Berpartisipasi dalam kegiatan ekstrem tak hanya butuh modal kondisi fisik prima. Lebih dari itu, atlet patut memiliki kesiapan mental yang tangguh guna mengarungi pertandingan yang keras. Apalagi, bagi mereka yang akan ikut serta lomba lari Lintas Sumbawa 320K di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang terkenal ganas. Tanpa mental yang tangguh, sulit bagi pelari menggapai garis finis lomba lari dengan jarak terjauh di Asia Tenggara tersebut.
Direktur Perlombaan Lintas Sumbawa 320K Lexi Rohi di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin (2/4/2018), menjelaskan, Lintas Sumbawa 320K adalah lomba lari yang diselenggarakan harian Kompas bersama sejumlah sponsor sejak 2015. Lomba ini diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatan Tambora Menyapa Dunia atau peringatan 100 tahun letusan dahsyat Gunung Tambora pada 1815. Tahun ini, lomba tersebut digelar selama 4-7 April untuk dua kategori, yakni full ultra/individu putra-putri dan relay/estafet putra-putri.
Para pelari full ultra harus menempuh jarak 320 kilometer dari start di Poto Tano, Sumbawa Barat, hingga finis di kaki Gunung Tambora di Doro Ncanga, Dompu. Adapun pelari estafet harus menempuh jarak lari 320 km itu secara bergantian. Pelari pertama lari lebih dulu dengan jarak 160 km. Selanjutnya, pelari kedua meneruskan 160 km yang tersisa.
Setiap pelari akan melalui tujuh titik pengecekan (check point/CP) sebelum sampai di finis. Setiap CP berjarak 40 km. Pelari harus mencapai CP sebelum batas waktu maksimal (cut-off time/COT) sembilan jam setiap CP. Total, pelari full ultra ataupun relay harus mencapai finis sebelum COT 72 jam. Apabila melewati COT, peserta dinyatakan gugur.
Di kalangan pelari, Lintas Sumbawa 320K terkenal sebagai lomba yang ganas. Selain aturan ketat, lomba lari ultra (berjarak lebih dari maraton/42K) itu memang memiliki rute lomba yang ekstrem. Suhu siang hari di Sumbawa bisa 38-48 derajat celsius. Panas terik dan sangat kering, mengingat lintasan melewati padang savana yang jarang ditumbuhi pohon dan dikelilingi laut luas. Bahkan, pada hari kedua lomba, Jumat (6/4) sekitar tengah hari, panas terik menyebabkan aspal jalan melepuh.
Beberapa pelari menyatakan, seolah ada sembilan matahari menyinari Sumbawa. Sejumlah pelari lain mengatakan, panas Sumbawa layaknya jarak matahari hanya sejengkal di atas kepala. Di sisi lain, jalur lomba memang tak mudah. Lintasannya tak rata, naik-turun karena melalui perbukitan.
Dengan segenap kondisi itu, faktor risiko Lintas Sumbawa 320K amat tinggi. Rute yang sangat jauh dan panas terik bisa memicu dehidrasi, cedera parah pada kaki, hingga puncaknya heat stroke yang bisa menyebabkan kematian. Hingga akhir lomba, dari 47 peserta yang terjun berlari, 20 peserta mundur (do not finish/DNF). Mereka terdiri atas 16 pelari full ultra dan 4 pelari relay.
Adapun para pelari yang berhasil finis, termasuk 18 pemenang—pemenang satu, dua, dan tiga untuk kategori full ultra putra-putri maupun relay putra-putri—hampir semua menyelesaikan lomba dengan membawa cedera dari kapalan (blister) di sekujur jari dan telapak kaki hingga cedera otot antara pinggul, paha, betis, dan engkel. ”Panasnya gila, saya seperti terbakar,” ujar pemenang kedua relay putri, Sri Wahyuni, yang mengaku Lintas Sumbawa 320K tahun ini akan menjadi lomba pertama dan terakhirnya.
Atas dasar itu, para pelari menyatakan, ikut lomba itu tak hanya butuh fisik prima, tetapi juga mental yang tangguh. Bahkan, beberapa pelari lain menyatakan, peran mental berpengaruh 99 persen, sedangkan fisik hanya 1 persen dalam lomba tersebut. ”Kalau fisik kita prima, tetapi mental lemah, kita tidak mungkin bisa menyelesaikan lomba itu. Sebab, rasa lelah dan panas terik luar biasa itu bisa terus menggoda pelari untuk menyerah,” kata William Binjai, juara full ultra putra Lintas Sumbawa 320K sekaligus pemecah rekor kategori itu dengan waktu 62 jam 26 menit 7 detik. (ADRIAN FAJRIANSYAH)