Meniti Regenerasi Atlet Bridge
Sebagai atlet muda di antara 32 rekannya di pemusatan latihan nasional bridge di Wisma Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Jakarta, Monica termasuk salah satu andalan Indonesia di sejumlah kejuaraan. Atlet asal Kendal, Jawa Tengah, itu bergabung di pelatnas sejak 2015.
Kehadiran atlet muda seperti Monica menjadi harapan baru bagi olahraga bridge di Indonesia. Selain menjadi bagian dari upaya regenerasi atlet, kehadiran atlet muda memberikan gambaran nyata bahwa bridge semakin dikenal di masyarakat, bahkan mulai dari anak-anak. ”Hal itu sangat positif untuk menghapus stigma bahwa bridge merupakan olahraga kuno yang hanya dimainkan oleh orang tua,” kata Koordinator Pelatnas Bridge sekaligus Ketua Harian Pengurus Besar Gabungan Bridge Seluruh Indonesia (PB Gabsi) Handoyo Susanto.
Buah program BMS
Perkenalan Monica dengan bridge tak lepas dari program Bridge Masuk Sekolah (BMS) yang dicanangkan PB Gabsi sejak 2003. Dalam program itu, PB Gabsi berupaya mengenalkan bridge melalui kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.
Monica pertama kali mengenal bridge sewaktu duduk di kelas VII SMP Negeri 1 Boja, Kendal. Ketika itu, sebagai murid baru, ia mencari ekstrakurikuler yang cocok untuk dirinya. Dari sekian banyak yang ditawarkan, bridge dianggap paling menarik dan menumbuhkan rasa penasaran.
”Waktu itu saya heran, kok permainan yang identik dengan judi jadi ekstrakurikuler di sekolah. Saya jadi penasaran,” katanya. Pilihan itu dia ambil di tengah sebagian besar masyarakat yang masih menganggap perempuan tabu bermain kartu.
Atlet nasional bridge lain, Fransisca Tri Martanti (20), juga mengenal bridge dari program BMS. Perempuan kelahiran Solo, 30 Maret 1997, itu pertama kali mengenal bridge ketika duduk di kelas III SD Negeri Madyotaman, Solo. Waktu itu, hadir sejumlah pelatih bridge untuk mengenalkan bridge di sekolahnya.
Serupa dengan pengalaman Monica, Fransisca penasaran dengan olahraga menggunakan kartu remi. Sebab, di lingkungan tempat tinggalnya, permainan menggunakan kartu remi identik dengan judi. ”Namun, ketika belajar bridge, saya tidak pernah melihat bridge digunakan untuk ajang berjudi,” ujarnya.
Fransisca pun sangat tertarik mendalami bridge. Hanya butuh dua tahun, atau ketika duduk di kelas V SD Negeri Madyotaman, ia sudah berhasil menyabet prestasi sebagai juara bridge pada Pekan Olahraga Daerah Tingkat Sekolah Dasar di Solo.
Lambat berkembang
Olahraga bridge sejatinya sudah ada sejak abad ke-16. Ketua Umum PB Gabsi Eka Wahyu Kasih mengatakan, bridge diperkirakan pertama kali muncul di Rusia. Olahraga ini berkembang pesat sejak abad ke-20, ditandai dengan munculnya Liga Bridge Amerika Serikat pada 1928.
”Di Indonesia, bridge diduga dibawa masuk oleh orang-orang Belanda pada masa penjajahan di akhir abad ke-19. Bridge baru diakui sebagai olahraga resmi di Indonesia pada 1953, ditandai berdirinya PB Gabsi,” ucapnya.
Perkembangan bridge di Tanah Air, diakui Eka, memang sedikit terlambat. Sejak masuk Indonesia di masa kolonial Belanda, bridge hanya dimainkan kalangan tertentu, antara lain para pejabat di perusahaan perkebunan. Pada tahap berikutnya, bridge pun identik sebagai olahraga yang hanya dimainkan orang tua.
Perkembangan bridge semakin lambat karena muncul stigma permainan menggunakan kartu remi identik dengan judi. Tak heran, regenerasi atlet bridge cukup lambat. Bahkan, di pelatnas bridge, ada atlet aktif yang berusia 78 tahun.
Atas dasar itu, PB Gabsi mecetuskan program BMS. Bahkan, hanya dalam dua tahun program itu dijalankan, ada 40.000 anak maupun remaja, dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, bermain bridge. Bahkan, sebagian mereka menjadi atlet.
Guna menjaga kesinambungan perkembangan bridge, PB Gabsi rutin menggelar sejumlah kejuaraan, antara lain kejuaraan nasional yang bisa dilakukan 4-5 kali dalam setahun. ”Sekarang, hampir di setiap daerah ada kejuaraan bridge,” kata Eka.
Banyak manfaat
Selain terus membangkitkan rasa penasaran, Monica dan Fransisca sependapat, banyak manfaat yang diperoleh dari bermain bridge. Monica mengaku banyak berlatih memecahkan masalah dan berpikir jauh ke depan lewat bermain bridge.
”Sejak main bridge, saya menjadi lebih optimistis. Sebab, saya terbiasa mencari jalan keluar dalam setiap hambatan di laga bridge dan tiap hambatan pasti ada jalan keluarnya. Dalam hidup seperti itu juga. Kalau bertemu suatu masalah, kita tidak perlu takut dan pasrah. Sebab, jika dipikirkan secara matang, masalah-masalah itu juga pasti ada jalan keluarnya,” tutur Monica.
Menurut Fransisca, bermain bridge turut mengikis sifat egois pada dirinya mengingat olahraga ini membutuhkan kerja sama tim. Dalam bermain, anggota tim harus saling berkomunikasi guna memecahkan masalah dan memenangi setiap laga.
”Tadinya, saya sangat egois dan cenderung keras kepala. Namun, sejak bermain bridge, saya dilatih untuk lebih rendah hati dan mau mendengar maupun menerima masukan orang lain. Jika tidak, tim tidak akan bisa meraih hasil optimal,” ujarnya.