Servis akurat dan backhand satu tangan yang tajam menjadi ciri khas sekaligus senjata Roger Federer. Namun, kemampuan teknis yang nyaris sempurna itu tak muncul begitu saja dan mengantarkannya menuju puncak peringkat dunia untuk keempat kalinya dalam usia 36 tahun. Federer selalu belajar untuk memperbaiki diri.
Sejak berkarier di arena tenis profesional pada 1998, Federer telah mengumpulkan 97 gelar juara, kedua terbanyak di arena tenis putra setelah mantan petenis Jimmy Connors dengan 109 gelar. Gelar terakhir pada turnamen ATP Rotterdam, Belanda, Minggu (18/2), didapat berselang dua hari setelah dia memastikan diri kembali ke puncak peringkat dunia, menggeser rivalnya, Rafael Nadal.
Kemenangan atas Robin Haase (Belanda) pada perempat final ATP Rotterdam membuat Federer berhak atas posisi teratas untuk keempat kalinya. Dia terakhir kali menempati posisi tersebut pada 9 Juli 2012 hingga 4 November 2012.
Petenis Swiss itu membuat rekor ketika menempati puncak peringkat dunia pada debutnya selama 237 pekan beruntun pada 2 Februari 2004-17 Agustus 2008. Ini menjadi rekor pekan beruntun terlama di antara semua petenis.
Posisi nomor satu dunia yang dicapai dalam usia 36 tahun, pada pekan ini, menempatkannya sebagai petenis peringkat pertama dunia tertua.
Mantan petenis nomor satu dunia asal Swedia, Mats Wilander, berpendapat, kekuatan Federer ada pada faktor internal yang tak terlihat orang lain, yaitu kecintaan pada tenis dan keinginannya untuk terus belajar.
”Dia mengubah raketnya, teknik backhand, dan taktik karena dia sangat senang untuk belajar. Cara mainnya saat ini berbeda dengan 14 tahun lalu karena dia selalu berusaha mengembangkan kemampuan. Faktor yang tak terlihat ini menempatkannya di depan petenis lain,” kata Wilander dalam wawancara dengan wartawan surat kabar Perancis, L’Equipe, dikutip dari laman tennisworldusa.org.
Pelatih fisik Federer sejak 17 tahun lalu, Pierre Paganini, bercerita tentang kebiasaan petenis dengan 20 gelar Grand Slam itu saat berlatih. Menurut dia dalam New York Times, Federer selalu berusaha memahami program latihan yang diberikan dengan sering bertanya.
Federer berpendapat, kesuksesan yang diraihnya saat ini karena dukungan keluarga, terutama istrinya, Mirka. ”Bertahun-tahun lalu, saya berdiskusi dengannya tentang rencana saya. Seandainya saat itu dia menginginkan saya berhenti dari tenis, saya tidak akan menjadi seperti sekarang ini,” kata Federer yang memiliki dua pasang anak kembar bersama Mirka.
Bukan target
Kecintaan Federer pada tenis tak terbantahkan. Pelatihnya, Severin Luthi, menilai, kecintaan itu membuat Federer bisa tampil konsisten, bahkan lebih baik dibandingkan petenis lebih muda. Dalam final ATP Rotterdam, misalnya, Federer menang mudah atas Grigor Dimitrov, 6-2, 6-2, petenis peringkat keempat dunia yang 10 tahun lebih muda darinya.
Atas Nadal yang menjadi rival utamanya sejak 2005, Federer tak terkalahkan dalam lima pertemuan terakhir yang terjadi pada 2017.
”Saya selalu percaya Federer masih bisa memenangi turnamen besar. Tetapi, untuk bisa menjadi petenis nomor satu dunia, dia harus tampil konsisten dan sering juara. Itu sulit dilakukan saat usia bertambah tua. Untuk itu, kami sebenarnya tak pernah menargetkan agar Federer kembali ke peringkat satu dunia,” kata Luthi yang melatih Federer sejak 2007.
Nadal pun mengakui kehebatan Federer. ”Dia tampil lebih baik dari saya dalam 12 bulan terakhir. Dia tak perlu menjadi nomor satu dunia untuk membuktikan kecintaannya pada tenis. Tetapi, dia telah mewujudkan apa yang sebenarnya sulit dicapai. Untuk itu, Roger pantas mendapat ucapan selamat,” kata Nadal. (IYA)