Dilematisnya Ancaman Boikot Inggris
Inggris boleh saja mengklaim diri sebagai negara tempat kelahiran sepak bola modern, tetapi prestasi global mereka jauh tertinggal dibandingkan negara-negara kiblat sepak bola dunia lainnya. Sepanjang sejarah sepak bola modern, negeri dengan tradisi kompetisi dan turnamen paling tua tersebut hanya sekali menjadi juara, yakni pada 1966, dan tak pernah melebihi babak semifinal dalam beberapa kesempatan Piala Dunia setelahnya.
Maka, wacana memboikot Piala Dunia 2018 di Rusia yang meletup sepekan terakhir ini tampaknya hanya akan berimbas buruk ketimbang keuntungan diplomatik negara itu di pergaulan dunia internasional.
Wacana boikot Piala Dunia 2018 di Rusia muncul setelah Inggris secara resmi menuduh Rusia sebagai pelaku serangan bahan kimia mematikan (nerve agent) terhadap mantan mata-mata Sergi Skripal (66) dan putrinya, Yulia (33), 4 Maret lalu di Salisbury, Inggris. Zat kimia mematikan tersebut diidentifikasi sebagai Sergi ”Novichok” yang dikembangkan Uni Soviet semasa Perang Dingin pada dekade 1980-an dan 1990-an.
Agen-agen intelijen Rusia memang dikenal sangat ahli dalam ”mematikan” para musuh Kremlin dengan meracuni mereka di mana pun berada. Mantan intelijen militer Skripal dan putrinya kini dalam kondisi kritis tetapi stabil dalam perawatan di rumah sakit.
Skripal dihukum Kremlin karena terbukti memasok data rahasia kepada badan intelijen Inggris M16 pada 2004, tetapi kemudian mendapat suaka dari London pada 2010 lewat program ”pertukaran mata-mata”.
Kepada Parlemen, Perdana Menteri Theresa May mengatakan, Moskwa bisa dipastikan berada di balik serangan tersebut dan memerintahkan kepada Menteri Luar Negeri Boris Johnson memanggil Duta Besar Rusia yang diminta menjelaskan ”secara lengkap dan terbuka” tentang program Novichok.
Lebih jauh, London juga mengusir 23 diplomat Rusia dan memberi waktu satu pekan untuk meninggalkan negara itu. Tindakan May kontan mendapat respons keras dari Kremlin.
Lewat Menlu Sergei Lavrov, Kremlin langsung membalas tindakan itu juga dengan mengusir 23 diplomat Inggris dari Moskwa. Lavrov juga menyangkal keras tuduhan PM May yang dikatakannya sangat absurd dan tidak berdasar. Lavrov juga menuduh Pemerintah Inggris hanya ingin mencari simpati rakyat setelah gagal keluar dari Uni Eropa (Brexit) dengan mulus.
Di luar usir mengusir diplomat dengan asas resiprokal tersebut, wacana boikot Piala Dunia 2018 muncul secara tak terkendali. Menlu Johnson, awal pekan ini mengangkat isu tersebut meskipun kemudian disangkal sumber yang dekat dengan kementerian luar negeri dengan mengatakan, yang dimaksud Johnson adalah para pejabat negara, bukan tim ”The Three Lions” yang dipimpin Gareth Southgate.
Meski dibantah kementerian luar negeri, wacana pemboikotan Piala Dunia 2018 tetap mengangkasa liar. Ini karena sejumlah anggota parlemen Inggris tetap menekan pemerintah agar tidak mengirimkan pasukan ”The St George Cross” ke Rusia, Juni mendatang.
Anggota Parlemen yang paling vokal menyerukan boikot ini antara lain Tom Tugendhat, Komite Urusan Luar Negeri dan Chris Bryant, Ketua All Party Parliamentary Russia Group, dan mantan menteri bayangan urusan Budaya, Media dan Sports.
