Bayern yang Memesona Sekaligus Membosankan
Akhir pekan lalu, Bayern Muenchen memastikan diri menjuarai Bundesliga, untuk keenam kali secara beruntun. Dengan kompetisi Liga Jerman masih menyisakan enam laga, raksasa Bavaria itu mengukuhkan kembali dirinya sebagai des Dauerchampions, pemenang abadi, setelah mengalahkan tuan rumah Augsburg, 4-1 di WWK Arena.
Ditopang oleh kekuatan finansial layaknya gurita konglomerat sepakbola, klub yang berdiri pada tahun 1900 tersebut total telah merebut 28 gelar juara Jerman, jauh melampaui pencapaian tim mana pun di negara itu.
Bagi tim sekelas Bayern, juara level domestik barangkali sudah menjadi rutinitas, dan celakanya membosankan bagi para penikmat sepak bola yang bukan penggemar mereka. Bundesliga menjadi sangat menjemukan karena seolah “kompetisi formalitas” untuk mengantarkan Bayern ke tahkta abadinya.
Dengan sisa pekan yang tidak lagi menentukan, tim asuhan Jupp Heynckes ini tinggal berkonsentrasi pada level yang lebih bergengsi, Liga Champions Eropa (UCL). Melaju ke semifinal setelah mengalahkan wakil Spanyol, Sevilla dengan agregat 2-1, Bayern dan Heynckes benar-benar berambisi mengulang prestasi treble winners, tiga gelar mayor dalam satu musim seperti yang mereka lakukan lima tahun lalu.
Dengan final piala liga, DFB Pokal di depan mata, tantangan terbesar Bayern memang hanya tinggal menaklukkan Eropa, bersaing dengan raksasa Spanyol, Real Madrid, wakil Italia AS Roma, serta wakil Inggris, juara lima kali UCL Liverpool.
Pencapaian treble oleh Heynckes pada 2013 hanya selang satu musim setelah pada 2012 mereka secara menyakitkan tumbang di kandang sendiri lewat drama adu penalti melawan Chelsea. Kepahitan itu juga yang menjadi energi ekstra bagi Bayern untuk bangkit.
Sejalan dengan semakin kuatnya Bayern, klub lain di Bundesliga justru mengalami pelemahan. Di kancah paling bergengsi antarklub Eropa, Bayern pun mengalami penurunan prestasi, gagal bersaing terutama dengan dua raksasa Spanyol, Real Madrid dan Barcelona. Klub-klub Bundesliga lain, bahkan turun ke strata tiga kompetisi Eropa, baik di UCL maupun Liga Europa.
“Sejauh ini di kompetisi internasional, Bundesliga telah kehilangan kesempatan untuk menunjukkan diri sebagai salah satu kompetisi terbaik di dunia,” ujar CEO Bundesliga Christian Seifert seperti dikutip Associated Press. Berbicara pada evaluasi tahun baru, awal 2018 lalu, Seifert dengan tegas mengkritik tim-tim Jerman, termasuk Bayern yang tampil “rata-rata” alias medioker di kancah Eropa.
Sejumlah pengamat menilai, turunnya kinerja klub-klub Jerman di Eropa tidak lepas dari dominasi yang terlalu kuat oleh Bayern Muenchen. Di Bundesliga, tim Bavaria itu nyaris tidak punya lawan sepadan dalam persaingan menjadi juara, dan itu berlangsung sejak musim 2011-12 berurut-turut.
Sejumlah pengamat lain mencoba memberikan solusi untuk mengatasi problema ini. Dalam analisisnya yang mendalam, jaringan media terkemuka Deutsche Welle merangkum pendapat pada ahli tentang bagaimana mengatasi masalah ini, mulai dari penghapusan peraturan kepemilikan klub 50 + 1, sistem draft ala Amerika Serikat, sampai format baru kompetisi Bundesliga untuk membuat persaingan semakin terbuka.
Format baru Bundesliga
Dalam kolomnya di laman t-Mobile, mantan kapten Bayern, Stefan Effenberg, menuliskan idenya untuk membuat Bundesliga semakin menarik dengan persaingan ketat tiap musimnya. Effenberg mewacanakan kompetisi dipecah menjadi dua liga yang terdiri dari grup acak berjumlah sembilan tim (Grup A dan Grup B), dengan setiap tim di dalam grup berkompetisi kandang dan tandang pada periode sebelum Natal.
