Rivalitas Getir yang Membentang 120 Tahun
Bagi Manchester United, rival mereka di liga domestik, persaingan prestasi dan perebutan pengaruh global, bukanlah ”tetangga yang berisik” Manchester City, tetapi justru Liverpool FC. Kisah rivalitas di antara kedua klub paling sukses di Inggris Raya tersebut terbentang panjang selama 120 tahun lebih, bahkan sejak awal Revolusi Industri. Dari lapangan hijau, rivalitas keduanya dibalut kebencian turun-temurun, dari generasi ke generasi, dan menjadi persaingan abadi paling getir yang mewarnai sejarah di tanah tempat lahirnya sepak bola modern tersebut.
Beberapa jam setelah Pep Guardiola merebut piala pertamanya di tanah Inggris bersama Manchester City, legenda Manchester United, Ryan Giggs, mengatakan, klub ”tetangga yang berisik” itu memang memainkan sepak bola level tinggi. Namun, untuk membandingkan dengan Manchester United, Chelsea, dan Arsenal, mereka butuh lebih banyak merebut piala.
Giggs tampaknya memuji, tetapi sebenarnya mencemooh ”The Citizen”, julukan Manchester City. Tidak sampai di sana, pemain kelahiran Wales yang tidak pernah tampil di Piala Dunia ini pun sebenarnya mengolok-olok Liverpool justru dengan tidak menyebutkan klub yang menjadi rival abadi dan paling getir bagi Manchester United tersebut.
Ya, tentu saja Giggs yang bersama Manchester United (MU) merebut 13 gelar juara liga di era Premiership itu tidak akan pernah menyebutkan Liverpool jika berbicara tentang prestasi. Giggs dan nyaris semua pemain atau eks pemain MU pasti tidak sudi mengakui prestasi Liverpool yang mendominasi persepakbolaan Inggris dan Eropa pada era 1970 hingga 1980-an tersebut. Vise versa, pun demikian dengan pemain atau eks pemain Liverpool, mereka tak akan sudi mengakui kehebatan MU dalam bentuk apa pun.
Dengan pencapaian keduanya, setiap pertemuan kedua tim berkostum merah ini selalu diwarnai pertempuran ekstra sengit di lapangan.
Harap dimaklumi, MU dan Liverpool memang adalah dua tim paling sukses di tanah Inggris, baik dari sisi prestasi domestik maupun internasional. Tidak ada tim di Inggris Raya yang mendapatkan piala utama (mayor) sebanyak dua klub tersebut.
Mei tahun lalu, MU di bawah kendali Jose Mourinho menjadi juara Liga Europa, gelar pertama klub ini di kejuaraan antarklub Eropa versi baru tersebut. Pencapaian ini bukan saja melengkapi koleksi gelar klub yang didirikan pada 1878 tersebut, tetapi sekaligus melampaui pencapaian prestasi Liverpool di ajang domestik dan internasional dengan total 42 gelar utama (tidak termasuk Piala Super Eropa, Club World Cups, dan Community Shields).
Sebelumnya, dengan 41 gelar utama, Liverpool berdiri pongah sendirian dan mengklaim sebagai tim paling sukses di tanah Inggris dengan 18 gelar juara liga, 7 gelar juara Piala FA, 8 Piala Liga, 5 Piala Eropa (Champions League), dan 3 Piala UEFA sepanjang sejarah mereka.
Namun, pada Februari 2017, jumlah gelar utama Liverpool disamai oleh MU setelah gol menit terakhir Zlatan Ibrahimovic di Wembley memastikan kemenangan ”Setan Merah” atas Southampton di final Piala Liga. Kemudian MU melampaui pencapaian Liverpool ketika Mei lalu mengalahkan Ajax Amsterdam di final Liga Europa.
Dengan pencapaian keduanya, setiap pertemuan kedua tim berkostum merah ini selalu diwarnai pertempuran ekstra sengit di lapangan. Rivalitas yang berakar sangat dalam membuat pertemuan keduanya sering disebut derbi Inggris yang disejajarkan dengan dua rivalitas hebat lainnya, el clasico antara Real Madrid dan Barcelona dan derby della Madonnina antara AC Milan dan Internazionale Milan.
