Tidak semua orang mendapat kesempatan berlari di Tokyo Marathon, yang merupakan ajang maraton terbesar di Asia. Selain memerlukan dana yang tidak sedikit, juga dibutuhkan nasib baik untuk mendapat undian keikutsertaan. Untuk tahun ini tercatat 147 pelari Indonesia di antara sekitar 36.000 pelari yang berdatangan dari berbagai negara.
Mereka yang mendaftar pada bulan Agustus sudah mendapatkan pengumuman kepesertaan mereka sebulan kemudian. Artinya, masih ada waktu sekitar lima bulan bagi pelari untuk mempersiapkan diri. Untuk mengikuti sebuah maraton, seorang pelari hobi umumnya menyiapkan diri minimal 16 pekan atau sekitar empat bulan sebelumnya.
”Persiapan tahun ini luar biasa repot! Untuk persiapan Tokyo Marathon 2016 lalu, waktu buat latihanku banyak sekali. Hampir setiap pagi aku pasti ke lapangan dan latihan lari di trek. Nah, 2018 ini aku sibuk banget,” kata Melanie Putria yang untuk kedua kalinya mengikuti ajang Tokyo Marathon.
Pelari lainnya sengaja berlatih dengan bimbingan pelatih atau coach. ”Aku sibuk banget, tapi tetap berlatih dengan
coach. Walaupun cuma seminggu sekali ketemu, program-program tetap aku coba penuhi,” ujar Agustine.
Para pelari bukan saja berlatih lari, banyak di antaranya melengkapi diri dengan yoga, latihan strength and conditioning, hingga pilates. Ada juga yang berlatih sendiri dengan belajar dari jurus-jurus virtual yang kini tersedia di berbagai aplikasi gawai.
Tidak ”digaruk”
”Target gue, pokoknya enggak digaruk bus sweeper,” kata pelari lain. Tokyo Marathon terkenal sangat ketat dalam waktu penutupan dan pembukaan jalan sehingga di kilometer tertentu pelari yang tidak bisa memenuhi waktu yang ditentukan akan diangkut bus karena jalan akan dibuka kembali untuk umum.
Para pelari hobi harus berusaha berlari dengan kecepatan paling lambat 8 menit 40 detik untuk setiap kilometer agar tidak tersapu.
Sejak di Jakarta, sejumlah pelari juga sudah membentuk grup untuk berlatih bersama. Mereka juga tergabung dalam grup-grup Whatsapp untuk saling menyemangati dan berbagi informasi. Selain dengan target ”asal enggak digaruk”, banyak di antara mereka juga berniat untuk memperbaiki catatan waktu terbaik atau personal best (PB) maraton mereka.
Beberapa di antaranya tersenyum bangga di garis finis karena bisa memetik hasil latihan selama 16 minggu lebih menempa diri. Lainnya cukup berpuas diri dengan PB lainnya, bukan personal best atau catatan waktu terbaik, tetapi ”photo banyak” di sepanjang lintasan dan memajang hasil jepretannya di berbagai media sosial.