dua tahun lebih dari sekarang? Pertanyaan ini sekarang sangat relevan meski petenis kelahiran Basel, Swiss, itu akan berusia 39 pada medio 2020 mendatang.
Dengan tiga gelar Grand Slam dalam satu tahun terakhir, dan sama sekali tak menampakkan tanda-tanda penurunan kinerja, bahkan cenderung menemukan kembali irama terbaiknya di lapangan tenis, Federer diyakini akan mampu menggenapkan prestasinya yang gilang-gemilang dengan medali emas di Tokyo.
Sangat ideal
Olimpiade Tokyo sendiri tampaknya akan sangat ideal bagi empat petenis putra terbaik dalam satu dekade terakhir ini untuk mengakhiri karier cemerlang mereka, Federer, Nadal, Djokovic, dan Murray. Keempat petenis yang populer dengan sebutan The Big Four itu selain seluruhnya telah memasuki senja kala karier di lapangan tenis, juga terpaan badai cedera belakangan ini membuat sulit untuk bersaing dengan generasi penerus alias NexGen, para bintang berusia awal 20-an yang sedang bersiap memasuki usia emas. Mereka antara lain Alex Zverev, Dominic Thiem, dan bintang muda Korea yang tengah meroket, Chung Hyeon.
Peluang selalu terbuka bagi Federer yang tidak pernah kehilangan gairah untuk selalu mengangkat piala di setiap turnamen.
Bagi Federer khususnya, Olimpiade Tokyo 2020 tampaknya akan menjadi momen paling ideal untuk mengatakan ”selamat tinggal” kepada dunia tenis yang telah menempatkan namanya sebagai salah satu atlet paling gemilang di muka bumi. Dia memang akan berusia 39 tahun, tetapi siapa yang berani mencoret peluangnya untuk menjadi yang terbaik di ajang Olimpiade?
Sepanjang dia mau dan tubuhnya mengizinkan, tak ada aral yang terlampau melintang bagi ayah empat anak tersebut. Gelar apa pun mampu dia rebut sepanjang Mirka, istrinya yang juga mantan atlet tenis, bersedia bepergian bersama, dan tentu dengan anak-anaknya, tulis analis sports, Kevin Mitchell di harian The Guardian, akhir Januari lalu.
Peluang selalu terbuka bagi Federer yang tidak pernah kehilangan gairah untuk selalu mengangkat piala di setiap turnamen. Apalagi, tiga pesaingnya di kelompok elite Big Four, semuanya tidak dalam kondisi fisik dan mental yang baik di awal musim 2018 ini.
Nadal, pesaing terberatnya, mundur di set kelima babak perempat final di Melbourne akibat cedera pinggul melawan Marin Cilic. Petenis Spanyol yang musim lalu merebut dua Grand Slam di Roland Garros dan Flushing Meadows tersebut tampaknya sulit menemukan kembali irama terbaiknya setelah serangkaian cedera yang menerpa. Gaya permainan Nadal dengan power game dan groundstroke heavy topspin membutuhkan kondisi fisik ekstra prima yang sulit didapatkan sejalan dengan bertambahnya usia.
Djokovic setali tiga uang dengan Nadal. Lebih parah, petenis Serbia itu sempat kehilangan motivasinya di dunia tenis seusai menjadi juara Perancis Terbuka 2016. Dia memecat seluruh jajaran pelatih, termasuk Marian Vajda, yang telah mendampinginya selama 10 tahun lebih.
Petenis yang diberi julukan ”Si Badut” karena kegemarannya berkelakar ini memutuskan absen di AS Terbuka 2017 sebelum tersingkir di babak 16 besar Australia Terbuka 2018 oleh Chung Hyeon. Sementara Murray mundur hanya sehari sebelum Australia Terbuka akibat cedera pinggul dan absen dari tenis sampai dengan Wimbledon mendatang.
