Gelar Dobel dan Awal Perjuangan Valverde
Barcelona memastikan diri menjadi juara La Liga Spanyol, sebuah hal yang rutin dalam satu dekade terakhir. Namun kali ini, gelar juara yang dikunci di Stadion Riazor bukanlah sebuah perjalanan yang mulus.
Dan meskipun Barca memastikan dua gelar musim ini, pencapaian klub kebanggaan Katalonia ini penuh onak duri dan ingatan pahit tentang kegagalan di pentas Eropa. Perpisahan dengan legenda Andres Iniesta pun menyisakan pekerjaan yang sangat berat bagi pelatih Ernesto Valverde untuk mengarungi musim depan yang lebih terjal.
Hari Minggu lalu di Riazor, kandang Deportivo La Coruna, pemandangan kontras terlihat di sudut yang berbeda begitu wasit meniup peluit panjang. Barca menang 4-2, sekaligus memastikan gelar La Liga yang ketujuh dalam sepuluh tahun terakhir atau gelar ke-25 sepanjang sejarah. Di kutub yang lain, kekalahan bagi Depor juga mengirim Deportivo ke Divisi Segunda, kembali terdegradasi ke La Liga 1.
Mereka merayakan gelar juara dengan menari dan menyanyi, sangat riuh dengan teriakan-teriakan ”una barbariedad”, ”vamos”, mengagumkan, hebat... nyaris sempurna!
Hujan yang turun rintik seolah mewakili kesedihan para pemain Deportivo dan sejumlah ofisial yang membentuk lingkaran. Sebagian besar menundukkan kepalanya, mengusap air mata yang mengalir perlahan namun pahit. Pelatih Clarence Seedorf—pelatih ketiga musim ini—bicara lirih.
”Kalian harus keluar dengan kepala tegak!” kata pelatih asal Belanda itu. ”Kami tak perlu malu, tetapi kenyataan ini memang sulit diterima,” kata Seedorf seperti dikutip The Guardian, awal pekan ini.
Di sudut yang lain, sekelompok pemain Barca berkostum merah marun, bekelompok dalam lingkaran yang lebih besar, menari Sardana, tarian melingkar khas Katalonia. Mereka merayakan gelar juara dengan menari dan menyanyi, sangat riuh dengan teriakan-teriakan ”una barbariedad”, ”vamos”, mengagumkan, hebat... nyaris sempurna!
Ya, Barcelona mengunci gelar dengan empat pekan La Liga masih tersisa, dan mereka belum terkalahkan sepanjang musim. ”Musim yang nyaris sempurna!” kata Sergio Busquets, gelandang Barca.
Ya, musim yang nyaris sempurna, atau mungkin justru tidak sempurna? Apa pun, Barcelona kini merintis pencapaian lain, menjadi tim pertama sejak 1932—ketika jumlah laga total hanya 18—yang menjadi juara tanpa kalah dalam semusim.
Masih ada empat laga tersisa, dan salah satunya adalah El Clasico melawan seteru abadi Real Madrid di Camp Nou, akhir pekan ini. Bagi Barca, setelah mengalahkan El Real musim ini di Bernabeu, tentu double kali ini sepenting gelar ganda yang mereka dapatkan setelah sukses dengan Copa Del Rey.
Inilah gelar ganda kedelapan bagi Barcelona sepanjang sejarah sejak berdiri pada 29 November 1899. Wartawan senior majalah sepak bola terkemuka World Soccer, Sid Lowe, menulis Barcelona pertama kali merebut gelar ganda pada 1952 dan kemudian mengulangi prestasi serupa setahun kemudian. Itu adalah era saat Alfredo di Stefano belum bergabung dengan Real Madrid dan masa sebelum Kejuaraan Eropa.
Sejak itu, Barcelona memenangi gelar ganda pada 1959, 1998, 2009, 2015, 2016, dan kini 2018. Dari pencapaian itu, mereka juga dua kali menggabungkan juara Eropa sehingga mencapai treble, sebuah pencapaian yang gemilang meski di pentas Eropa, Barca tetap berada di bawah bayang-bayang ”El Real” yang memenangi 12 gelar Kejuaraan Eropa/Liga Champions jauh lebih banyak dan mencapai final ketiga dalam tiga tahun terakhir.