Setelah Natal, dua grup baru dibentuk (Grup 1 dan Grup 2). Grup 1 berisi empat tim teratas Grup A dan Grup B, plus satu tim peringkat lima terbaik. Grup 1 kemudian memulai kembali kompetisi dengan kembali ke titik nol. Kesembilan tim itu berkompetisi hingga akhir musim untuk mencari juara dan jatah ke persaingan Eropa. Sisa sembilan tim lainnya baku hantam untuk menghindari hukuman degradasi.
Effenberg yakin, dengan format baru ini, tidak akan ada juara yang dimahkotai jauh sebelum kompetisi berakhir, seperti yang selalu berulang pada Bayern dalam enam musim terakhir. Format ini juga memungkinkan tim yang pada paruh pertama tidak terlalu banyak bicara, mampu menjadi juara di akhir musim akibat start kembali ke nol pada awal musim atau pada periode pasca Natal.
Mantan pemain yang selama tujuh tahun memperkuat tim nasional Jerman ini juga menambahkan, format yang dia usulkan tidak memengaruhi penjadwalan, administrasi dan pengorganisasian kompetisi. Effenberg menambahkan, dengan format ini, pengundian grup di awal musim juga akan menjadi ajang yang sangat menarik.
Ide Effenberg bukan tanpa kecaman. Wartawan senior harian Frankfurter Rundschau, Frank Hellman mengatakan wacana tersebut absurd dan “omong kosong”. Menurut Hellman, format tersebut berpotensi menghilangkan laga tradisional yang selalu menjadi warna khusus di Bundesliga, semisal derbi Revier antara Dortmund dan Schalke. Lagi pula, kata Hellman, format tersebut tidak menjamin hilangnya dominasi dan superioritas Bayern Muenchen.
Berbeda dengan Effenberg, sejumlah pengamat meyakini, aturan kepemilikan 50 + 1 klub-klub Jerman telah membuat Bundesliga tidak kompetitif dalam persaingan industri sepak bola Eropa yang bernilai bisnis puluhan miliar euro. Aturan 50 + 1 mengatakan, klub profesional Bundesliga harus dimiliki sahamnya oleh 50 persen plus satu oleh klub-klub olahraga yang menyokong tim tersebut. Aturan ini memagari kepemilikan mayoritas oleh investor asing.
Aturan kepemilikan 50 + 1 klub-klub Jerman telah membuat Bundesliga tidak kompetitif dalam persaingan industri sepak bola Eropa yang bernilai bisnis puluhan miliar euro.
Aturan ini, oleh para penentangnya dianggap membonsai klub-klub Bundesliga karena menghalangi investor menanamkan modal untuk mendorong ekonomi klub sehingga pada akhirnya klub-klub Jerman tidak kompetitif di persaingan internasional. Salah satu penyokong modal klub Hannover 96, Martin Kind, adalah tokoh penentang keras aturan 50 + 1.
Dia mengatakan, ketika bagian benua Eropa lain membuka lebar-lebar pintunya pada investor asing dari Amerika dan negara-negara Arab serta Asia, Jerman malah menutup diri. Akibatnya di liga domestik, klub-klub tak mampu bersaing dengan Bayern Muenchen, demikian pula menjadi inferior saat berkompetisi di Eropa.
Meski demikian, argumen Kind pun tidak mendapatkan pembenaran jika berkaca pada sejumlah negara dimana investor dari negara-negara Arab dan Rusia menguasai saham mayoritas klub-klub elite. Di Perancis, kelompok investor Arab telah membuat klub Paris St Germain begitu dominan. Sementara di Inggris, dimana persaingan relatif lebih seimbang, Manchester City yang juga dipunyai oleh kelompok investor Qatar, hampir dipastikan menjadi juara Liga Primer dengan keunggulan poin digit ganda dari pesaing terdekatnya.
Argumen Kind juga patah oleh fenomena yang terjadi di Liga Spanyol. Barcelona dan Real Madrid yang sahamnya dikuasai kelompok bisnis pendukung, merajai kompetisi dalam dua dekade terakhir.
