JAKARTA, KOMPAS — Insiden perusakan Stadion Utama Gelora Bung Karno saat laga final Piala Presiden 2018 antara Persija Jakarta dan Bali United, Sabtu (17/2) malam, mengundang keprihatinan sejumlah kalangan. Peristiwa ini menunjukkan minimnya perilaku tertib dan rasa memiliki terhadap stadion kebanggaan bangsa itu. Di sisi lain, ini menjadi cerminan buruknya kemampuan panitia maupun pengelola dalam mengantisipasi vandalisme penonton.
Laga final Piala Presiden yang dimenangi Persija Jakarta menyisakan sejumlah kerusakan di dalam dan luar stadion. Dari tayangan kamera pemantau (CCTV), diketahui kerusakan disebabkan ribuan suporter yang tidak mendapat tiket memaksakan masuk ke dalam stadion.
Kerusakan di luar stadion terjadi di pintu 7b, 5b, dan 9, serta taman yang diinjak-injak. Sementara di dalam stadion, tujuh penyekat penonton yang terbuat dari akrilik dirusak saat penyerahan piala untuk Persija.
”Setelah direnovasi, GBK terlihat sangat bagus dan canggih. Tetapi, sebagian penonton belum menyadari pentingnya menjaga GBK. Ini sangat disayangkan,” kata Rina (48), salah satu warga yang datang untuk melihat kerusakan stadion, Minggu (18/2).
Direktur Utama Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno Winarto menyesalkan insiden itu. Menurut dia, penonton seharusnya bisa mengubah kebiasaan lama yang tidak tertib ke budaya baru yang taat peraturan.
Saat laga final yang dihadiri Presiden Joko Widodo itu, panitia hanya menyediakan tiket untuk sekitar 62.000 penonton. Namun, suporter yang hadir langsung di stadion diperkirakan mencapai 75.000 orang. Panitia juga menyediakan dua layar raksasa di luar stadion bagi suporter yang tidak mendapat tiket.
”Kerusakan ini memang sudah diantisipasi. Panitia penyelenggara Piala Presiden sudah memberikan jaminan uang kerusakan sebesar Rp 1,5 miliar. Kami juga sudah melihat kerusakan dan menaksir biaya perbaikan tidak lebih dari Rp 100 juta. Diharapkan Rabu perbaikan telah selesai dilakukan,” ujar Winarto.
Ketua Panitia Pengarah Piala Presiden 2017 Maruarar Sirait juga menyayangkan vandalisme oknum suporter itu. Selain meminta polisi untuk mengusut pelaku perusakan melalui rekaman kamera pemantau, ia juga siap mengganti kerugian akibat kerusakan itu.
Kurangnya kesadaran
Meski pengelola dan panitia menjamin perbaikan atas kerusakan yang dialami, pengamat sepak bola Tommy Apriantono menilai, masih ada yang jauh lebih penting untuk dibenahi, yakni kesadaran menjaga fasilitas publik.
”Budaya suporter sepak bola di Indonesia sangat kompleks, butuh penanganan dan keterlibatan berbagai elemen seperti pemerintah, akademisi, dan masyarakat atau suporter itu sendiri. Sanksi untuk penonton yang melakukan kerusakan juga perlu dipertegas kembali,” katanya.
Menurut dia, Indonesia harus belajar dari Inggris dan Jepang yang menerapkan sanksi berat seperti larangan menonton untuk suporter sepak bola yang melakukan vandalisme.
Psikolog sosial Idhamsyah Eka Putra juga berpendapat, untuk menciptakan perubahan perilaku suporter yang lebih baik, harus melibatkan semua pihak, tidak terkecuali sosiolog.
Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Pengarah Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia (Inasgoc) menyatakan, saat sistem penjualan tiket belum rapi dan penonton jauh melebihi kapasitas stadion, aparat keamanan dan penyelenggara harus bekerja ekstra keras agar situasi kondusif. (DD15/NDY/SAN)