Bara di Old Trafford
Dari sekian banyak laga, duel Chelsea kontra MU di Old Trafford adalah yang paling ditunggu Conte. ”Itu peluang bagus untuk saling berhadap-hadapan dan mengklarifikasi (masalah dengan Mourinho). Saya siap. Entah dengan dia,” ujar Conte bulan lalu.
Pernyataan kemarahan Conte itu hanyalah satu dari sekian banyak perang kata-kata kedua manajer itu semusim terakhir ini. Keduanya seolah membenci dan saling menyakiti.
Perseteruan keduanya dimulai Oktober 2016 saat ”The Blues” melibas MU 4-0 di Stamford Bridge, London. Mourinho menilai Conte berupaya mempermalukannya di depan ribuan suporter bekas klubnya itu. Saat itu, Conte mengayun-ayunkan tangan ke arah penonton untuk memancing euforia mereka atas kemenangan besar itu.
”Saya tidak perlu berperilaku seperti badut di pinggir lapangan untuk menunjukkan gairah. Saya lebih suka dengan apa yang saya lakukan selama ini. Itu jauh lebih dewasa juga, baik untuk tim maupun diri sendiri,” ujar Mourinho menyentil Conte, Januari lalu.
Conte pun membalas cemoohan itu dengan tidak kalah pedasnya. ”Saya tidak tahu apa nama tepatnya. Ya, demensia. Itu adalah ketika Anda lupa dengan yang telah dilakukan di masa lalu. Anda palsu, ya, penuh kepalsuan,” ujarnya tentang Mourinho.
Ilmu hitam
Perang mulut kedua manajer itu memperlihatkan sisi gelap di balik glamornya Liga Inggris saat ini. Bukanlah rahasia jika perang urat saraf menjadi keahlian khas Mourinho, manajer yang selama ini dianggap menguasai ”ilmu hitam” di sepak bola.
Ilmu hitam dimaksud, seperti dikatakan Rob Dawson lewat kolomnya di ESPN, adalah kemampuan ”Si Spesial” memanipulasi calon-calon lawannya, baik lewat perkataan maupun taktik.
Mourinho, yang punya gelar di bidang psikologi, sering memakai taktik playing victim semata guna menjatuhkan korbannya. Si Spesial acap kali memosisikan diri dan timnya sebagai korban dari serangkaian ”konspirasi”. Ketika membela Inter Milan, ia berkata, timnya dimusuhi wasit-wasit Italia. Pada 2011, saat membela Real Madrid, ia bahkan menuduh UEFA dan Unicef bermufakat untuk membawa Barcelona asuhan Pep Guardiola menjuarai Liga Champions saat itu.
Terakhir, 2017, Mourinho berspekulasi bahwa bos-bos klub besar selain MU dapat mengatur jadwal tanding yang lebih menguntungkan mereka. Ia marah karena tim-tim besar lainnya, seperti Manchester City dan Chelsea, memiliki waktu istirahat sedikit lebih panjang daripada MU saat Natal dan Tahun Baru.
Taktik itu efektif bekerja, memancing solidaritas antarpemain, di klub-klub terdahulunya, seperti Porto dan Inter. Namun, di tim-tim besar seperti MU, itu bisa jadi bumerang. Ditambah kebiasaan taktik defensifnya, tak heran jika MU seolah inferior ketika menghadapi tim-tim besar pada dua musim terakhir ini.
”Setan Merah” nyaris menjadi bulan-bulanan Sevilla di babak 16 besar Liga Champions, Rabu lalu. Mereka juga membuat kiper Tottenham Hotspur, Hugo Lloris, ”makan gaji buta” saat kedua tim bersua awal Februari lalu.
Saat ini, lini serangan MU, yang dilengkapi sejumlah talenta hebat, seperti Anthony Martial, Marcus Rashford, dan Alexis Sanchez, tidak bertaji. Inferioritas itu sampai tertanam di alam bawah sadar Romelu Lukaku.
Striker termahal MU itu selalu grogi ketika menghadapi laga-laga besar. Jangankan gol, ia tidak pernah mampu menciptakan satu pun tembakan tepat ke arah gawang tim-tim enam besar seperti Chelsea musim ini.
Hadirnya Sanchez tidak mampu memperbaiki penampilan MU karena Mourinho masih bingung menemukan racikan taktik yang tepat untuk memaksimalkan potensinya. Celakanya, kebingungan Mourinho itu berimbas pada terkucilnya Paul Pogba. Ia tidak lagi mendapat tempat di tim inti MU akhir-akhir ini.
Di lain pihak, Chelsea mulai terlihat bangkit setelah sempat terseok-seok. Mereka tidak pernah kalah di tiga laga terakhirnya. Suntikan motivasi Conte mendorong sejumlah pemain, seperti Willian, seolah terlahir kembali di tiga laga terakhir. Kecepatan, penguasaan teknik, dan akurasi tembakannya bisa menjadi teror bagi MU.
The Blues akan tampil agresif seperti halnya karakter Conte. Itu jelas akan kembali menguji Mourinho, apakah ia lebih memilih bermain aman, yaitu defensif, atau berani mencoba lebih ofensif. Di sisi lain, publik Old Trafford akhir-akhir ini berteriak agar MU kembali ke khitahnya, yaitu agresif menyerang. (JON)