Atas desakan ini, Pemerintahan May tampaknya sangat berhati-hati. Sejauh ini May hanya mengatakan bahwa pajabat negara dan anggota Kerajaan Inggris dipastikan tidak akan hadir di Rusia.
Pernyataan resmi Downing Street No 10 ini mendapat dukungan dari Kerajaan yang mengeluarkan pernyataan resmi bahwa tidak ada rencana keluarga kerajaan hadir di Rusia untuk Piala Dunia 2018 yang akan berlangsung pada 14 Juni hingga 15 Juli tersebut.
Pernyataan Buckingham Palace sangat penting mengingat Pangeran William, urutan kedua ahli waris takhta Inggris, adalah Presiden Football Association (FA), badan tertinggi sepak bola Inggris. Sebagai Presiden FA di mana negaranya tampil sebagai kontestan Piala Dunia, Pangeran William wajib hadir di pesta paling akbar tersebut.
Tentang pejabat FA lainnya, PM May, seperti dikutip BBC mengatakan, dirinya yakin para pejabat itu akan memikirkan posisinya. ”Hadir di ajang olahraga adalah otoritas mereka,” kata May.
Sementara pihak FA mengatakan akan tetap bekerja sama dengan pemerintah dan otoritas lainnya. ”Prioritas kami adalah seluruh pertandingan Inggris berlangsung aman bagi semua, termasuk pendukung dan staf,” ujar pernyataan FA.
Terkait krisis diplomatik ini, Kantor Luar Negeri dan Pesemakmuran juga mengeluarkan peringatan tentang kemungkinan adanya sentimen anti-Inggris di Rusia nanti. Peringatan ini tampaknya lebih krusial mengingat bahkan tanpa ketegangan hubungan diplomatik sekalipun, kelompok-kelompok suporter radikal kedua negara sering bertikai dalam berbagai kesempatan.
Terakhir kali terjadi di Piala Eropa 2016 saat sekelompok hooligan Rusia yang memang dilatih untuk berbuat rusuh dan bersenjata menyerang kelompok-kelompok pendukung Inggris.
Sejauh ini, FIFA menolak berkomentar tentang kemungkinan Inggris memboikot PD 2018. Meski demikian, regulasi badan sepak bola dunia yang bermarkas di Zurich itu jelas mengatakan, negara yang memboikot ajang resmi mereka akan terkena sanksi keras. Jadi, jika Inggris yang lolos secara meyakinkan dalam babak kualifikasi akhirnya memutuskan memboikot Rusia, mereka akan dilarang tampil untuk gelaran berikutnya, Piala Dunia 2022 yang akan diselenggarakan di Qatar.
Regulasi FIFA menyebutkan, ”seluruh anggota asosiasi harus memainkan pertandingannya hingga tereliminasi dari Piala Dunia FIFA”. Pasal 6 dari Regulasi FIFA ini menyatakan pula, asosiasi (federasi sepak bola negara) yang mundur akan mendapatkan sanksi, termasuk dikeluarkan dari keanggotaan dan tidak disertakan dalam turnamen-turnamen di bawah bendera FIFA.
Sejarah boikot Piala Dunia
Jika sebagian politikus berkeras agar Inggris memboikot Rusia 2018, pihak FA tampaknya tidak ada rencana absen. Setelah babak kualifikasi yang menguras energi, menarik diri dari putaran final Piala Dunia tampaknya bukan pilihan bagus ditinjau dari sisi apa pun. Namun, jika akhirnya Inggris memutuskan memboikot, pilihan itu bukanlah yang pertama kali sebuah tim yang lolos putaran final Piala Dunia mengundurkan diri.
Laman BBC tengah pekan lalu mengungkapkan, sejak pertama digelar pada 1930 di Uruguay, sejumlah negara, dengan alasan dan latar berbeda-beda pernah mengundurkan diri atau memboikot Piala Dunia.
