Dua pelatih papan atas itu memiliki benang merah. Mereka sama-sama membawa pola unik, berkarakter keras, dan menerapkan latihan berdurasi panjang serta intensif.
Jika Enrique benar berlabuh di Stamford Bridge, manajemen dan pemain Chelsea tidak akan mendapat pelatih yang lebih lunak dari Conte. Saat di Barcelona, Enrique terkenal dengan latihan fisik yang lama. Di era Gerardo Martino, para pemain berlatih selama 60 menit.
Namun, Enrique menambahi 30 menit hingga 45 menit. Pada sesi tambahan itu, dia langsung mendampingi pemain yang ingin dia genjot kemampuannya.
Pola itu tidak jauh berbeda dengan metode Conte yang diungkap oleh Giorgio Chiellini yang dilatih Conte di Juventus dan tim nasional Italia. ”Ketika Anda selesai berlatih, Anda mati. Bukan letih, mati. Anda bisa menjalani itu hanya karena Anda percaya pada apa yang dia lakukan,” tegas bek tengah itu kepada Daily Mail, Kamis (8/2).
Pola latihan intensif ala Conte itu kini diyakini menimbulkan perlawanan dari para pemain Chelsea. Latihan itu membuat para pemain kelelahan saat berlaga di empat kompetisi. Itu juga menjadi ”kambing hitam” atas cedera para pemain andalan Chelsea, hingga performa tim anjlok.
Padahal, Conte mengklaim musim ini intensitas latihan hanya 70 persen dibandingkan musim lalu. Di tengah badai cedera, Conte tak bisa menerapkan rotasi yang solid karena tak mendapatkan pemain yang ia inginkan saat bursa transfer.
”Para pemain yang ingin dia kontrak, merekalah yang ingin dia bantai, (untuk memainkan) gaya yang ingin dia mainkan,” tegas Chiellini.
Sayang, Conte tak mendapat pemain impiannya di Chelsea. Pemain baru yang dia peroleh, seperti Tiemoue Bakayoko, Danny Drinkwater, dan Ross Barkley, datang dalam kondisi belum sepenuhnya pulih dari cedera. Akibatnya, rotasi pemain ala Conte pun macet.
Rotasi juga menjadi salah satu benang merah Conte dan Enrique. Di Barca, Enrique termasuk yang sukses merotasi pemain muda dan senior. Dia bisa melakukan itu setelah ”menguasai ruang ganti”. Kelak, saat tiba di Chelsea, Enrique akan memulai dengan merebut kendali ruang ganti pemain.
Sementara pertarungan pengaruh di level manajemen, yang gagal dimenangi Conte, akan lebih sengit bagi Enrique. Karakter keras Enrique bisa berbenturan dengan bos besar Chelsea, Roman Abramovich.
Saat merekrut Enrique, manajemen Chelsea perlu memahami bahwa mereka memboyong filosofi bukan pragmatisme. Itu akan berat, seperti saat AS Roma ingin menyemai gaya permainan baru dengan merekrut Enrique pada 2011.
Fenomena itu dielaborasi oleh kolumnis sepak bola Italia, James Horncastle, yang dikutip zonalmarking. ”Alasan kami memilih Enrique adalah simbolis. Enrique mewakili cita-cita sepak bola yang ingin kami ikuti, yang menegaskan diri melalui Spanyol dan Barcelona. Saya ingin mencari seseorang dari luar sepak bola Italia. Tak terkontaminasi,” ujar Direktur Keolahragaan AS Roma Walter Sabatini.
Transformasi filosofi akan digulirkan oleh Enrique, yang berpotensi berbenturan dengan pragmatisme klub untuk meraih gelar juara. Posisi Enrique tegas soal itu. ”Kami akan bergerak ke arah perubahan total pada cita-cita dan identitas,” tegasnya saat bergabung dengan ”Serigala Roma”. Dia pun hanya bertahan semusim di AS Roma. (ANG)