Secara umum, Federer jauh lebih fit ketimbang tiga pesaing terberatnya tersebut. Dengan usianya yang tidak muda lagi, Federer membuktikan gaya permainannya yang sangat efisien dalam penggunaan tenaga menjadi kunci suksesnya merebut Grand Slam ke-20 di tepi Sungai Yarra, Januari lalu. Final melawan Cilic adalah laga terberatnya selama di Melbourne dengan hawa panas menyengat lebih dari 40 derajat celsius.
Namun, dialah ”the last man standing” di Rod Laver Arena. ”Saya hanya merasa lelah,” ujar Federer selepas laga final lima set yang menguras energi. ”Saya hanya punya waktu beberapa jam tidur dan saya tidak percaya bisa melakukan semua ini,” ujar Federer dengan air mata berlinang.
Saya hanya mencoba membuat jadwal turnamen yang bagus, tetap lapar (akan gelar), dan mungkin saja hal baik akan terjadi.
Dengan jujur Federer mengatakan dia tak tahu sampai kapan mampu terus berada di level tinggi seperti sekarang dan bersaing dengan para seteru terberat ataupun para bintang muda. ”Saya tak tahu,” ujarnya. ”Saya memenangi tiga Grand Slam dalam 12 bulan terakhir, hal yang sulit dipercaya. Saya hanya mencoba membuat jadwal turnamen yang bagus, tetap lapar (akan gelar), dan mungkin saja hal baik akan terjadi. Maka, saya yakin usia bukanlah isu, ia hanyanya sebuah angka,” lanjut Federer.
Soal jadwal laga, Federer memang sangat selektif. Dia hanya mengikuti turnamen yang menurut perhitungannya bisa tampil maksimal. Permukaan lapangan juga menjadi perhitungan penting. Tahun lalu, selepas cedera panjang musim 2016, dia memutuskan absen di Roland Garros, lapangan yang menuntut kondisi fisik prima.
Dia tampil di Hopman Cup sebagai pemanasan menjelang Australia Terbuka dan sukses merebut gelar di Melbourne. Dari Melbourne, Federer kemudian menjuarai Wimbledon dan mencapai perempat final AS Terbuka sebelum kalah melawan Juan Martin del Potro.
Menurut perkiraan, tahun 2018 ini pun Federer masih akan mengulang jalur yang sama dengan 2017 dengan penyesuaian di sana-sini, termasuk absen di lapangan tanah liat Paris. ”Saya harus sangat berhati-hati pada jadwal (turnamen), dan memutuskan prioritas tujuan. Saya rasa faktor itulah yang akan menentukan sukses tidaknya saya di hari-hari mendatang,”
Federer menekankan, tidak mungkin bermain di setiap turnamen. ”Saya hanya menikmati latihan dan tidak mengkhawatirkan perjalanan. Saya punya tim yang hebat, dan melihat kedua orangtua saya bahagia adalah hal spesial,” lanjut Federer yang kedua orangtuanya, Lynette dan Robert, selalu berada di boks pemain saat dia bertanding. ”Mereka membuat saya selalu ingin bermain baik.”
Namun, di antara semua pertimbangan, faktor Mirka adalah penentu akhir. Menurut Federer, tanpa dukungan sang istri, dia sudah lama pensiun mengayun raket. ”Mirka-lah yang membuat semua ini memungkinkan. Dia begitu super, mendampingi saya sekaligus mengurus anak-anak.”
Federer resmi berpacaran dengan Mirka—yang bernama asli Miroslava Vrarinec—saat keduanya membela Swiss di Olimpiade Sydney 2000. Mereka menikah pada 2003, setahun setelah Mirka pensiun dari tenis akibat cedera kaki. Setelah menikah, karier Federer semakin meroket dan menjadi petenis terbaik sepanjang sejarah. Hanya mendali emas nomor tunggal yang belum didapatkan Federer, dan dia berharap tetap mendapat dukungan Mirka untuk berlaga di Tokyo 2020. Semoga!