”The Old Lady”, julukan Juventus, divonis ”nyaris mati” setelah ditahan Spurs, 2-2, pada duel pertama di Turin, Italia, Februari lalu. Juve kemudian divonis ”mati” setelah Spurs unggul 1-0 di akhir babak pertama laga kedua di Wembley, kemarin.
Vonis itu dikuatkan oleh rekor mentereng Spurs di Wembley. Sebelum melawan Juve, Spurs tidak terkalahkan di 15 laga di kandang sementaranya itu, 13 laga di antaranya berakhir dengan nilai sempurna. Tim-tim besar seperti Liverpool, Arsenal, Manchester United, dan Real Madrid silih berganti terkapar di sana.
Spurs memang ibarat ”megabintang” musim ini. Didukung mayoritas pemain muda, rata-rata 25,7 tahun, skuad ”Lili Putih” bermain agresif dan energik. Hampir di tiap laga di Wembley, Spurs membuat tamunya terpojok. Taktik menyerang itu membuat Madrid dan Borussia Dortmund ”KO” dengan skor 1-3 pada duel-duel Liga Champions sebelumnya di Wembley.
Juve, salah satu tim tertua di Liga Champions musim ini dengan rata-rata usia pemain hampir 30 tahun, hampir menderita kekalahan serupa. Barisan bek tua mereka, seperti Andrea Barzagli (36), sempat jadi bulan-bulanan kelincahan pemain Spurs macam Son Heung-min (25).
Ibarat ring tinju, di sepanjang babak pertama, Lili Putih terus melayangkan jab dan hook bertubi-tubi ke wajah Juve. Tim tamu hanya bisa melindungi diri di pojok ringnya. Juve pun terjatuh di matras setelah hook lemah Son tidak mampu ditangkis kiper 40 tahun Juve, Gianluigi Buffon, jelang turun minum.
Runner-up Liga Champions di musim lalu itu tidak mampu balik menekan Spurs yang mengumbar tenaga di babak pertama. Seperti menyimpan tenaga, serangan Juve hampir selalu kandas di tengah. Dalam kondisi tertinggal agregat gol 2-3 dan harus membuat minimal dua gol untuk lolos ke perempat final, Allegri mengubah taktik permainan pada menit ke-60.
”Itu waktu yang tepat bagi saya melakukan pergantian (pemain). Saya melihat stamina para pemain Spurs mulai menurun saat itu,” ujar Allegri.
Ia mengganti bek tengah Mehdi Benatia dan gelandang Blaise Matuidi dengan dua pemain bertahan lainnya, Kwadwo Asamoah dan Stephan Lichtsteiner. Sistem permainan Juve pun berubah dari pola 3-5-2 menjadi 4-3-3.
Juve seolah menjadi tim berbeda sejak pergantian taktik itu. Mereka jadi lebih bertenaga. Aliran bola, baik di lini sayap maupun tengah, lebih lancar. Satu jab Juve membuat Spurs terjatuh pada menit ke-64. Gol itu tercipta berkat asis Lichtsteiner yang dioptimalkan Gonzalo Higuain.
Saat itu, intensitas Spurs telah jauh menurun karena terlampau nafsu menyerang di sepanjang 60 menit sebelumnya. Kondisi rentan, dengan pertahanan terbuka, itu tak disia-siakan Juve dengan melepaskan pukulan uppercut yang dieksekusi penyerang kidal Paulo Dybala pada menit ke-67. Dua pukulan maut, hanya dalam rentang empat menit, membuat Lili Putih terkapar KO dan tidak lagi mampu bangkit. Spurs kalah agregat gol 3-4.
”Itu menyakitkan, tetapi inilah sepak bola. Dari laga ini kami bisa belajar sesuatu,” ujar Son yang menangis seusai laga.
Maestro taktik
Ya, skuad muda Spurs perlu belajar kepada Juve yang kaya pengalaman dan juga kepada Allegri yang piawai dan fleksibel menerapkan taktik di sebuah laga. Kelihaian serupa membawa Juve menyingkirkan Barcelona di perempat final Liga Champions musim lalu. ”Allegri adalah maestro taktik,” tulis ESPN.
Namun, Allegri justru mengalihkan pujian itu ke pemainnya. ”Mereka inilah yang memenanginya, bukan saya,” ujarnya.
Menurut Giorgio Chiellini, bek Juve, kemenangan itu tidak terlepas dari pengalaman mereka di Liga Champions. ”Dari tahun ke tahun, kami belajar dan bertumbuh. Namun, kami harus lebih baik (untuk juara),” ujar bek tengah tangguh itu. (AFP/JON)