ROTTERDAM, SABTUHari Senin (19/2) menjadi sejarah baru bagi Roger Federer yang akan kembali menempati posisi petenis putra nomor satu dunia. Di usianya ke 36 tahun, ia akan menjadi petenis tertua yang menempati posisi puncak.
Pencapaian Federer itu melewati rekor petenis Amerika Serikat, Andre Agassi, yang kembali menjadi nomor satu pada usia 33 tahun ataupun Serena Williams yang menggenggam peringkat satu dunia di klasemen putri pada usia 35 tahun.
Federer juga mencatat rekor jeda waktu terlama sejak debut menjadi petenis nomor satu dunia yang dicapainya pada 2 Februari 2004, yakni 14 tahun 17 hari. Tak hanya itu, ia juga menorehkan rekor jeda waktu terlama sejak kehilangan posisi puncak pada 4 November 2012, yakni 5 tahun 106 hari.
Kepastian akan sejarah baru Federer ini diperoleh setelah menaklukkan petenis Belanda, Robin Haase, 4-6, 6-1, 6-1, pada Jumat (16/2) untuk menggapai semifinal Turnamen Tenis Dunia ABN AMRO di Rotterdam, Belanda. Dengan hasil itu, Federer pada Senin mendatang akan menggusur petenis Spanyol, Rafael Nadal, yang menguasai posisi puncak dalam 26 pekan.
”Sungguh menakjubkan dan ini perjalanan saya untuk kembali meraih nomor satu dunia, Senin nanti di Rotterdam, sungguh sangat berarti bagi saya, terima kasih banyak, semuanya,” kata Federer saat Direktur Turnamen Rotterdam Richard Krajicek memberikan penghargaan khusus kepadanya di lapangan, seperti dikutip dari laman ATP.
Perjalanan yang dilalui Federer untuk kembali menjadi nomor satu dunia memang panjang dan dramatis. Ia mulai terjun ke dunia tenis profesional pada 1998 di usia 19 tahun. Ia meraih gelar Grand Slam perdananya di Wimbledon pada 2003. Hanya berselang setahun setelah itu, saat berusia 22 tahun, ia merengkuh posisi nomor satu dunia.
Hingga akhir 2012, ia mengoleksi 17 gelar Grand Slam. Namun, mulai tahun itu pula ia mengalami fase terpuruk karena dibekap cedera lutut kanan, kehilangan peringkat satu dunia, dan paceklik gelar Grand Slam hingga akhir 2016.
Kebangkitan Federer
Meski demikian, Federer tidak menyerah. Ia terus berusaha bangkit. Dengan tim yang setia mendampinginya, yakni pelatih Severin Luthi dan Ivan Ljubicic, serta terapis Perre Paganini, Federer merangkak dari peringkat ke-17 dunia.
”Saya membutuhkan dorongan akhir dari tim saya. Itulah mengapa saya selalu mengatakan betapa pentingnya mereka karena tanpa mereka, sejujurnya, saya tidak mungkin melakukan hal ini,” kata Federer.
”Saat sudah lebih tua, Anda harus bekerja dua kali lipat. Anda harus bergulat kembali dari seseorang yang telah bekerja keras untuk sampai ke sana (di posisi puncak),” ujarnya.
Keteguhan dan kerja keras untuk mengembalikan performanya, juga dukungan dari timnya, mulai menunjukkan hasil pada 2017. Dua gelar Grand Slam diraihnya, yakni Australia Terbuka dan Wimbledon.
Kisah kebangkitannya berlanjut saat meraih gelar Australia Terbuka 2018, yang menjadi koleksi gelar Grand Slam ke-20 bagi Federer. Koleksi itu sejauh ini membawanya pada rekor petenis tunggal putra dengan gelar Grand Slam terbanyak. Secara keseluruhan, hingga kini ia telah membukukan 96 gelar.
Kerja keras dan pencapaian Federer menuai apresiasi sejumlah kalangan melalui media sosial. Mantan petenis nomor satu dari AS, Andre Agassi, berkomentar, ”36 tahun 195 hari. Roger Federer terus meningkatkan standar olahraga kami. Selamat atas prestasi luar biasa lainnya!”
Mantan petenis asal Amerika Serikat lainnya yang pernah menjadi pelatih Federer, Paul Annacone, juga mengapresiasi pencapaian itu. ”Kisahnya terus berlanjut. Selamat Roger Federer yang telah menuliskan bab lain (dari kisahnya). Usaha yang luar biasa dari tim RF (Roger Federer),” katanya.
Di luar kerja keras dan pencapaiannya di dunia tenis, Federer juga memiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan. Melalui Yayasan Roger Federer yang didirikannya pada 2003, ia menginvestasikan lebih dari 50 juta dollar AS atau Rp 677 miliar untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Afrika Selatan dan Swiss.