”Biasanya dari pendaratan kami menyewa angkot, bisa untuk enam orang sampai ke tempat take off (peluncuran), dengan hanya Rp 35.000. Sekarang ini angkot hanya bisa sampai pintu gerbang, kemudian dilanjut pakai motor menuju tempat take off. Biayanya Rp 5.000 per motor. Padahal, dalam sehari, teman-teman itu bisa lima sampai enam kali penerbangan. Jumlah atlet pun 22,” tutur pelatih tim nasional paralayang, Gendon Subandono, Selasa (3/4).
Jika dihitung kasar, lanjut Gendon, pembengkakan biaya transportasi atlet sekitar Rp 500.000 per hari. ”Di anggaran pelatnas, komponen biaya itu tidak ada,” ujar Gendon.
Ketua Paralayang Indonesia Wahyu Yudha membenarkan hal itu. Pihaknya bahkan sudah melakukan rapat dengan Gubernur Jawa Barat untuk segera mengatasi masalah longsor ini.
”Saya juga sudah meminta dukungan CdM (Ketua Kontingen Indonesia untuk Asian Games 2018) dan sedang diupayakan ada kendaraan operasional khusus yang leluasa naik-turun di Puncak. Namun, untuk akses menuju tempat take off itu, memang hanya bisa motor. Jadi, ya, sementara ini ditanggung bersama dulu oleh atlet dan PB (FASI),” tutur Wahyu menjelaskan.
Dari pemantauan Kompas, jalan yang longsor itu kondisinya sangat mengkhawatirkan karena ada kemungkinan bisa terjadi longsor susulan. Akses jalan itu perlu dipastikan aman saat Asian Games bergulir pada 18 Agustus-2 September karena ada mobilitas ratusan atlet ke tempat peluncuran.
Longsor susulan di kawasan Puncak Pass juga cukup mengkhawatirkan karena di seberang kawasan itu terdapat tempat peluncuran baru yang disebut Pasir Sumbul. Lokasi yang masih dalam proses pembangunan itu memang belum terganggu longsor. Namun, antisipasi potensi longsor perlu dilakukan sejak dini, termasuk akses jalan di sekitar Puncak Pass. Pada saat Asian Games, jalur itu akan digunakan untuk masuk-keluar atlet paralayang. (OKI)