Jati Diri ala Koeman
Hasilnya? Belanda menggilas juara Eropa, Portugal, 3-0, dalam laga uji coba di Carouge, Swiss, Selasa (27/3) dini hari WIB. Itu kemenangan langka Belanda atas Portugal yang kaya talenta.
Sebelum laga itu, Oranye tidak pernah bisa membekap Portugal dalam 10 duel beruntun sejak 1991. Perubahan nyata itu tidak terlepas dari upaya Koeman yang menanamkan jati diri baru di tubuh tim Oranye.
Untuk pertama kali sejak 2014, Belanda akhirnya punya karakter jelas. Oranye, oleh Koeman, tidak lagi dibangun dari fondasi sepak bola rumit dan penguasaan bola ala total football. Sebaliknya, mereka kini lebih lugas, pragmatis, dan menjadikan pertahanan sebagai fondasi kekuatan.
Koeman menanggalkan pola 4-3-3 yang bertahun-tahun menjadi fondasi dan kebanggaan Belanda. Ia mengurangi kekuatan di lini tengah skuadnya dan menumpuk pemain di sayap lewat pakem 5-3-2 yang sukses dia terapkan di klub Feyenoord, Southampton, dan Everton.
”Kami memutuskan memakai sistem yang benar-benar berbeda dari sebelum-sebelumnya. Kami lebih nyaman dan mampu mencetak gol-gol secara cepat. Kami kembali percaya diri. Sistem ini berjalan baik dan akan terus kami terapkan,” ujar Koeman.
Pola taktik tersebut sebetulnya bukan hal baru. Louis van Gaal memakainya di Piala Dunia 2014. Saat itu, mereka finis ketiga dan mempermalukan juara bertahan Spanyol, 5-1, di penyisihan grup.
Cara Belanda menghajar Spanyol, tim yang paling mendekati gaya total football di era modern, mirip dengan yang dilakukan tim Oranye asuhan Koeman. Mereka membiarkan Portugal menguasai bola dan menghantam keras tanpa basa-basi melalui serangan sayap bola-bola silang. Duet Memphis Depay dan Ryan Babel di lini depan bak duo Arjen Robben dan Robin van Persie pada 2014.
Sejarah pun terulang. Van Gaal sempat dicibir para sesepuh total football, salah satunya almarhum Cruyff, karena dianggap menanggalkan kultur khas Belanda dengan mengedepankan sepak bola pragmatis. Namun, menariknya, Van Gaal mendapatkan inspirasi taktik serangan balik itu dari Koeman, murid Cruyff yang menjadi anggota ”Tim Impian” di Barcelona pada awal 1990-an.
Seperti ditulis The Guardian pekan lalu, Van Gaal terinspirasi taktik 5-3-2 saat menonton langsung Feyenoord versus PSV Eindhoven di Liga Belanda tiga bulan menjelang Piala Dunia di Brasil. Saat itu Feyenoord yang diasuh Koeman menang 2-0.
Ada alasan kuat Van Gaal dan Koeman memilih jalan tidak populer dengan mengusung taktik yang berseberangan dengan kultur sepak bola indah. Seperti pernah disampaikan Ruud Gullit, legenda Belanda lainnya, Oranye tak lagi dikaruniai barisan talenta hebat yang penuh kreasi dan imajinasi seperti Cruyff, Marco van Basten, dan Frank Rijkaard.
Barisan kreatif di masa modern seperti Robben dan Wesley Sneijder juga pensiun. Adapun Van Persie segera mengikuti jejak kedua rekannya itu.
Belanda saat ini dibangun dari barisan bek tangguh seperti Stefan de Vrij, Nathan Ake, Matthijs de Ligt, dan Virgil van Dijk. Mereka kini menjadi barisan bek termahal sejagat.
Namun, Koeman juga mengorbitkan barisan penyerang muda potensial seperti Justin Kluivert (18), anak legenda Patrick Kluivert. Ia menjalani debutnya di tim Belanda, kemarin.
”Saatnya kami kembali ke pentas dunia. Tugas saya adalah mengembalikan kebanggaan di tim ini,” ujar Koeman yang kini fokus menyiapkan skuad Oranye tampil di Liga Tim Nasional UEFA 2018.
Di kubu sebaliknya, bintang Portugal, Cristiano Ronaldo, gagal mengejar rekor 84 gol Ferenc Puskas di laga internasional. Ronaldo butuh tiga gol untuk menyamai rekor legenda Hongaria itu sebagai pencetak gol internasional terbanyak di Eropa.
(AFP/JON)