Sejak revolusi industri
Banyak yang beranggapan, rivalitas MU dan Liverpool dimulai sejak dibangunnya kanal Manchester pada 1894. Kanal yang menghubungkan Manchester sebagai kota industri dan penghasil kain katun dengan laut lepas itu membebaskan mereka dari ”penjajahan” Liverpool yang kala itu merupakan salah satu pelabuhan laut terbesar di Eropa dan menjadi salah satu pusat berlabuhnya kapal-kapal dagang dari seluruh dunia. Gambar kapal dengan empat layar yang tertera di logo klub MU menjadi bukti betapa ”kemerdekaan” tersebut menjadi bagian penting dalam sejarah kota dan perjalanan klub dalam persaingan dengan Liverpool.
Meski begitu, pakar sejarah menemukan sejumlah bukti yang menunjukkan, rivalitas kedua kota tersebut sudah berlangsung sejak dimulainya Revolusi Industri pada pertengahan abad ke-18 (1750). Secara ringkas, sejak Revolusi Industri, kelas menengah Liverpool yang terdiri atas para pedagang kaya sangat dibenci oleh kalangan industrialis dan kelas pekerja Manchester.
Seiring berjalannya waktu, persaingan kedua kota yang hanya berjarak 30 mil itu tidak hanya terjadi di bidang ekonomi dan perdagangan, tapi juga di bidang musik dan fashion. Pada tahun 1960-an, Liverpool adalah kota terkemuka dan kiblat dunia dalam industri dua bidang gaya hidup tersebut, dan sepak bola mengikuti kemudian.
Kubu Anfield di bawah kendali Bill Shankly berhasil mendepak MU dalam perebutan gelar Liga Inggris pada 1964. Namun, setelah tragedi jatuhnya pesawat di Muenchen pada 1958, United membangun kembali dirinya dengan bakat-bakat yang tersisa selepas tragedi, dan pada 1968 berhasil merebut juara European Cup (kini bernama Liga Champions) sekaligus mengembalikan reputasi internasional mereka.
Memasuki dekade 1970-an, impian Shankly untuk menjadikan Liverpool klub paling berjaya membuahkan hasil setelah penerusnya, Bob Paisley, membangun salah satu dinasti ”The Reds” paling tangguh sepanjang sejarah dengan menguasai liga domestik dan mencapai sukses di tingkat Eropa. Di bawah kendali Paisley yang kharismatik, Liverpool menjadi juara Inggris 12 kali pada periode 1973 hingga 1990.
Tidak hanya itu, The Reds juga menjadi ujung tombak Inggris di ajang European Cups (kini Liga Champions) dengan merebut empat piala pada 1977, 1978, 1981, dan 1984. Lama setelah ini, Liverpool baru bisa kembali merebut gelar paling agung di kancah antarklub Eropa tersebut pada 2005.
Kemenangan atas AC Milan dalam final di Istanbul 2005 tersebut kemudian tercatat sebagai salah satu final Liga Champions terbaik yang diwarnai dengan comeback gemilang pasukan Rafael Benitez yang pada babak pertama telah tertinggal 0-3 untuk kemudian mencetak gol dalam periode enam menit di babak kedua sebelum menang adu tendangan penalti. Kemenangan ini pula yang menempatkan Liverpool sebagai ”Klub Elite” versi Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA), untuk klub-klub yang sukses menjadi juara di ajang European Cup sebanyak lima kali atau lebih. Tim paling elite dalam konteks ini tentu saja Real Madrid (Spanyol) yang mengoleksi 11 gelar.
Pada periode keemasan Liverpool itu (1970-1990), kubu Old Trafford berupaya keras mengimbangi pencapaian kubu Anfield, di antaranya dengan pembelian sejumlah pemain dengan anggaran besar. Namun, dominasi Liverpool sulit dibendung meskipun pada 1977 United ”mencuri” gelar Piala FA untuk menggagalkan ambisi Liverpool meraih ”Treble Winners”.