Sukses di Riazor juga ditandai oleh hat-trick yang dilakukan oleh siapa lagi kalau bukan jimat mereka, Lionel Messi. Ini adalah hat-trick Messi yang ke-46 bagi Barcelona dan Argentina sepanjang karier profesionalnya. Lebih dari itu, ini adalah gelar kesembilan La Liga bagi Messi yang musim ini mencetak 31 gol dan 12 asis. ”Anda bisa menghentikan Barcelona, tapi tidak Leo Messi,” ujar Seedorf selepas laga yang getir di Riazor.
Meski begitu, bukan hanya Messi yang menikmati multigelar bersama Barca. Iniesta, kawan karib Messi sejak di akademi La Masia, juga menikmati gelar kesembilan La Liga dari 32 gelar mayor yang pernah diraih pemain yang segera hijrah ke Liga China tersebut. Sementara dua yunior mereka, Gerard Pique dan Sergio Busquets, menikmati gelar ketujuh La Liga.
Deretan Piala yang Diraih Barcelona | |
Liga Spanyol | 25 |
Liga Champions Eropa | 5 |
Piala Raja (Copa del Rey) | 30 |
Cup Winners Cup Eropa | 4 |
Piala Super Eropa | 5 |
Piala Dunia Antarklub FIFA | 3 |
Piala Super Spanyol | 11 |
Piala Liga Spanyol | 2 |
Awal yang berat
Bagi banyak orang, Barcelona juara La Liga bahkan gelar ganda bersama Piala Raja tampaknya hal mudah, tidak sekadar rutin. Namun, tidak bagi Valverde yang sempat merasa ”salah waktu” saat datang ke Camp Nou, musim panas lalu. Kala itu, Barcelona seolah dalam krisis di dalam dan di luar lapangan.
Neymar pergi ke Paris St Germain, Philippe Coutinho belum jelas datang atau tidak, presiden klub tidak dipercayai oleh para pemegang saham, Pique terlibat urusan ”pemberontakan” karena terang-terangan mendukung kemerdekaan Katalonia, dan baru saja dipermalukan Real Madrid dalam ajang Piala Super.
Pique meratap setengah menangis. ”Untuk pertama kalinya saya merasa berada di klub yang inferior,” ujarnya setelah kegagalan besar di Piala Super.
Namun, Valverde dengan tekun membangun kembali kepercayaan diri pasukan ”El Barca”. Saat jadwal La Liga resmi dirilis, Valverde tersenyum, ada cukup ruang untuk optimistis pada pekan-pekan awal.
Benar saja, Barca memenangi tujuh laga awal dan memasuki pekan ke-11 dengan 10 kemenangan. Memasuki Desember, pasukan Valverde ditahan Valencia dan Atletico Madrid, tetapi mereka memasuki libur Natal dengan riang setelah menumbangkan Real Madrid 3-0 di Bernabeu.
Tujuh belas pekan setelah luluh lantak di Super Cup, mimpi buruk dan bayangan inferior Pique seolah lenyap ditelan bumi. Barcelona bertengger di puncak klasemen La Liga dengan posisi sangat superior dibandingkan Real Madrid, selisih 14 poin. Valverde terus memelihara suasana penuh gairah ini sekaligus membangkitkan lagi perasaan superior yang pernah hilang.
Barcelona bertahan dengan kemenangan demi kemenangan atau bertempur habis-habisan untuk tidak kalah. Kadang mereka tertinggal, tapi terus berjuang sampai menit akhir. Kiper Marc-Andre ter Stegen kerap menjadi pahlawan dengan penampilan gemilang.
Saat menghadapi Atletico, Barca membuka pintu lebar-lebar ke takhta juara. Saat menghapi Sevilla, rekor tak terkalahkan tampaknya akan berakhir, tetapi Messi menyelamatkan perasaan superior mereka.