Pada gelaran 1934 di Italia, juara bertahan Uruguay—yang menjadi juara pada Piala Dunia 1930—menolak mempertahankan gelarnya di negeri spageti tersebut. Uruguay sejatinya melakukan protes atas minimnya peserta dari Benua Eropa saat Uruguay menjadi tuan rumah pada 1930.
Uniknya, dengan alasan berbeda, negara-negara Britania Raya, yakni Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia, juga menolak berpartisipasi di Italia. Alasan ”geng Britania” ini pun unik, bahkan absurd. Mereka mengatakan, kejuaraan-kejuaraan mereka sendiri ”jauh lebih bermutu” dibandingkan apa pun yang digelar FIFA. Anggota komite FA kala itu, Charles Sutcliffe, mengatakan, Piala Dunia FIFA merupakan sebuah ”lelucon”.
Pada tahun itu, India mengundurkan diri setelah FIFA melarang tim Asia itu bermain tanpa sepatu, alias cekeran.
Empat tahun kemudian di Perancis, Uruguay meneruskan aksi boikotnya. Tim biru langit itu bergabung dengan ”Tim Tango” Argentina yang juga menolak hadir di Perancis, tetapi dengan alasan berbeda. Federasi Sepak Bola Argentina memprotes FIFA yang menunjuk Perancis sebagai tuan rumah, sementara Argentina berharap merekalah tuan rumah dengan asumsi penyelenggara bergilirian antar-Benua Eropa dan Amerika.
Setelah Piala Dunia 1938 Perancis, ajang agung ini absen hingga tahun 1950 akibat Perang Dunia II yang mencapai titik kulminasinya. Uruguay yang kembali menjadi tuan rumah, sementara sejumlah negara Eropa masih berbenah akibat dampak kehancuran yang dihasilkan perang dunia.
Pada tahun itu, India mengundurkan diri setelah FIFA melarang tim Asia itu bermain tanpa sepatu alias cekeran. India beralasan, pada Olimpiade 1948 London, tim sepak bola India diizinkan bermain tanpa alas kaki, lantas mengapa di Piala Dunia tidak diizinkan? Di London, mereka tampil bagus dan membanggakan karena sangat bersemangat tampil pertama kali di ajang internasional sebagai negara merdeka setelah lepas dari penjajahan Inggris.
Indonesia menarik diri
Untuk pertama kali pada 1950, FIFA mengundang empat negara Asia untuk ikut kualifikasi Piala Dunia Brasil. Mereka yang diundang adalah India, Indonesia, Filipina, dan Burma (kini Myanmar). Namun, tiga negara terakhir mengundurkan diri dengan alasan yang tidak diungkapkan, walhasil India-lah yang otomatis lolos ke putaran final di Brasil.
Tahun itu, bukan hanya India yang mundur. Skotlandia pun menolak hadir di Brasil. Alasannya, mereka hanya akan pergi ke Piala Dunia jika menjadi juara di tanah Inggris. Ketika mereka kalah bersaing dengan Inggris, Skotlandia menolak ikut serta meskipun FIFA memberikan lampu hijau.
Setelah gelaran yang mulus pada 1954 di Jerman, kualifikasi Piala Dunia 1958 dipenuhi dengan aksi boikot masal berbau politik, yakni tampilnya Israel di babak kualifikasi di Konfederasi Asia (kini Israel masuk Konfederasi Eropa).
Sejumlah negara, dipelopori Turki, Indonesia, Mesir, dan Sudan, menyatakan keberatan dan mundur dari kualifikasi.
Sebagai wakil Asia, Israel mendapat undian berlaga melawan tim dari Asia ataupun Afrika. Sejumlah negara, dipelopori oleh Turki, Indonesia, Mesir, dan Sudan, menyatakan keberatan dan mundur dari kualifikasi.