Hak siar televisi
Deutche Welle juga menganalisa, Bayern Muenchen yang merupakan klub terkaya keempat di dunia menurut versi Deloitte juga menguasai perolehan hak siar televisi berkat penampilannya yang konsisten di UCL. Bayern menerima total 150 juta euro untuk hak siar televisi lokal dan internasional. Angka itu termasuk 95,84 juta euro dari DFL (Liga Sepak Bola Jerman) dan 54,76 juta euro dari Liga Champions. Mereka juga menerima sekitar 50 juta euro untuk prestasi lolos ke babak semifinal UCL musim ini.
Sebagai perbandingan, pesaing terdekat Bayern dalam hal pendapatan hak siar televisi adalah Dortmund, dengan total 139 juta euro, dan Borussia Moenchengladbach yang menerima 98 juta euro. Bundesliga sendiri menerima 4,64 miliar euro dari televisi pemegang hak siar dan dibagikan kepada klub-klub dua strata tertinggi antara musim 2017-18 hingga 2020/21.
Bayern yang memang selalu menjadi pelanggan tetap UCL, tentu mendapatkan keuntungan berlipat ganda dari sisi finansial. Apalagi mereka juga langganan masuk ke babak gugur sehingga dibandingkan klub-klub Jerman lain yang sering hanya sampai babak grup, klub Bavaria tersebut semakin sulit disaingi dalam hal kejayaan finansial.
Meski demikian, klub-klub Jerman pelanggan UCL pun seharusnya mawas diri. Klub seperti Dortmund, Leverkusen, Schalke, dan Monchengladbach terbilang langganan ajang paling bergengsi tersebut namun gagal mengkapitalisasi pendapatan finansial mereka menjadi faktor untuk bersaing dengan Bayern di kancah domestik.
Dengan segala fenomena dan latar belakang yang tidak seideal Bayern, klub seperti Dortmund yang juga telah mempunyai merek global, gagal mempertahankan pemain-pemain terbaiknya. Tidak solidnya manajemen klub membuat pelatih sekaliber Thomas Tuchel tidak betah berada di klub mahsyur itu, dan segera mengakhiri kontraknya.
Klub seperti Schalke yang selalu menghasilkan bintang-bintang muda, dengan mudah kehilangan mereka. Paling akhir adalah Leon Goretzka, yang bersiap hijrah ke klub lain menyusul Julian Draxler, Mezut Oezil, Leroy Sane, dan Manuel Neuer yang memilih pergi dari klub berjuluk "Royal Blues" tersebut.
Bayern, dengan segala kemewahan yang mereka miliki, tentu tidak pernah punya masalah seperti Dortmund atau Schalke, atau semua klub di Bundesliga. Manajemen mereka solid dengan hirarki yang sangat jelas. Dan sudah tentu berkat merek globalnya yang megah, klub tersebut telah lama menjadi impian setiap pemain terbaik di dunia sampai-sampai julukan tim Hollywood melekat pada klub paling kaya sejagat dari sisi permodalan sendiri (equity) tersebut.
Tidak ada yang salah menjadi besar dan megah serta dominan dalam industri sepak bola. Namun fenomena Bayern perlu dicermati lebih jauh agar Bundesliga tidak kehilangan daya tarik dan daya kompetisinya di level internasional.
Seperti diingatkan CEO Bundesliga Christian Seifert, bahwa Bundesliga harus mengubah perilakunya agar tetap bisa menarik dan mendapatkan penonton yang kompetitif dengan liga-liga lain di Eropa yang lebih atraktif dalam menjaring penonton, terutama penonton televisi. “Karena bagaimana pun persaingan di Bundesliga masih sangat sehat, dengan catatan tidak menyertakan Bayern Muenchen di dalamnya,” ujar Seifert.
Dalam kompetisi di level Eropa, melajunya Bayern ke semifinal barangkali akan sedikit meredam “kontroversi” dominasi mereka yang terlampau tinggi di Bundesliga. Tim asuhan Heycnkes ini punya peluang sangat besar untuk mengulang prestasi treble yang mereka raih pada 2013.
Di UCL, lawan terberat mereka barangkali tinggal menyisakan juara bertahan Real Madrid, yang musim ini tampil buruk namun sukses melaju ke semifinal dengan menyisakan kontroversi hadiah penalti pada detik-detik terakhir.