”Kami paham betapa sulitnya memenangi liga ini,” ujar Messi seperti dikutip The Guardian. ”Kami mengalami momen buruk tetapi berhasil mengatasi lawan-lawan tanpa kalah. Kami harus merayakan ini,” lanjut Messi yang pada Senin lalu fotonya terpampang besar di halaman depan koran terkemuka Marca, dengan tulisan besar, ”Liga Milikmu!”
Perjalanan masih panjang
Hari Senin lalu, setengah warga kota Barcelona turun ke jalanan menyambut Messi dan kawan-kawan yang baru tiba dari A Coruna. Mereka merayakan keberhasilan Barcelona merebut gelar ganda La Liga dan Piala Raja. Dalam suasana penuh riang tersebut, mereka paham, Barcelona masih menyimpan duka setelah kegagalan di Roma.
Valverde sendiri mengakui, di antara kesuksesan mereka, Roma merupakan noda hitam dalam ingatan. Busquets menambahkan, kehancuran di Roma merupakan pengalaman terburuknya selama karier sepak bola.
Terlebih mereka juga paham, Real Madrid tengah merintis jalan menjadi klub pertama yang tiga kali beruntun menjadi juara Eropa, sebuah pukulan yang sangat telak bagi Barcelona. Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan berhasil menggusur favorit kuat Bayern Muenchen dengan keunggulan agregat 4-3.
Sebaliknya bagi Barcelona, pentas Eropa dalam tiga musim terakhir adalah mimpi buruk. Mereka selalu tersingkir di babak perempat final, terlebih setelah kekalahan 0-3 oleh AS Roma di Olimpico setelah menang 4-1 di Camp Nou. Namun, kekalahan besar bukan hanya musim ini.
Dua musim sebelumnya, mereka pun tergusur di perempat final setelah kalah telak 0-4 di tangan Paris SG dan 0-3 oleh Juventus. Rentetan kegagalan ini tak urung menimbulkan tuduhan bahwa para pemain bintang Barca telah kehilangan elan untuk mencapai sukses Eropa setelah rentetan keberhasilan sebelumnya, terutama pada era Pep Guardiola.
Valverde juga dituduh sangat kaku dalam rotasi sehingga pemain-pemain bintang terkuras tenaganya dan menjadi kehilangan energi untuk meraih kejayaan di Eropa.
Keputusan Iniesta untuk hijrah ke China juga memunculkan problema tersendiri meski Valverde telah mempunyai pengganti, yakni Coutinho dan Ousmane Dembele yang telah bisa tampil penuh setelah cedera panjang.
Datang dari Anfield, Coutinho cukup cepat beradaptasi dengan gaya permainan Barca dan terutama mengganti posisi Iniesta. Asisnya kepada Luis Suarez di final Copa del Rey dan golnya ke gawang Deportivo hanya beberapa ilustrasi dari adaptasi kilat pemain kelahiran Brasil tersebut.
Meski terbilang stabil dalam 17 penampilan perdananya, tanda tanya besar masih mengawang pada diri pemain 25 tahun tersebut apakah dalam jangka panjang dia akan bermain di dua posisi penting, sektor sayap dan peran gelandang tengah?
Jika Valverde memang menyiapkan Coutinho untuk menggantikan peran Iniesta, pekerjaan besar masih harus dilakukan, terutama mengembangkan insting menyerang sekaligus bermain lebih dalam di wilayah pertahanan sendiri. Selama bergabung dengan Inter Milan dan Liverpool, peran dengan posisi lebih dalam jarang terlihat pada statistik penampilan Coutinho.
Satu hal lain, dan ini bukan melulu masalah teknis adalah peran pendamping bagi Messi. Sepanjang kariernya yang cemerlang bersama Barca, Messi mengakui penampilannya banyak ditopang oleh bantuan Iniesta yang selalu dekat dengan dirinya. Iniesta menjadi solusi setiap kali Messi menghadapi kesulitan dan beban berat di lapangan. ”Hampir tidak mungkin saya bisa melakukan semuanya terutama pada situasi sulit jika tanpa kehadiran Andres (Iniesta),” ujar bintang Argentina tersebut.