Walhasil, Israel mendapatkan satu tempat di putaran final Piala Dunia 1958 di Swedia tanpa menendang bola satu kali pun. Namun, FIFA kemudian membuat keputusan penting, yakni melarang tim tampil di putaran final (selain tuan rumah dan juara bertahan) tanpa bertanding di babak kualifikasi.
Israel akhirnya diperintahkan bertanding melawan tim terbaik yang tidak lolos kualifikasi Eropa, yakni Wales. Israel kalah dan akhirnya Wales yang melaju ke Swedia. Inilah untuk pertama kalinya Wales tampil di Piala Dunia. Namun sayangnya, sejak itu negara bagian dari Britania Raya ini tak pernah lolos lagi ke Piala Dunia.
Wales sebenarnya menghasilkan pemain-pemain kelas dunia, sebut saja Ryan Giggs, legenda Manchester United yang mengantongi 13 gelar Liga Primer dan belasan piala lain bersama klub yang bermarkas di Old Trafford tersebut. Namun, tidak sekali pun Giggs tampil di Piala Dunia. Setelah era Giggs muncul era Gareth Bale yang dibesarkan Tottenham Hotspur dan menjadi bintang di Real Madrid. Sama seperti Giggs, Bale pun tidak pernah tampil di Piala Dunia.
Jika sebelumnya pemboikot Piala Dunia adalah negara individual, pada 1966 di Inggris, satu kontinen melakukan aksi boikot, yakni Afrika. Kisahnya bermula pada Januari 1964 saat FIFA memutuskan format baru putaran final dengan peserta 16 negara, termasuk tuan rumah Inggris, 10 tim dari Eropa, empat dari Amerika Latin, satu dari Amerika Tengah dan Karibia.
Keputusan itu menghasilkan satu saja tempat yang tersisa dan harus diperebutkan oleh tiga kontinen, yakni Afrika, Asia, dan Oseania. Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAF) marah dan pada Oktober 1964, seluruh 15 tim Afrika mundur dari kualifikasi. Kala itu, negara yang paling dirugikan adalah Ghana, juara Afrika 1963 dan 1965. Kalau saja mereka ikut, sejarah Piala Dunia 1966 barangkali akan berbeda.
Politik kembali menjadi pemicu boikot Piala Dunia. Pada putaran final Piala Dunia 1974 di Jerman Barat, Uni Soviet gagal tampil akibat menolak bertanding babak play off melawan runner-up Amerika Latin, Cile. Sebelumnya, Cile dilanda krisis politik dengan adanya kudeta militer dan menaikkan Jenderal Pinochet ke tampuk kekuasaan. Pinochet kemudian mengeksekusi para musuh politiknya di Stadion Santiago. Uni Soviet meminta FIFA laga itu dipindahkan ke stadion lain, tetapi FIFA tak bisa mengabulkan, dan Uni Soviet memilih tidak hadir.
Inggris juga nyaris absen di Piala Dunia 1982 setelah para pejabat negara berdiskusi tentang kemungkinan ”The Three Lions” bertemu Argentina, negara yang terlibat perang dengan mereka dalam perebutan Kepulauan Falkland (Argentina menyebutnya Islas Malvinas) pada 1981.
PM Margaret Thatcher dikabarkan sempat mengeluarkan perintah boikot guna menghindari pertemuan dengan Argentina pada babak lanjutan. Pada akhirnya, kekhawatiran Thatcher tidak terbukti karena semua tim Inggris Raya dan juga Argentina tersingkir di babak grup sebelum sempat bertemu di babak lanjutan.
Kali ini, dengan tingginya tensi antara Inggris dan Rusia akibat kasus Skripal, PM Teresa May memberi sinyal tidak akan pernah memerintahkan boikot Piala Dunia Rusia. May paham, selain ancaman sanksi FIFA, terlalu besar pengorbanan para atlet di lapangan hijau untuk bisa tampil di Piala Dunia, ajang yang menjadi impian tertinggi semua pemain sepak bola.