Roma Meloncat Tinggi
Gebrakan AS Roma di Liga Champions musim ini menjadi lembaran baru bagi klub yang jarang mengangkat trofi itu. Jika tetap konsisten, Roma bisa jadi ancaman baru di Italia dan Eropa.
ROMA, KAMIS AS Roma boleh tersingkir di semifinal Liga Champions musim ini. Namun, tim ”Serigala Roma” itu telah memamerkan taringnya dan siap menerkam siapa saja yang berani menghalangi jalannya musim depan.
Kesiapan itu terlihat dari karakter para pemain Roma di ajang Liga Champions musim ini. Setelah bisa melibas Chelsea, 3-0, di penyisihan grup, menyingkirkan Barcelona di perempat final dengan keunggulan gol tandang dari agregat gol 4-4, Roma pun mengalahkan Liverpool, 4-2, dan hampir menyingkirkan tim berjuluk ”The Reds” itu pada laga kedua semifinal hari Kamis (3/5/2018) dini hari WIB.
Roma mengawali laga dengan beban wajib menang 3-0 agar lolos ke final pada laga di Stadion Olimpico itu. Ini merupakan situasi yang sama seperti ketika menjamu Barcelona pada laga kedua perempat final.
Kenyataan berkata lain. Belum sepuluh menit laga berjalan, para pemain Roma melakukan kesalahan sehingga Sadio Mane membuka keunggulan untuk Liverpool. Optimisme Roma untuk bisa menciptakan keajaiban bisa saja hancur seketika, apalagi ”The Reds” kembali membobol gawang Roma melalui sundulan Georginio Wijnaldum ketika kedudukan sudah sama 1-1.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Edin Dzeko dan kawan- kawan belum menyerah. Mereka malah semakin ngotot menekan. Asa kembali muncul ketika Dzeko dan Radja Nainggolan bisa mencetak gol. Sayangnya, laga sudah berlangsung selama 86 menit dan mereka masih butuh tiga gol untuk lolos ke final.
Kesempatan berupa penalti datang terlambat pada menit ke-90+4 sehingga ekspresi Nainggolan tetap datar setelah berhasil mengeksekusi penalti tersebut. Roma hanya bisa mengutuk waktu yang berjalan terlalu cepat.
Kontroversi
Kemarahan pun lebih mendominasi perasaan kubu Roma setelah laga berakhir. Mereka sangat yakin, hasilnya akan berbeda jika wasit lebih bersikap adil karena mereka menganggap ada dua pelanggaran yang bisa membuahkan penalti. Namun, wasit mengabaikannya.
Kontroversi itu terjadi ketika Dzeko dijatuhkan kiper Liverpool, Loris Karius, tetapi wasit menganggap Dzeko sudah terperangkap off-side. Roma semakin gemas ketika wasit tetap bergeming ketika tangan bek Liverpool, Trent Alexander-Arnold, menyentuh bola di dalam kotak penalti.
”Sungguh, ini akan menjadi sebuah lelucon jika VAR (teknologi video pembantu wasit) tidak diterapkan di Liga Champions,” kata Presiden AS Roma James Pallotta. Roma sudah terbiasa dengan VAR karena Serie A sudah menerapkannya pada musim ini.
”Kegagalan seperti ini sungguh sangat menyakitkan,” kata bek Roma, Alessandro Florenzi, seperti dikutip Football-Italia. Dengan VAR, wasit setidaknya bisa mengurangi rasa sakit itu karena mereka bisa kembali menimbang keputusan mereka dengan menyaksikan rekaman video.
”Ini bukan pertama kali kami bermain tidak sebaik seperti biasanya. Kami butuh keberuntungan dan kami sudah mendapatkannya,” kata Pelatih Liverpool Juergen Klopp.
Sentuhan Di Francesco
Meski tidak seberuntung Liverpool, Roma sudah menunjukkan diri sebagai tim yang layak tampil di panggung Eropa. Bahkan, semua itu dilakukan dalam waktu satu musim sejak kedatangan Pelatih Eusebio Di Francesco dari klub papan bawah, Sassuolo, awal musim ini.
Roma pun baru kali ini bisa menembus semifinal sejak dikalahkan Liverpool pada final musim 1983-1984 (dulu bernama Piala Champions). Padahal, ketika masih diasuh Pelatih Luciano Spalletti pada musim 2016-2017, Roma gugur lebih awal di fase play off.
Di level domestik, Roma terakhir kali menjuarai Serie A pada musim 2000-2001 dan Piala Italia pada musim 2007-2008. Saat ini Roma masih berada di posisi ketiga klasemen sementara.
Namun, gebrakan di Liga Champions bisa menjadi modal kepercayaan diri untuk kembali naik ke podium dan mengangkat trofi di kompetisi apa pun. ”Kami punya banyak pemain muda yang masih butuh waktu untuk berkembang. Kami sekarang harus melihat ke depan dan bermain lebih baik,” kata Di Francesco.(AP/AFP/REUTERS/DEN)