Era Alex Ferguson
Ambisi United untuk menggusur dominasi Liverpool baru terwujud pada akhir dekade 1980-an, terutama sejak hadirnya manajer berwatak keras, Sir Alex Ferguson, di Old Trafford. Pria Skotlandia itu datang ke Old Trafford pada 1986, dan tidak butuh waktu terlalu lama untuk membangun dinasti paling sukses dalam sejarah Liga Primer.
Dengan kekuatan pemain-pemain muda yang terkenal dengan sebutan ”Class of 92”, seperti Ryan Giggs, Gary dan Phil Neville, Paul Scholes, Nicky Butt, dan David Beckham, United bersama Ferguson menggeser Liverpool sebagai kekuatan utama Liga Primer. Pada 1993, setelah mendatangkan Eric Cantona dari Leeds United, Fergie (sapaan akrab Ferguson) merebut gelar liga pertamanya bersama ”Setan Merah”. Itu adalah gelar pertama MU sebagai juara Inggris setelah terakhir kalinya pada 1967.
Di bawah kendali Fergie yang memegang dengan tangan besi, United mendominasi liga domestik dengan merebut 12 gelar pada periode 1994 hingga 2013 untuk menjadikan pasukan ”Setan Merah” sebagai klub terbanyak dengan 20 gelar juara Inggris. Bahkan pada 1999, Fergie menancapkan tonggak sejarah dengan meraih Treble Winners, juara Liga Primer, Piala FA, dan Liga Champions dengan mengalahkan Bayern Muenchen di final di Stadion Camp Nou, Barcelona yang fenomenal.
Saat pertama datang ke Old Trafford, Fergie memang menanamkan elan persaingan dengan Liverpool untuk memotivasi para pemainnya. ”Mereka (Liverpol) adalah barometer permainan sepak bola. Mereka memenangi sangat banyak kejuaraan dan itulah tolok ukur kita,” papar Fergie kepada para pemainnya.
Saat merebut gelar Liga Primer yang ke-19 pada 2011 bagi United sekaligus melampaui pencapaian 18 gelar Liverpool, Fergie kepada pers dengan brutal mengatakan, ”Tantangan terbesar saya adalah menggusur Liverpool dari takhtanya. Kalian bisa tulis itu.” Fergie menggunakan lema sangat kasar untuk menggambarkan kebenciannya kepada Liverpool.
Pada era Fergie pula, rivalitas antara United dan Liverpool menjelma menjadi persaingan brutal antarpemain dengan masing-masing memupuk kebencian yang sering kali diwarnai aksi-aksi yang bertentangan dengan jiwa sportivitas.
Hari Sabtu (10/3) mendatang, United dan Liverpool akan kembali bertemu untuk yang ke-228 kalinya sepanjang sejarah. Dengan kondisi keduanya bukanlah calon juara karena The Citizen di bawah Guardiola telah melejit sendirian dengan selisih 18 poin, pertandingan di antara dua tim merah ini tetaplah penuh dengan warna rivalitas pahit yang kental. Laga ini juga kemungkinan besar akan menjadi penentu siapa yang akan menjadi runner-up di bawah City.
Dalam pertemuan terakhir di Anfield pada 14 Oktober 2017, laga berlangsung membosankan karena pasukan Mourinho bertahan total dengan menempatkan delapan pemain di sekitar kotak penalti dan kuartet tajam Liverpool, Coutinho, Sadio Mane, Roberto Firmino, dan Mohamed Salah, gagal mencetak gol dan harus puas dengan hasil imbang tanpa gol.
Sepanjang sejarahnya, United dan Liverpool telah bertemu sebanyak 227 kali, dan ”Setan Merah” unggul dengan memenangi 87 laga di antaranya, sementara ”Si Merah” memenangi 75 laga, sedangkan 65 laga berakhir imbang.