Dalam banyak aspek, teknis ataupun nonteknis, Coutinho memang masih jauh dari kemampuan Iniesta. Butuh ribuan jam kerja keras dan fokus latihan untuk mencapai level Iniesta. Namun, di tangan Valverde, tidak ada yang mustahil.
Kontras dengan Coutinho, Ousmane Dembele sangat mengecewakan di musim pertamanya yang semakin sulit akibat cedera paha yang memaksanya absen selama tiga bulan. Mantan bintang Dortmund itu sempat memperlihatkan penampilan brilian di Liga Champions, tetapi kerap kehilangan momentum dalam formasi yang dibangun Valverde serta terlihat canggung untuk tugas bertahan saat timnya kehilangan bola.
Saat kelak Barcelona sudah tak lagi mendapatkan jasa Iniesta, Dembele harus meningkatkan performanya, terutama dalam memosisikan diri dalam struktur permainan. Kecepatannya di sisi sayap sangat bermanfaat, tetapi tugas bertahan dan memulihkan penguasaan bola, terutama di separuh wilayah lawan, adalah bagian pokok dalam struktur strategi Barcelona.
Messi yang menua
Keselarasannya dengan unit kecil pasukan lini tengah bersama Coutinho menjadi sangat penting karena mengingat juga semakin menuanya Leo Messi dan mulai kehilangan kecepatannya, jauh dari era terbaiknya satu windu lalu. Meski telah menua dan melambat, Barcelona tak pernah habis bersyukur memiliki pemain super istimewa ini. Hari Minggu lalu di Riazor, dia menjadi pemain pertama La Liga yang mencetak 30 gol atau lebih dalam tujuh musim berbeda.
Pada masa jayanya, Messi ditopang sepenuhnya oleh Busquets, Xavi Hernandez, dan Iniesta, trio gelandang terbaik sepanjang sejarah klub. Kini dengan barisan gelandang yang tidak sesolid era Xavi, toh Messi masih mampu menjadi mesin gol dan pemain yang paling mampu menentukan hasil akhir.
Kinerja Messi di semua kompetisi 2017-2018 | |||||
Main | Gol | Asis | Tingkat konversi tembakan | Cetak peluang | Tembakan ke target |
51 | 43 | 18 | 15,4 | 116 | 132 |
Layaknya memang terlahir sebagai bintang, selalu ada sisi baik dari setiap aspek penuaan alami yang dialami Messi. Di usianya yang lebih dari 30 tahun, kehilangan sebagian kecepatannya, Messi mengembangkan kemampuannya menjadi pemain yang lebih komplet dengan bermain lebih ke dalam, seolah mengambil sebagian peran Xavi atau Inniesta yang belum bisa sepenuhnya ditanggung bahu Coutinho.
Dalam dua atau tiga musim ke depan, peran Messi masih tetap akan dominan bagi Barcelona. Namun, toh Valverde dan tim harus mulai bersiap kehilangan sebagian besar pelayanan pemain Argentina ini sejalan dengan pertambahan usia, perlambatan, dan hilangnya determinasi. Maka, mau tidak mau harus ada bintang lain yang sanggup menggantikan, entah Coutinho, entah Dembele atau yang lain.
Musim depan, dengan beban yang jauh lebih berat, Valverde dituntut mengembangkan seluruh departemen teknis dan penerapan strategi yang jauh lebih jitu untuk membawa Barcelona ke level yang lebih tinggi. Terutama di kancah Eropa, kegagalan tiga kali beruntun di perempat final dengan tiga kekalahan telak merupakan sinyal kuat bahwa kerja masih jauh dari selesai.
Sembari berjalan, secara paralel Valverde juga dituntut untuk melahirkan kembali sejumlah bintang dari akademi usia muda yang sempat tercecer dan luput dari perhatian pada musim ini. Sama sekali bukan tugas mudah, tetapi demikianlah risiko menangani klub sebesar Barcelona yang bukan sekadar klub sepak bola. Mes que un club.